Terima kasih atas ketelitian dan tanggapan yang disampaikan Bapak Zainoel B Biran dalam surat berjudul ”Soal Gamang Tatanan Baru” di rubrik ini pada 10 Juli 2020. Tulisan itu mencermati hasil survei Litbang Kompas yang terbit pada 28 Juni 2020 dengan judul ”Gamang dengan Tatanan Normal Baru”.
Bagian yang mendapat perhatian Bapak Biran adalah kesimpulan bahwa keberlangsungan dan wajah Indonesia ke depan sangat ditentukan oleh dua kekuatan: kalangan optimistis yang sudah mulai bergerak dan kebijakan yang jitu pemerintah untuk mendorong kalangan pesimistis.
Konklusi semacam itu, menurut Bapak Biran, dapat menyesatkan karena survei itu mengesankan kelas menengah berpotensi ”menghambat” gerak perubahan. Kesimpulan tersebut sebenarnya ditarik dari apa yang dipaparkan di bagian atas tulisan, yang membedah sikap dan perilaku pesimistis kelas menengah dan optimistis kelas bawah dalam merespons tatanan normal baru.
Kecenderungan saat ini adalah kelas menengah fokus pada kesehatan internal, sementara kelas bawah (karena kebutuhan ekonomi) lebih agresif menerima tatanan normal baru yang ekspresinya seolah bebas dari PSBB. Membaca tren tersebut, wajah Indonesia akan sangat ditentukan oleh dua kekuatan. Pertama adalah kalangan optimistis yang saat ini (terlalu) berani mengambil risiko. Ketika ini terjadi, seperti yang bisa kita baca saat ini, perluasan pandemi yang kian masif membentuk wajah Indonesia yang kian menakutkan.
Kedua adalah pemerintah lewat strateginya. Jika pemerintah mampu mengembangkan strategi yang jitu dalam menjamin penerapan protokol kesehatan, mungkin kalangan pesimistis yang didominasi kelas menengah ini dapat bergerak memainkan perannya sebagai ”garda terdepan” perubahan sosial dan ekonomi.
Kami mohon maaf apabila tulisan tersebut menimbulkan interpretasi bahwa kelas menengah menghambat perubahan walau tidak ada kalimat yang menyebutkan hal itu. Lebih tepatnya adalah kelas menengah belum siap memasuki perubahan tata kehidupan normal baru. Pemaparan hasil survei yang lebih dalam telah kami sajikan di www.kompas.id.
Bambang Setiawan, Litbang Kompas
Teguran Presiden
Berbagai tanggapan muncul mengenai teguran Presiden Joko Widodo dalam suatu rapat. Dari yang disampaikan itu, ada beberapa hal penting. Presiden menyesalkan sikap business as usual dan tidak adanya sense of crisis dari sebagian pembantunya, yang justru bertanggung jawab dalam kegiatan sangat krusial. Presiden mengingatkan proyeksi ekonomi global yang tumbuh negatif. OECD (Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi) memperkirakan -6% hingga -7,6%, sedangkan prediksi Bank Dunia -5%.
Bahwa kesehatan adalah fokus utama terlihat dari pernyataan eksplisit soal angka serapan anggaran yang hanya 1,53% dari Rp 75 triliun. Dampaknya tentu berantai dan meluas, dari tidak tercapainya percepatan penanggulangan pandemi Covid-19 sampai hak masyarakat—termasuk tenaga medis dan paramedis serta petugas garda depan lain—yang terlambat.
Belum maksimalnya penyaluran dana bantuan sosial juga disinggung Presiden. Krisis seperti ini merupakan saat pembuktian kemampuan kepemimpinan dan knowledge, skill, ability, and attitude tiap penanggung jawab di bidang masing-masing. Pernyataan keprihatinan Presiden bahwa ini adalah tanggung jawab kepada 267 juta rakyat Indonesia menggambarkan tingkat kesungguhan.
Hal ini seharusnya dapat ditangkap seluruh jajaran pembantu presiden untuk segera bertindak tepat guna. Perlu meritokrasi atau penilaian yang tepat dalam menetapkan the right man on the right position bagi semua pembantu inti Presiden.
Hadisudjono Sastrosatomo, Jalan Pariaman, Pasar Manggis, Jakarta 12970