Demitologisasi narasi terhadap mitos era normal baru perlu untuk selalu dikerjakan, mengingat mitos menjadi tempat persembunyian yang aman dan nyaman bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
Oleh
A. Windarto
·5 menit baca
Bukan kebetulan belaka bahwa era normal baru telah menjadi mitos yang diterima tanpa basa-basi. Heboh kalung antikorona, misalnya, telah menciptakan polemik yang cukup pelik. Pasalnya, apa yang dipolemikkan tampak hanya memperkarakan tentang mitos dari kalung tersebut. Sementara simbol dan ritus yang turut merekayasakan mitos itu agak terabaikan.
Apalagi kalung berbahan eukaliptus (komponen kimia utama dalam minyak kayu putih) yang diproduksi oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian itu masih diragukan uji klinisnya. Bahkan, uji coba terhadap hewan, apalagi manusia, belum jelas data dan faktanya sehingga justru dapat berbahaya.
Dalam bukunya yang berjudul The Forest of Symbols (1967), Victor Turner menunjukkan bahwa mitos yang terbentuk dalam masyarakat biasanya didahului oleh beragam simbol. Dari sanalah mitos dikukuhkan dalam bentuk benda atau kata-kata yang dipercaya amat berkhasiat atau mujarab.
Itulah mengapa seorang dukun yang ampuh mendapatkan daya atau kekuatannya dari simbol-simbol seperti tongkat, batu, atau mantra. Dengan simbol-simbol itu, mitos keampuhannya menjadi tak terbantahkan. Apalagi, masih ditambah dengan serangkaian ritus yang mampu menghasilkan ritual atau upacara sebagai panggung legitimasi dari mitos tersebut.
Dari sanalah mitos dikukuhkan dalam bentuk benda atau kata-kata yang dipercaya amat berkhasiat atau mujarab.
Mitos memang menjadi bahasa yang efektif dan operatif untuk meredam reaksi yang berlebihan terhadap suatu hal dan masalah. Maka, tak heran jika mitos kerap ditampilkan sebagai pembatas. Batas yang memberi jeda bagi siapa pun untuk terlibat dalam suatu persoalan. Dengan kata lain, mitos merupakan saat dan tempat yang bersifat liminal atau ”komunitas liminal” (liminal community) sebelum menentukan dan mengambil langkah selanjutnya.
Dalam kajian antropologi simbolik, mitos diibaratkan seperti seseorang yang sedang berdiri tepat di tengah-tengah pintu. Dari situ orang dapat melangkah masuk atau keluar ruangan, bergantung pada seberapa penting dan mendesaknya masalah yang dihadapi. Dalam konteks ini, mitos bukan lagi sekadar dongeng pengantar tidur, melainkan langkah awal untuk menyusun suatu narasi.
Sayangnya, narasi yang disusun melalui mitos-mitos era normal baru tidak pernah tuntas. Artinya, era normal baru hanya menjadi jargon yang sekadar dijabarkan melalui aksi-aksi protokol kesehatan yang menjemukan. Bahkan, dalam batas-batas tertentu, BLT (bantuan langsung tunai) seperti layaknya ”uang kaget” yang memang hanya bersifat ”sekali terima langsung habis terpakai”.
Itulah mengapa era normal baru masih jauh dari cerita dan cita-cita untuk menjadi produktik, apalagi kreatif, di tengah pandemi. Maka, ”berdamai dengan korona” seolah-olah hanya menjadi bahasa kosong yang nyaring bunyinya.
Bukan kebetulan bahwa era normal baru tak lebih hanya terasa seperti sebuah iklan. Wajar saja jika tidak banyak orang yang berniat untuk membeli apa yang diiklankan, melainkan sudah cukup dan bersyukur meski hanya dengan menontonnya.
Apalagi, sebagaimana diteorikan dalam ilmu komunikasi modern (McLuhan, 1964), iklan pada dasarnya bukan semata-mata sebuah media untuk menyampaikan pesan. Namun, justru iklan itulah sendiri yang adalah pesan yang mampu meyakinkan konsumennya bahwa apa yang dilihat, itulah sesungguhnya yang akan didapat (what you see is what you get). Jadi, untuk apakah sebenarnya era normal baru dicetuskan di tengah pandemi yang tampak semakin tak terkendali?
Jadi, untuk apakah sebenarnya era normal baru dicetuskan di tengah pandemi yang tampak semakin tak terkendali?
