Kita menyadari muskilnya upaya penghapusan senjata nuklir, tetapi semangat untuk itu janganlah padam.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Terkait senjata nuklir, sedikitnya tiga hal yang bisa kita wacanakan. Pertama, di masa Covid-19, senjata yang digolongkan sebagai senjata pemusnah massal ini tak relevan.
Kedua, meski kini jumlah hulu ledak nuklir di dunia sudah jauh di bawah jumlah pada era Perang Dingin, sekitar 70.000 di pertengahan dasawarsa 1980-an dan 14.000 dewasa ini, tetap saja kondisi ini buruk dan berbahaya. Mayoritas negara ingin senjata nuklir dihapus dari bumi. Mungkin itu hanya khayalan karena jin nuklir telanjur keluar sejak abad kemarin.
Ketiga, China menolak usulan Amerika Serikat (AS) agar masuk dalam perundingan trilateral, bersama Rusia, membicarakan pengurangan arsenal nuklir, khususnya yang masuk kategori strategis, dalam skema ”New START”. START adalah Traktat Pengurangan Senjata Nuklir Strategis, dengan jangkauan antarbenua (Kompas, 9/7/2020).
Mayoritas negara ingin senjata nuklir dihapus dari bumi.
Sembilan negara kini memiliki persenjataan nuklir, yakni anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yaitu AS, China, Inggris, Perancis, dan Rusia; ditambah India, Israel, Pakistan, dan Korea Utara. Hulu ledak atau bom yang bisa dipasang di pucuk rudal kesembilan negara itu adalah AS (6.185), Rusia (6.490), Inggris (200), Perancis (300), Israel (90), India (140), Pakistan (160), China (290), dan Korut (30) (Data Arms Control Association).
Gudang atau arsenal AS jauh di atas China. Dari kacamata China, wajar jika ajakan AS untuk mempersoalkan senjata nuklir hanya ”omong kosong”, atau meminjam istilah yang disukai Presiden Donald Trump, hanya ”hoaks”.
Kepala Departemen Pengendalian Senjata di Kementerian Luar Negeri China Fu Cong, Rabu (8/7/2020), mengatakan, China senang hati ikut perundingan pengawasan senjata nuklir dengan AS dan Rusia, dengan syarat, AS lebih dahulu mengurangi arsenal nuklirnya.
Dari sini kita melihat, wacana perundingan senjata nuklir antarkuasa utama dunia hanya wacana kosong. Tak mungkin AS bersedia mengurangi arsenalnya yang sekitar 20 kali lipat arsenal China, apalagi mengingat nuklir masih tetap senjata yang diakui prestise dan daya penggentarannya.
Sebaliknya AS berargumen, China punya kewajiban merundingkan senjata nuklirnya, dan desakan itu disertai dengan kecurigaan, Beijing sedang melakukan program ”pembangunan cepat” persenjataan nuklirnya agar bisa mengimbangi, atau mencapai paritas, arsenal AS dan Rusia.
Tudingan oleh Utusan Perundingan Nuklir AS Marshall Billingslea itu dibantah oleh China, yang sebaliknya menuduh, dengan semua langkahnya itu AS sebenarnya sedang ingin keluar dari traktat pembatasan dan bisa bebas mencapai posisi superior atas lawannya, riil atau khayal (CNN, 8/7/2020).
Argumen China bahwa ”tak masuk akal jika yang dianggap mengancam keamanan dunia, sedangkan AS menyimpan senjata lebih banyak” terdengar logis. Pertama-tama, AS dan Rusia sebagai pemilik senjata nuklir paling banyak merundingkan lebih dulu ”START Baru” untuk memangkas arsenalnya masing-masing. Berikutnya baru mengajak negara lain.
Kita menyadari muskilnya upaya penghapusan senjata nuklir, tetapi semangat untuk itu janganlah padam.