Kikisnya Budaya Bung Karno Dalam Imagi Digital
Kompetisi Imagi Digital Bung Karno adalah awal ciamik dari keterlibatan Istana Presiden dengan seni rupa zaman now. Dan berpotensi jadi kompetisi besar apabila terus dikembangkan.
Ir. Sukarno atau Bung Karno, Presiden Republik Indonesia pertama, adalah mercu masyarakat antero Nusantara. Tuturannya acap dicatat, dan pidatonya sering dianggap ajaran. Namun setelah Bung Karno lengser pada 1967, nama dan eksistensinya diringkus dalam-dalam. Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto menjadikan Bung Karno hanya sebagai kenangan dari sebentang sejarah yang boleh tidak diingat.
Pemendaman mitos ini terus berlangsung sampai Soeharto turun pada 1998. Dan bahkan sampai Orde Reformasi naik panggung belasan tahun kemudian. Kesadaran bahwa Bung Karno adalah “mercu besar bangsa” baru nyata tiba pada 2016. Dan kesadaran itu bukan diletupkan oleh segenap bangsa Indonesia. Namun oleh institusi politik, yakni PDIP (Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia).
Dari “kesadaran terlambat” tersebut PDIP lantas menggagas Juni sebagai “Bulan Bung Karno”. Bulan Juni dipilih karena merujuk kepada kelahiran Bung Karno : (6) Juni (1901), wafatnya Bung Karno: (21) Juni (1970), dan kelahiran Pancasila yang digali Bung Karno : (1) Juni (1945). Pas!
“Bulan Bung Karno” menyimpan konsep perayaan dan pengingatan peran besar Bung Karno kala membangun negara dan bangsa. Namun karena spektrum peran Bung Karno terlampau luas, maka “Bulan Bung Karno” dikerucutkan menjadi “Bulan Budaya Bung Karno”. Lantaran semua orang tahu, betapa Bung Karno adalah promotor budaya (dan seni) yang tak alang kepalang berjasanya.
Namun anehnya, perayaan “Bulan Budaya Bung Karno” ini tidak pula bersinar selama 4 tahun! Suar perayaannya baru benar-benar menyala justru ketika bangsa Indonesia sedang dalam mendung gelap akibat kepungan wabah korona. Dan menariknya, suar itu dinyalakan oleh Museum Kepresidenan Balai Kirti, lembaga resmi pemerintah yang berada di naungan Istana Bogor. Atau bukan lagi oleh kelompok politik seperti PDIP. Dan bentuk perayaannya adalah penyelenggaraan kompetisi seni rupa Imagi Digital yang mengusung tema “Bung Karno : Budaya/Seni”.
Namun karena spektrum peran Bung Karno terlampau luas, maka “Bulan Bung Karno” dikerucutkan menjadi “Bulan Budaya Bung Karno”.
Pertama dalam sejarah
Kata Imagi Digital adalah penekanan pemahaman untuk para peserta, agar karya yang dikirim ke panitia berformat digital. Walaupun mungkin saja karya yang tercipta semula bersifat manual. Dengan format digital itu karya para peserta bisa langsung diterima oleh layar komputer panitia dan tim penilai. Dan dengan format itu forum penjurian tak memerlukan sidang on the spot, karena semua penilai bisa bekerja dari kediaman masing-masing.
Dalam sejarah seni rupa Indonesia, baru kali ini kompetisi diselenggarakan dalam format digital, dikreasi dengan bantuan teknologi digital, dikirimkan secara digital, disidang secara digital, ditentukan kualitasnya secara digital, dan diumumkan hasilnyasecara digital. Ya, inilah kompetisi yang niscaya dilakukan pada zaman “absurd” pandemi korona, yang memaksa semua orang untuk work from home.
Lalu, setelah dewan juri bersidang jarak jauh untuk menilai sekitar 200 karya peserta, ditemukanlah juara I, II, III, serta 10 karya finalis. Di samping itu diangkat juga 10 karya pilihan (kurator). Visual 23 karya tersebut lantas diunggah di laman IG Balai Kirti sejak akhir Juni, untuk disaksikan publik umum.