Cukup jelas bahwa era normal baru amat miskin dengan simbol dan ritual. Meski telah tersedia protokol kesehatan berupa pemakaian masker, cuci tangan, dan jaga jarak, nyaris tak terbangun sama sekali keyakinan bahwa ketiganya dapat menjadi penangkal yang ampuh di tengah pandemi. Itu artinya, ketiganya tampak gagal sebagai simbol dan ritual yang dipersyaratkan untuk menghasilkan sebuah mitos.
Kegagalannya bukan karena kurangnya kepercayaan dalam masyarakat, melainkan lantaran tidak mudah lagi menemukan orang-orang yang percaya bahwa era normal baru mampu menyuarakan kepentingan mereka. Apalagi, selama pandemi orang-orang itu adalah mereka yang telah dibuang dari pikiran.
Contohnya adalah para pedagang di pasar dan kaki lima, buruh pabrik, penumpang dan sopir angkutan umum, serta mereka yang terkena PHK di tengah pandemi. Bagi mereka, era normal baru sama sekali tidak berdaya mitologis lantaran era itu lebih terasa hanya ”tajam ke bawah”, tapi ”tumpul ke atas”. Singkatnya, tak ada lagi yang peduli berapa dan siapa yang dikorbankan karena sebelum pandemi pun orang-orang semacam itu selalu menjadi korban.
Mereka adalah tumbal dari mitos-mitos yang dulu dinamai pembangunan dan kini menjadi normal baru. Keduanya sama-sama berorientasi pada kepentingan yang disebut ”produktif dan kreatif”. Maka, masuk akal jika Bung Karno (1962) pernah mengingatkan bahwa kita bukanlah ”bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa” (a nation of coolies and a coolie among nations).
Secara tegas dan keras, peringatan itu merupakan gugatan terhadap mitos yang telanjur disebarluaskan sebagai ”mental inlander (pribumi)” yang dipandang hanya suka bermalas-malasan. Gugatan yang berpretensi untuk menggugah semangat nasionalisme itu agaknya menjadi enak dan perlu untuk dituturkan kembali di era normal baru saat ini. Sebab, kepercayaan yang sejak era normal baru dipopulerkan ternyata tak lepas dari proyek ekonomi wisata yang terdampak cukup parah akibat pandemi.
Maka, cukup beralasan jika ada dugaan bahwa di balik mitos era normal baru para penguasa ekonomi, khususnya pariwisata, sedang menyiapkan agenda untuk, sebagaimana diistilahkan Neil Postman (1985/1995), ”amusing ourselves to death” (menghibur diri sampai mati).
Maka, menarik bahwa ”Catatan Urban” dari Neli Triana berjudul ”Berliburlah, Hidup Pantas Dirayakan” (Kompas.id, 4/7/2020) justru semakin menjelaskan bahwa mitos era normal baru memang lebih berlatar kepentingan ekonomi global daripada sekadar kesehatan nasional.
Perhatikan saja pada bagaimana perang bisnis di antara para penguasa ekonomi dunia yang semakin seru dan menghibur belum lama ini. Seperti antara Facebook dan para pengiklan kelas kakapnya (Ford, Unilever, Microsoft), yang seolah-olah menjadi ”fajar baru” bagi media massa cetak untuk tampil kembali sebagai panggung faktual dan tepercaya di tengah disrupsi digital.
Padahal, sebagaimana diyakini oleh Mark Zuckerberg, gerakan boikot dari para pengiklan itu, akibat kegagalan Facebook mengelola ujaran kebencian, akan segera berakhir.
Pada titik inilah sesungguhnya mitos era normal baru layak untuk diwaspadai dengan cukup jeli.
Pada titik inilah sesungguhnya mitos era normal baru layak untuk diwaspadai dengan cukup jeli. Hal itu berarti demitologisasi narasi terhadapnya perlu untuk selalu dikerjakan, mengingat mitos menjadi tempat persembunyian yang aman dan nyaman bagi pihak-pihak yang berkepentingan demi penciptaan laba yang sebesar-besarnya dengan biaya yang sekecil-kecilnya.
Demikianlah siasat ekonomi yang semakin merajalela dan menggurita dengan merekayasakan berbagai imajinasi identitas melalui beragam mitos, termasuk era normal baru.
(A Windarto, Peneliti di Lembaga Studi Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta)