Menghidupkan Utusan Golongan, dari Korporatis ke Inklusif
Saat Orde Baru, utusan golongan dimanipulasi sebagai instrumen pengumpul suara dalam pemilu, memberi legitimasi ”demokratis”, dan melanggengkan kekuasaan. Kini, muncul wacana menghidupkan kembali utusan golongan di MPR.
Oleh
Manuel Kaisiepo
·4 menit baca
Munculnya wacana menghidupkan kembali utusan golongan di Majelis Permusyawaratan Rakyat bisa saja dibaca sebagai adanya kebutuhan (praktis) politik dari beberapa kelompok dalam masyarakat yang merasa belum terwakili secara politik.
Selain kebutuhan politik praktis, sebenarnya juga ada kebutuhan lebih substansial untuk meninjau kembali sistem perwakilan politik yang dianut pasca-amendemen UUD 1945. Empat kali amendemen (1999-2002) telah membawa perubahan mendasar atas sistem ketatanegaraan Indonesia, termasuk perubahan kelembagaan perwakilan politik.
Jadi, wacana tentang utusan golongan bisa membuka ruang bagi diskusi yang lebih serius tentang mekanisme ketatanegaraan dan kehidupan politik yang lebih demokratis. Termasuk tentang sistem perwakilan politik dan pengambilan keputusan yang bersifat inklusif, yang mencerminkan partisipasi seluruh elemen masyarakat dalam proses politik.
Dalam kontestasi politik berbasis suara mayoritas, berbagai kelompok dan komunitas semacam itu akan selalu kalah dan terabaikan.
Corak perwakilan politik di parlemen, selama ini bertumpu pada keterwakilan partai politik (political representation) dan keterwakilan daerah (regional representation).
Tapi corak perwakilan politik semacam ini (yang berdasarkan suara mayoritas), tidak dengan sendirinya menjamin keterwakilan semua kelompok, baik yang strategis maupun yang marginal, misalnya kelompok minoritas atau komunitas masyarakat adat.
Dalam kontestasi politik berbasis suara mayoritas, berbagai kelompok dan komunitas semacam itu akan selalu kalah dan terabaikan. Karena itu, perlu ada perlakuan afirmatif bagi mereka, termasuk perlu adanya perwakilan inklusif yang bisa menampung dan menyalurkan aspirasi kelompok dan komunitas tersebut.
Pemikiran tentang perwakilan inklusif yang diwujudkan melalui keberadaan utusan golongan di MPR sudah menjadi topik pembahasan serius para founding-fathers, khususnya Soepomo dan Muhammad Yamin, dalam sidang-sidang BPUPKI/PPKI.
Hasilnya adalah rumusan Pasal 2 Ayat 1 UUD 1945: ”Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan undang-undang.”
Dengan begitu, selain ada perwakilan partai politik di DPR (political representation), perwakilan daerah di DPD (regional representation), juga ada perwakilan golongan (functional representation).
Tapi setelah Orde Baru berkuasa, semua pikiran bagus yang melandasi keberadaan utusan golongan sebagai bentuk perwakilan politik inklusif, justru mengalami dekonstruksi.
Utusan golongan dimanipulasi menjadi sekadar electoral machine (instrumen pengumpul suara) dalam pemilu untuk memberi legitimasi ”demokratis” sekaligus melanggengkan kekuasaan. Utusan golongan model ini jelas menyimpang dari yang dimaksud dalam UUD 1945.
Lingkup utusan golongan pada era Orde Baru adalah berbagai kelompok yang sengaja dibentuk untuk memperkuat sistem politik Orde Baru sebagai suatu model state corporatism (korporatisme negara).
Seperti dikemukakan Dwight Y King, dalam politik Orde Baru pluralisme terbatas tetap dijaga melalui pembentukan jaringan organisasi-organisasi korporatis, sekaligus untuk mengontrol dan mencegah tumbuhnya kelompok oposisi.
Philippe Schmitter menyebut korporatisme negara adalah ”monopolisasi perwakilan kepentingan oleh organisasi-organisasi fungsional, didukung secara resmi, tidak bersaingan, dan sepenuhnya dikontrol negara”. Dalam konteks itulah, dimunculkan bermacam kelompok fungsional, mulai dari petani, nelayan, buruh, profesional, cendekiawan, hingga ke ulama.
Model utusan golongan ini jelas bukan sebagai perwakilan politik, melainkan sebagai sarana mobilisasi masyarakat. Dengan begitu, mereka bukan representasi dari society (atau yang mencerminkan society corporatism), sebaliknya mereka dikooptasi oleh state menjadi bagian dari state corporatism.
Pada awal reformasi, pola perwakilan politik korporatis yang manipulatif di atas ”dikoreksi” dengan menghapus kedudukan utusan golongan di MPR. Salah satu pertimbangannya bahwa perwakilan yang demokratis harus diisi melalui pemilihan, bukan diangkat seperti di masa lalu. Pertimbangan lainnya, kepentingan berbagai kelompok dalam masyarakat bisa diwakilkan melalui DPR dan DPD.
Yang luput dari argumen di atas ialah pertimbangan tentang kelemahan dalam corak keterwakilan partai politik di DPR dan terutama keterwakilan di DPD.
Semua tahu bahwa pola perekrutan dan representasi di partai hingga ke parlemen lebih ditentukan oleh kuasa oligarki politik dan kuasa modal (uang).
Dalam perlombaan untuk melampaui ambang batas suara agar bisa memperoleh kursi di DPR, pertimbangan keterwakilan seorang calon sering dikalahkan oleh pertimbangan keterpilihan (elektabilitas). Dalam kontestasi pemilu yang high cost politics, faktor keterpilihan lebih penting daripada keterwakilan calon.
Adapun DPD yang semula diharapkan murni wakil daerah, ternyata kini diintervensi juga oleh partai politik. Banyak anggota DPD yang sebelumnya adalah anggota DPR atau anggota partai politik. Dengan demikian, DPD memperlihatkan pola keterwakilan ganda.
Dengan pola perwakilan politik pasca-amendemen saat ini, banyak kelompok dan komunitas yang tidak atau kurang terwakili secara politik di parlemen (under represented).
Dalam konteks itulah dibutuhkan perubahan ke arah terciptanya perwakilan politik yang inklusif, yang mampu mewakili semua kelompok atau komunitas dalam masyarakat.
Adapun DPD yang semula diharapkan murni wakil daerah, ternyata kini diintervensi juga oleh partai politik.
Persoalannya, bagaimana menentukan kriteria dari berbagai golongan, kelompok, atau komunitas yang masuk dalam kategori inklusif. Persoalan lainnya adalah bagaimana mekanisme pemilihan untuk perwakilan inklusif ini. Apakah juga melalui pemilu atau pola konvensi dalam setiap golongan itu, ataukah ada pola lain?
Inilah sebagian persoalan yang perlu dibahas lebih lanjut dalam usaha mewujudkan sistem perwakilan inklusif sebagai penyeimbang terhadap sistem perwakilan politik saat ini.