Putin Langgengkan Kekuasaan untuk Penguatan Negara
Presiden Rusia Vladimir Putin, lewat hasil plebisit awal Juli 2020, bisa berkuasa hingga 2036. Apa tujuannya? Hendak ke mana Putin melangkahkan arahnya dalam konteks global?
Presiden Rusia Vladimir Putin merasa belum cukup berkuasa. Banyak agenda dalam pikirannya yang belum tercapai. Agaknya Putin meniru langkah Presiden China Xi Jinping soal ini, melanjutkan penguatan negara dengan melanjutkan kekuasaan. Untuk itu, hukum yang membatasi masa jabat presiden pun diubah.
Pada 2018, Presiden Xi Jinping sudah mengubah batasan masa jabatan lima tahunan seorang presiden China. Sebelumnya, hukum membatasi kekuasaan presiden hanya dua periode. Presiden Xi berkuasa sejak 2013 dan dia bisa berkuasa setelah 2023 serta tanpa batasan.
Putin, lewat hasil plebisit awal Juli 2020, juga bisa berkuasa hingga 2036. Plebisit telah mengubah hukum yang membatasi masa jabatan enam tahunan presiden Rusia.
Putin sudah pernah menjabat presiden pada periode 1999-2008 dan hukum membatasi kekuasaan dua periode. Sebelumnya, Putin sudah mengakali kendala masa jabatan itu dengan rela menjadi perdana menteri periode 2008-2012. Lewat pemilu, Putin mendudukkan Dmitry Medvedev sebagai presiden.
Ini hanya untuk mencari celah hukum. Setelah era Medvedev berlalu dan menjabat tidak sampai enam tahun, Putin kembali menjadi presiden pada 2012. Kekuasaan Putin seharusnya berakhir pada 2024. Lewat plebisit awal Juli 2020, Putin bisa menjabat sampai 2036.
”Terima kasih atas kepercayaan walau ada juga yang tidak sepakat. Sebab, memang tidak semua hal bisa memuaskan rakyat,” kata Putin pada 2 Juli.
Plebisit menunjukkan dukungan 78 persen suara pada perpanjangan jabatan Putin. Hanya 22 persen suara ”nyet”.
Belum cukup waktu untuk memakmurkan rakyat. Belum cukup waktu untuk memperkuat kedaulatan negara. Itulah alasan Putin meminta lewat plebisit agar bisa berkuasa hingga berusia 86.
Baca juga: Putin Bangkitkan Rasa Nasionalisme Rusia
”Rasanya waktu berlalu sangat cepat sejak Uni Soviet pecah. Kita masih rapuh dalam banyak hal. Kita perlu memperkuat kestabilan internal dan memerlukan tambahan waktu untuk memperkuat kelembagaan,” kata Putin. Secara implisit, Putin merasa menjadi satu-satunya figur yang mampu melakukan itu.
Jubir Departemen Luar Negeri AS Morgan Ortagus mengatakan, Washington terganggu dengan manipulasi saat plebisit dan laporan pemaksaan warga untuk suara ”iya”. Uni Eropa (UE) juga mengecam tuduhan kejanggalan pelaksanaan plebisit.
”Kami hirau soal laporan dan tuduhan-tuduhan kejanggalan dalam plebisit, termasuk pemaksaan kepada pemilih, suara ganda, pelanggaran kerahasiaan pemilu, serta tuduhan kekerasan yang dilakukan polisi kepada seorang wartawan yang hadir untuk mengamati,” demikian jubir UE Peter Stano.
Barat melahirkan Putin
Keluhan Barat ini tentu tidak aneh. Namun, hal itu tidak akan menjadi perhatian sebagian warga Rusia dan Putin sendiri. Seperti sudah disebutkan di atas, Putin tidak menaruh respek kepada Barat. Bagi Putin, ideologi liberal yang menjadi fondasi Barat selama beberapa dekade sudah aus.
Ide liberal sudah mengalahkan tujuannya dan berkonflik dengan kepentingan mayoritas warganya. Putin mengatakan itu di sela pertemuan G-20 di Osaka, Jepang, sebagaimana dituliskan di laman Time, 28 Juni 2019. Putin melihat unilateralisme AS dan kurangnya aturan dalam tatanan dunia.