Ya, inilah kompetisi yang niscaya dilakukan pada zaman “absurd” pandemi korona, yang memaksa semua orang untuk work from home.
Mencermati 23 karya itu, misi kompetisi yang mengajak pelaku seni rupa untuk memahami hal-ihwal Bung Karno, lumayan tercapai. Karena yang muncul dalam gambar sebagian besar adalah fragmen sejarah Bung Karno yang dikristalkan secara visual, disertai dengan teks kutipan yang mengartikulasi pemahaman.
Karya Fachrul Rozi Ramadhan, “Jas Merah” (juara I) adalah contohnya. Lukisan ini mengompilasi aneka sosok Bung Karno yang selama ini populer dalam foto. Di sisi lukisannya yang indah, tertulis judul pidato kenegaraan Bung Karno tahun 1966 : “Jas Merah – Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.”
Karya Supriyanto Sungging, “Sukarno – Oasis Indonesia” (juara II) menawarkan pemahaman yang sama. Di atas gambarnya yang berupa bayangan Bung Karno di dalam genangan minyak dan air, tertulis pidato tentang NKRI harga mati. “This country, The Republic of Indonesia, does not belong to any group, nor to any religion....”
Pada karya (finalis) Ike Syamsiah Arif, “Sukarno Untuk Pemuda Indonesia”, kutipan seperti itu juga berbicara. Di sisi reka-foto hitam-putihnya ia menuliskan tantangan sangat populer dari Bung Karno : “Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.”
Begitu pula karya (finalis) Dito Sugito, “Semangat Mandiri Bung Karno Untuk Kita”. Di bagian bawah lukisan artistik yang menggambarkan Bung Karno berpidato, tertulis sepenggal orasi : “Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, yang akan dapat berdiri dengan kuatnya.”
Sementara pada karya (finalis) “Bagimu Negeri” ciptaan M.Khairuddin tertulis kutipan : “Tidak seorang pun yang menghitung-hitung berapa untung yang kudapat nanti dari Republik ini, jikalau aku berjuang dan berkorban untuk mempertahankannya.” Ya, selarik pidato Bung Karno pada 1956, yang tidak banyak diingat orang.
Sampai di sini kita boleh berlega rasa. Apalagi ketika diketahui pengikut lomba adalah generasi muda, yang baru lahir minimal belasan tahun setelah Bung Karno wafat.
Minus jagad budaya dan seni
Namun, di tengah keapikan visual dan semangat menyajikan gelora jiwa dan pikiran Bung Karno, muncul persoalan yang cukup mengusik. Dan itu adalah berbedanya konten tema yang ditawarkan panitia dengan realitas konten tema pada karya yang jadi pilihan dewan juri.
Dalam pengumuman kompetisi terbaca jelas bahwa tema yang ditawarkan oleh panitia adalah “Bung Karno : Budaya/Seni”. Sebuah frase yang menggiring peserta kepada kosmologi Bung Karno dalam kebudayaan serta kesenian. Sehingga kesimpulannya : para peserta kompetisi diharap menggambarkan, mengelaborasi atau memetik subtansi jagad budaya/seni Bung Karno di dalam karyanya.
Tersimak, dari deretan gambar yang diagulkan, sangat sedikit yang menyuratkan hal tersebut. Di antara yang sedikit itu adalah karya (finalis) Tegar Yudha Pratama, “Soekarno dan Anak-anak”, yang melukiskan kegembiraan Bung Karno bernyanyi dan bermain teater kala diasingkan di Ende.
Karya (pilihan) Denielle Grace Chrysanta, “The Beauty of Indonesia”, yang mengilustrasikan Bung Karno sedang berdekat dengan para rakyat yang berpakaian adat. Karya (pilihan) Rian Sebastian, “Akan Selalu Kulukis Tanah Airku dan Bangsaku”, yang menggambarkan Bung Karno sebagai pelukis mahir.
Namun, di tengah keapikan visual dan semangat menyajikan gelora jiwa dan pikiran Bung Karno, muncul persoalan yang cukup mengusik.
