Dalam pembelajaran daring banyak tantangan harus kita hadapi. Tantangan utama adalah persoalan akses dan budaya siswa. Sebagian besar siswa tidak memiliki kemampuan ekonomi untuk akses pada internet.
Oleh
Suyanto
·5 menit baca
Pemerintah telah mengambil keputusan penting untuk memulai tahun ajaran baru pada pertengahan Juli 2020. Meskipun demikian, bukan berarti sekolah akan diizinkan menyelenggarakan proses pembelajaran tatap muka di seluruh kawasan RI. Hanya sekolah yang berada di zona hijau, yang jumlahnya hanya 6 persen (85 kabupaten/kota), yang diperbolehkan menyelenggarakan pembelajaran tatap muka dengan persyaratan harus mematuhi protokol kesehatan secara disiplin.
Penyelenggaraan pembelajaran di zona hijau ini tentu tidak mudah karena sekolah harus memprioritaskan keselamatan siswa, guru, dan tenaga kependidikan yang ada. Oleh karena itu, kepala sekolah harus memiliki kepemimpinan yang tangguh, partisipatif, transformatif, dan benar-benar melayani (memiliki servant leadership style) agar bisa dipastikan bahwa keamanan bagi komunitas sekolah dari penularan Covid-19 benar-benar terjaga.
Untuk melaksanakan pembelajaran di zona hijau ini pun memerlukan alokasi anggaran yang berbeda karena sekolah harus menyediakan sarana cuci tangan dengan sabun secara memadai, menata tempat duduk di kelas sedemikian rupa agar jarak fisik (physical distancing) bisa dilaksanakan, memastikan anak-anak bisa dicek parameter kesehatannya sebelum masuk kelas dengan termometer infrared, menyediakan masker bagi anak-anak yang tidak memilikinya, dan sebagainya.
Untuk inilah, pentingnya kepala sekolah memiliki kepemimpinan yang baik dan efektif serta didukung oleh guru yang memiliki kepemimpinan pembelajaran yang memberdayakan peserta didik.
Pemerintah telah mengambil keputusan untuk memulai tahun ajaran baru pada pertengahan Juli 2020. Meskipun demikian, bukan berarti sekolah akan diizinkan menyelenggarakan proses pembelajaran tatap muka di seluruh kawasan RI.
”Big data” pendidikan
Bagaimana dengan sekolah yang berada di zona nonhijau? Sekolah yang berada di zona kuning, oranye, dan merah (zona nonhijau) cukup besar jumlahnya. Ini tantangan berat bagi sistem dan penyelenggara pendidikan kita pada tingkat satuan pendidikan. Mengapa demikian? Karena sebagian besar sekolah berada pada 94 persen zona nonhijau dari wilayah NKRI. Ini berarti, sekolah kita bertebaran di 429 kabupaten/kota di wilayah Indonesia nonhijau.
Pendidikan kita saat ini juga memiliki big data dengan klasifikasi: jumlah sekolah 220.098; peserta didik 44.621.547; guru yang riil mendapat penugasan mengajar saat ini 2.720.778; tenaga kependidikan 85.074, dan rombongan belajar 1.848.658 (Dapodikdasmen, Rekap Nasional Semester Genap 2019/2020, 24 Juni 2020). Big data pendidikan itu harus menjadi pertimbangan dasar ketika pemerintah mengambil kebijakan pembelajaran, baik di zona hijau maupun nonhijau.
Jika kebijakan pendidikan di tahun ajaran baru nanti diambil tanpa memperhitungkan dampak pada big data pendidikan, tentu ini akan sangat merugikan bagi penyiapan kualitas sumber daya manusia Indonesia secara nasional untuk menyongsong Indonesia emas 2045.
Oleh karena itu, semua kebijakan terkait pendidikan di masa pandemi pada tahun ajaran baru, baik itu menyangkut pembaruan kurikulum, peningkatan profesionalisme guru secara berkelanjutan, pembelajaran daring, maupun pembelajaran tatap muka, semuanya harus didasarkan pada fakta dan data lapangan yang akurat dan valid. Mengapa begitu? Karena kebijakan sekecil apa pun, dampaknya akan luar biasa pada komponen big data pendidikan.
Kebijakan pendidikan tidak boleh diputuskan hanya dari pemikiran segelintir orang yang hanya duduk di belakang meja di kementerian dengan hanya menggunakan asumsi-asumsi rasional tanpa melihat kondisi riil lapangan yang terdiri dari jutaan pemangku kepentingan (stakeholder) dari sebuah kebijakan.
