Jika regulasi mengharuskan BI membeli obligasi tanpa bunga, persoalan tidak berhenti sampai di sini. Hasil penjualan obligasi tanpa bunga akan disimpan pemerintah pada rekening khusus di BI. Artinya ”jeruk makan jeruk”.
Oleh
Haryo Kuncoro
·4 menit baca
Setelah Mei lalu tidak berhasil membujuk Bank Indonesia agar menempuh ”kebijakan” cetak uang, DPR kembali mengusulkan supaya BI membeli obligasi tanpa bunga (zero coupon bond) yang akan diterbitkan pemerintah. Usulan ini mengemuka terkait dengan pembiayaan penanggulangan dampak Covid-19.
Mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 tentang perubahan postur dan rincian APBN 2020, pemerintah memikul beban defisit Rp 1.039,2 triliun atau 6,34 persen produk domestik bruto (PDB). Pelebaran rasio defisit harus dibiayai melalui utang sebesar Rp 903,46 triliun.
Pembiayaan utang tampaknya menjadi pilihan yang realistis untuk saat ini. Dampak Covid-19 di Indonesia sangat fundamental, belum pernah terjadi sebelumnya, dan luar biasa memukul aktivitas ekonomi. Sumber penerimaan negara dari pajak dan nonpajak terkendala gejala stagnasi ekonomi global dan domestik.
Alhasil, instrumen obligasi tanpa bunga menjadi wahana berbagi beban (burden sharing) antara pemerintah dan BI dalam membiayai program pemulihan ekonomi nasional. Tak seperti pada kasus surat berharga negara (SBN) sebelumnya, BI membeli obligasi tanpa bunga dengan harga khusus di pasar perdana.
Per definisi, obligasi tanpa bunga adalah surat utang tanpa bunga secara berkala (atau tanpa kupon, sebagaimana obligasi pada umumnya) sampai surat utang itu jatuh tempo. Investor membeli surat utang itu dengan harga diskon, lalu menerima pembayaran dengan nilai penuh saat obligasi jatuh tempo.
Alternatif pembiayaan defisit lewat obligasi tanpa bunga sangat masuk akal. Obligasi tanpa bunga merupakan upaya nyata pemerintah mendiversifikasi sumber pembiayaan yang lebih kompetitif. Tujuan utamanya agar mendapatkan dana dengan biaya lebih murah disesuaikan dengan kondisi arus kas emiten.
Pembiayaan utang tampaknya menjadi pilihan yang realistis untuk saat ini.
Faktanya, sampai saat ini suku bunga SBN yang diserap baik oleh investor ataupun oleh BI relatif mahal di kisaran 7-8 persen. Suku bunga SBN ini punya kecenderungan terus meningkat. Kondisi ini niscaya membebani belanja pembayaran bunga utang setidaknya untuk jangka waktu 10 tahun ke depan.
Penerbitan obligasi tanpa bunga secara tak langsung sudah sejak awal mengontrol beban pembayaran bunga utang. Pengendalian atas beban bunga utang juga akan meredam pembengkakan defisit keseimbangan primer. Keseimbangan primer yang bersaldo minus mengharuskan pemerintah mencari utangan baru untuk menutup utang lama.
Perspektif BI dan investor
Beberapa argumen di atas didasarkan pada sudut pandang pemerintah sebagai emiten obligasi tanpa bunga. BI sebagai calon pembeli obligasi tanpa bunga tentu memiliki logika sendiri. Kendati tidak berorientasi pada perolehan imbal hasil, BI tetap akan menggunakan prinsip dasar manajemen keuangan.
Pertama, instrumen obligasi tanpa bunga terbilang baru di Indonesia. Hingga saat ini belum ada korporasi, baik swasta maupun BUMN, yang menerbitkan instrumen surat utang dengan jenis ini. Intinya, BI tak memiliki rujukan kokoh praktik obligasi tanpa bunga di dalam negeri.
Merujuk pada praktik terbaik secara internasional membuka peluang terjadi ketidakcocokan. Perbedaan regulasi, lingkungan, dan kondisi pasar obligasi tanpa bunga membuat BI tak bisa utuh mengadopsinya. Analogi yang tak proporsional malah bisa merugikan BI, alih-alih membantu pembiayaan pemerintah.
Kedua, menyangkut penentuan harga (pricing). Harga obligasi tanpa bunga akan dilirik calon investor jika minimal memberikan imbal hasil yang sama besar ketika dana itu ditanamkan pada aset finansial sejenis. Suku bunga pasar, inflasi, dan nilai tukar menjadi parameter fundamentalnya.
Kegagalan memberikan insentif lebih atraktif akan membuat obligasi tanpa bunga tak bisa sepenuhnya diterima pasar. Di samping perdagangan di pasar sekunder yang belum terbangun, permintaan terhadap instrumen obligasi tanpa bunga, lagi-lagi, bergantung pada kondisi makroekonomi suatu negara.
Sejalan dengan itu, investor juga mempertimbangkan tingkat hasil investasi dari emiten surat utang, yakni kemampuan pemerintah untuk menghimpun penerimaan guna membayar kewajibannya. Lemahnya prospek penerimaan negara mendorong harga obligasi tanpa bunga jadi rendah sehingga target pembiayaan bisa meleset.
Ketiga, penyerapan obligasi tanpa bunga niscaya akan membuat keseimbangan portofolio BI sedikit ”goyah”. Sampai Juni 2020, misalnya, total SBN yang dipegang BI, lewat penyerapan di pasar perdana ataupun dari operasi moneter di pasar sekunder, sudah mencapai Rp 447 triliun.
Ketika BI hendak menyeimbangkan kembali portofolionya, penjualan SBN oleh BI akan cepat termonetisasi. Potensi guncangan tidak hanya terjadi di pasar keuangan, tetapi juga di pasar barang/jasa dalam bentuk kenaikan laju inflasi. Pasalnya, pembelian SBN oleh BI di pasar perdana sejatinya sama saja dengan cetak uang baru.
Kegagalan memberikan insentif lebih atraktif akan membuat obligasi tanpa bunga tak bisa sepenuhnya diterima pasar.
Kalaupun regulasi mengharuskan BI membeli obligasi tanpa bunga, persoalan tidak berhenti sampai di sini. Hasil penjualan obligasi tanpa bunga akan disimpan pemerintah pada rekening khusus di BI. BI kemudian memberi remunerasi 80 persen dari suku bunga acuan. Artinya, fenomena ”jeruk makan jeruk” pun terjadi.
Alhasil, perbedaan pandangan antara otoritas moneter dan otoritas fiskal tampaknya sulit dipertemukan ke dalam satu wadah. Pokok persoalannya berkutat pada pemaknaan jargon ”berbagi beban”. Beban finansial APBN akan dibagi atau digeser (burden shifting) harus tegas dijawab lebih dahulu.
Dalam skala yang lebih luas, pembelian obligasi tanpa bunga bisa menggerus independensi BI. Hubungan koordinasi antara pemerintah (Kementerian Keuangan) dan BI bisa berubah menjadi subordinasi. Misi utama stabilisasi yang diemban BI terganggu oleh tujuan penggeliatan ekonomi yang sejatinya bukan mandat BI.
Haryo Kuncoro, Guru Besar FE Universitas Negeri Jakarta; Direktur Riset SEEBI Jakarta.