Karya (pilihan) Syarifuddin, “Cita-cita Rakyat, Cita-cita Negara” yang memvisualkan pikiran Bung Karno berisi wayang modern Tavip. Juga pada karya (finalis) Fikri Irvansyah, “Bung Karno, Persatuan Bersama Milenials”, yang mengomposisi foto Bung Karno muda mengenakan blangkon. Meski konten karyanya berbicara tentang pentingnya Pancasila.
Selebihnya, sebagian besar karya berkelindan dalam soal sosial, politik, kepemimpinan, kepahlawanan, kepemudaan, sampai religiusitas. Karya finalis ciptaan Husni Mubarok, Chacuk Tri Sasongko, Rizqi Maulana, Yovi Tri Maulana, Adek Dimas Aji Saka. Kreasi Eko Setiawan (sang juara ketiga, yang wafat sebelum menerima hadiah), bahkan menggambarkan Bung Karno sedang berada di tengah petugas medis Covid-19.
Demikian pula gambar pilihan kurator, seperti ciptaan Gilang Chandra Saputra, Syaharuddin Ramadhan Dae, Lulus Setio Whantono, Nurwenda Juniarta, Alberto Hotasi, Ari Yuda dan Nana Maulana.
Dengan begitu kita nyaris tidak bersua dengan karya yang berangkat dari pernyataan Bung Karno tentang budaya dan seni. Padahal Bung Karno pernah bertamsil : “Kebudayaan Indonesia itu seperti mawar. Dan mawar tidak perlu mempropagandakan harumnya, karena orang dari mana-mana datang sendiri untuk menciumnya.” Atau berseru : “Lihatlah pohon kebudayaan Indonesia yang kekar berdiri berkat akar-akarnya sendiri!”
Atau mengingatkan : “Kebudayaan nasional akan menerbangkan bangsa Indonesia seperti elang di langit tinggi, dan tidak jadi bebek yang selalu beriring-iring kesana-kemari.” Atau beropini : “Aku menganjurkan realisme, karena aku sadar bahwa bangsa Indonesia adalah putera-putera alam yang selalu melihat kenyataan.”
Kondisi terpaksa
Kita boleh menduga, pilihan yang keluar dari tema ini disebabkan oleh kondisi finem mortuorum, keterpaksaan. Karena dewan juri tidak menemukan karya (terbaik) yang berbicara tentang kosmologi budaya dan seni Bung Karno.
Seandainya dugaan ini benar, maka realitas kikisnya hal tersebut merupakan fenomena yang melahirkan pertanyaan serius : mengapa itu bisa terjadi. Bukankah Bung Karno selama ini juga sangat terkenal sebagai budayawan, maecenas seni, arsitek, pelukis, penulis sandiwara sampai kolektor hebat seni rupa? Adakah para perupa lupa atas semua itu?
Kita boleh menduga, pilihan yang keluar dari tema ini disebabkan oleh kondisi finem mortuorum, keterpaksaan.
Hal lain yang pantas disoal adalah ihwal peserta kompetisi yang tidak dibatasi atas-bawah usia, yang menyebabkan peserta sekolah dasar harus bersaing dengan perupa dewasa. Sementara penilaian dewan juri dipastikan memakai parameter karya profesional.
Juga keharusan peserta untuk mengirim hanya 1 (satu) karya saja. Padahal apabila boleh beberapa, panitia dan dewan juri akan banyak mendapat alternatif pilihan. Kita tahu, tujuan dari sebuah kompetisi bukan hanya mencari pemenang, tetapi juga untuk menstimulasi kreator agar aktif dan produktif dalam berkarya.
Kompetisi Imagi Digital Bung Karno adalah awal ciamik dari keterlibatan Istana Presiden dengan seni rupa zaman now. Dan berpotensi jadi kompetisi besar apabila terus dikembangkan, apalagi dengan menyentuh spektrum kehidupan Bung Karno yang begitu jembar.
Oleh karenanya kompetisi ini harus ditangani serius sejak langkah pertama. Kurator berpengalaman Mikke Susanto, yang jadi juri mendampingi Judi Wahjudin (Museum Balai Kirti) dan Kartum Setiawan (sejarawan), diyakini sanggup melakukan perbaikan dan pengembangan itu. *
(Agus Dermawan T. Kritikus, Penulis Buku Budaya dan Seni.)