Kebijakan yang baik adalah yang memiliki terma operasional yang tidak multimakna dan multitafsir bagi stakeholder (Straub 2009). Kebijakan yang tak melihat lapangan memiliki risiko yang begitu luas bagi pendidikan kita; karena baru berbicara aspek siswa kita saja, jumlahnya hampir sama dengan tiga kali penduduk Australia. Jumlah gurunya hampir sama dengan separuh penduduk Singapura.
Maka dari itu, kebijakan pendidikan di masa pandemi pada tahun ajaran baru perlu dirumuskan dengan ekstra hati-hati dalam menentukan agenda, perumusan kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi dan evaluasinya. Tanpa kehati-hatian, akan menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian para stakeholder pendidikan di tingkat pelaksana dan subyek dari target kebijakan yang jumlahnya sangat besar.
Kebijakan yang baik adalah yang memiliki terma operasional yang tidak multimakna dan multitafsir bagi stakeholder (Straub 2009).
Kebijakan pendidikan yang baik dan efektif di masa pandemi seperti ini tentu harus mampu memecahkan masalah yang dihadapi oleh komponen big data pendidikan secara efisien dan efektif, bisa memfasilitasi sekolah-sekolah, baik swasta maupun negeri, untuk mencapai tujuan pembelajaran, baik daring mapun tatap muka, dan juga mampu mengajak stakeholder berpartisipasi aktif dalam mengimplementasikan kebijakan pendidikan di saat pandemi masih terjadi.
Pembelajaran daring
Pembelajaran daring akan menjadi kebijakan utama pada sebagian besar sekolah kita di zona non-hijau pada tahun ajaran baru. Karena menjadi kebijakan utama, pemerintah harus mengenali tantangan kebijakan secara komprehensif dilihat dari unsur-unsur yang terlibat dalam pembelajaran itu.
Jika kapabilitas unsur-unsur yang terlibat tidak dipetakan secara baik dengan berbagai kesiapan dan kapasitasnya, yang namanya kebijakan belajar daring hanya akan menjadi euforia, jauh dari realitas dan cita-cita.
Dalam pembelajaran daring banyak tantangan harus kita hadapi. Tantangan utama adalah persoalan akses dan budaya siswa. Sebagian besar siswa tidak memiliki kemampuan ekonomi untuk akses pada internet. Apalagi di daerah 3T akses itu sangat sulit, kalau tidak ingin mengatakan tidak ada sama sekali. Pemerintah harus segera membuat peta akses internet para siswa kita. BOS afirmasi perlu dihidupkan lagi agar siswa yang secara ekonomi tak mampu mengakses jaringan internet bisa dibantu.
Dari aspek budaya, siswa dan guru juga memiliki masalah. Tak bisa serta-merta siswa dan guru diminta klik laptop atau telepon pintarnya, kalau mereka punya, lalu terjadi kegiatan pembelajaran daring dengan otomatis dan sesuai prinsip pembelajaran jarak jauh.
Dengan diberi tahu platform pembelajaran belum tentu terjadi interkoneksi antar-orang, antar-program, dan antar-mesin seperti terjadi pada karakteristik budaya masyarakat di era Revolusi Industri 4.0. Pendek kata, aspek budaya ini harus juga menjadi bahan pertimbangan kebijakan pembelajaran daring.
Harus ada proses peningkatan kapasitas guru dan siswa untuk mengenali budaya daring agar mereka bisa memaanfaatkan internet of things (IoT) yang sedang marak saat ini. Selanjutnya agar pembelajaran daring efektif, orangtua juga harus bisa belajar untuk berubah, mengembangkan growth mindset dalam new normal pembelajaran bagi putra-putrinya.
Dari aspek budaya, siswa dan guru juga memiliki masalah.
Orangtua harus juga bisa mendengarkan anaknya ketika dia menghadapi kesulitan belajar, bisa bertindak sebagai shadow teacher, bisa menjadi model bagi habituasi karakter yang dikhawatirkan akan terabaikan dengan modalitas pembelajaran daring.
Konsekuensinya, guru dan sekolah perlu menciptakan sistem komunikasi resiprokal dengan orangtua siswa agar penanaman karakter bisa terjadi secara koheren, tak kontradiksi dengan apa yang dirumuskan guru dan sekolah.
Suyanto
Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta;
Dirjen Mandikdasmen Kemdiknas 2005-2013;
Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan 2019-2023