Bagi Putin, nilai demokrasi dalam buku teks berbeda dengan kenyataan di lapangan. Para agen bermain atas nama demokrasi dan di balik itu ada pribadi-pribadi yang punya kepentingan. Mikhail Gorbachev, misalnya, pernah menyebut Presiden George HW Bush seharusnya menangani demokratisasi di Rusia dengan lebih baik. Gorbachev juga menyinggung si jago minyak AS, Dick Cheney, Wapres AS di bawah Presiden George W Bush, putra HW Bush.
Kepentingan bisnis pribadi dan kelompok di balik demokratisasi Barat, intinya, seharusnya tidak terjadi. Lebih dari itu, misi demokratisasi Barat di dunia seharusnya juga taat asas. Bagi Putin, ini tidak eksis. Ada ”penjarahan” kekayaan negara lain berpayungkan demokratisasi. Putin melihat jelas hal ini. Putin melihat kepentingan serupa berlanjut pada presiden AS berikutnya. Maka, tidak heran jika Shevtsova, seorang Kremlinolog, menyatakan, ”Barat berperan menjadikan Rusia seperti sekarang.” Dan, Putin adalah pemain utama di balik perlawanan Rusia terhadap Barat.
Peran Barat dan kegagalan hegemoni AS telah melahirkan Putin. John Mearsheimer, pakar hubungan internasional dari University of Chicago, menyebutkan, kekuatan hegemoni AS sejak akhir Perang Dingin memang cenderung anarkistis. Alamiahnya kekuatan hegemoni adalah anarkistis. Aturan, yang manata relasi negara-negara, tidak akan dituruti.
”Kebijakan luar negeri dari kekuatan hegemoni liberal AS sejak akhir Perang Dingin akan menuju kegagalan. Washington seharusnya menahan diri dan lebih memahami,” demikian Mearsheimer dalam buku The Great Delusion: Liberal Dreams and International Realities (Henry L Stimson Lectures), terbitan 25 September 2018.
”Quo vadis” Rusia?
Faktor ini membuat Putin semakin menemukan pijakan dan dukungan internasional. Tidak heran jika Perdana Menteri India Narendra Modi menyampaikan ucapan selamat kepada Putin atas sukses plebisit Rusia. Bukan hal aneh jika Putin pun menemukan persahabatan dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Tentu Putin pun bersambut di Iran dan Suriah.
Pertanyaannya, apakah Putin semata-mata hanya ingin membawa Rusia pada kemakmuran dan kebangkitan martabat negaranya?
Shevtsova mengatakan tidak percaya kepada elite politik Rusia dan juga mencoba tidak percaya kepada Putin. Sama seperti Putin yang tidak percaya dengan asas demokrasi Barat karena dibelokkan oleh segelintir.
Putin pun bisa terjebak dengan ambisinya sendiri yang berpotensi tidak terkendali. Putin tidak percaya dengan mekanisme demokrasi, kata Shevtsova. Putin tidak menyukai gaya Medvedev yang suatu saat pernah menyerukan agar pemimpin mendengar suara rakyat.
Pertanyaan lanjutannya mungkin bukan lagi sekadar, apakah Rusia membawa Rusia pada kebaikan atau arah yang salah. Dunia kini mungkin juga harus berpikir pada apa yang akan dibawa Putin pada dunia dan tatanannya kelak.
Masalahnya, Putin tidak hanya bermain di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Hal terbaru adalah isu yang merebak di media AS bahwa Rusia menginginkan serangan terhadap personel militer Inggris dan AS di Afghanistan dengan imbalan bayaran.
Hendak ke mana Putin melangkahkan arahnya dalam konteks global? Siapa tahu ada perspektif lanjutan lain di balik fenomena Putin. Seperti dinyatakan Shevtsova, kebangkitan Putin sekarang adalah sebuah perspektif yang tidak disadari akan muncul saat kejatuhan Tembok Berlin.
Akan tetapi, apa pun itu, Putin sangat disukai di dalam negerinya sejauh ini. Banyak yang berterima kasih kepada Putin karena kemakmuran yang mereka dapatkan dan rasakan. Sejauh yang terdengar, Putin menginginkan relasi dunia yang saling menghormati. (Habis)