Catatan mengenai korupsi, sebagai bentuk kemerosotan generasi, terlihat dalam buku ”Muqaddimah” karya pemikir besar Islam, Ibnu Khaldun (1332-1406).
Oleh
Editor KOMPAS
·3 menit baca
Catatan mengenai korupsi, sebagai bentuk kemerosotan generasi, terlihat dalam buku Muqaddimah karya pemikir besar Islam, Ibnu Khaldun (1332-1406).
Khaldun, seperti dikutip oleh B Herry Priyono dalam buku Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi, menulis, semua ”kekuasaan rajawi” dibangun dari fondasi kekuatan dan rasa merasa kelompok, serta uang. Dari semula, kekuasaan memang berkaitan dengan uang. Sejak masa lalu, korupsi sudah ada.
Di negeri ini, kasus korupsi, misalnya berupa penyimpangan kekuasaan bagi kepentingan pribadi atau kelompok, terjadi sejak lama. Sebelum Indonesia merdeka, bahkan hingga kini.
Bukan berarti bangsa ini berdiam diri terhadap korupsi. Jika melihat ke belakang, catatan upaya bangsa ini memberantas korupsi, termasuk dengan keteladanan penguasa, sangatlah panjang. Ratu Shima (674-732) dari Kerajaan Kalingga, kini di wilayah Jawa Tengah, menghukum putranya yang melanggar aturan kejujuran yang berlaku saat itu.
Keberhasilan pemberantasan korupsi memang naik-turun, belum sepenuhnya menunjukkan kecenderungan yang baik. Transparency International Indonesia mencatat, indeks persepsi korupsi Indonesia 2019 senilai 40, meningkat dari tahun 2018 dengan skor 38. RI naik dari peringkat ke-89 ke peringkat ke-85 dari total 180 negara yang diteliti. Skor 0 berarti sangat korup dan 100 berarti sangat bersih. Indeks persepsi ini lebih baik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Namun, jajak pendapat Kompas menunjukkan, 56,9 persen responden tak puas pada kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mencegah dan memberantas korupsi. KPK harus berbenah. Pada Mei 2017, dari jajak pendapat, terungkap 82,8 persen responden menilai baik KPK (Kompas, 23/6/2020).
Kondisi pemberantasan korupsi di negeri ini makin muram saat Joko S Tjandra, terpidana pengalihan hak tagih Bank Bali, yang buron sejak 2009, leluasa masuk dan keluar Indonesia. Selain Joko, tak kurang dari 39 buronan perkara korupsi belum dibekuk. Saat buronan perkara pembobolan BNI, Maria Pauline Lumowa, yang kabur 17 tahun dapat dibawa pulang kembali ke Indonesia, belum jua menghapus kecemasan akan masa depan pemberantasan korupsi di negeri ini.
Pemerintah kembali mewacanakan pembentukan tim pemburu koruptor. Tim ini pernah dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan dipimpin Wakil Jaksa Agung. Tim pemburu koruptor juga pernah dibentuk Presiden Soeharto pada 1967, dipimpin Jaksa Agung. Perburuan koruptor tak berhenti, termasuk dengan pembentukan KPK tahun 2002.
Selain KPK, sebenarnya ada kejaksaan dan kepolisian yang bisa memburu koruptor. Persoalannya bukan pada lembaga, melainkan koordinasi antarlembaga dan keseriusan aparat memberantas korupsi, termasuk menangkap koruptor dan menyita asetnya. Kita butuh aparat yang tak main-main serta tak mengedepankan kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Tanpa komitmen dan kesungguhan aparat, pemberantasan korupsi dengan membentuk kembali tim pemburu koruptor akan sia-sia. Bahkan, memunculkan benturan antarlembaga di lapangan. Kecuali, Presiden memimpin langsung upaya itu, seperti teladan Ratu Shima yang berani, tegas, dan adil.