Donat-donat Penyelamat
Donat dengan lubang di tengahnya bisa diinterpretasikan sebagai ruang imajinatif yang pernah menyelamatkan nyawa ratusan orang dari amukan badai. Kini, ia menjadi ”penyelamat” ekonomi keluarga di tengah badai pandemi.
Kalau saja Kapten Hanson Crockett Gregory tidak menancapkan kue-kue pada jari-jari kemudi kapalnya, mungkin pelayaran mereka tidak akan pernah selamat.
Ketika badai tiba-tiba datang, Hanson sedang berada di anjungan dan menikmati kue olykoek buatan para kokinya.
Secara tak terduga kapalnya bergetar hebat karena terjangan angin. Dengan spontan, kapten berkebangsaan Denmark itu menancapkan semua olykoek.
Konon setelah badai reda, Hanson kembali menikmati kue goreng yang mulai populer di New York dan New England pada abad ke-16 dan ke-17 itu. Pada pertengahan abad itu memang sedang bermunculan gerai olykoek di New York.
Gerai pertama yang menyajikan olykoek didirikan oleh Anna Joralemon pada 1673. Sejak itu kemudian banyak bermunculan gerai-gerai serupa yang selalu dipadati oleh para pengopi.
Kisah Kapten Hanson hanya satu versi dari kehadiran olykoek, yang kemudian oleh orang Amerika disebut dough-nut atau kue adonan kacang-lemak. Dalam History of New York (1809), Washington Irving menggambarkan, dough-nut adalah kue berbentuk bola yang terbuat dari adonan manis dan digoreng dengan lemak. Kata dough-nut kemudian secara perlahan berubah menjadi donut menurut pelafalan lidah orang-orang Amerika di New England.
Setidaknya menghilangnya sebutan olykoek memiliki keterkaitan yang erat dengan penyerahan New Netherland (sekarang Manhattan) dari Kerajaan Belanda kepada Kerajaan Inggris tahun 1667 dalam Perjanjian Breda.
Inggris mendapatkan New Netherland (kemudian menjadi New England) dan Belanda mendapatkan Pulau Rhun yang terletak di Maluku, Indonesia. Pergantian rezim ini telah menghilangkan kata olykoek, sebutan bahasa Belanda untuk kue goreng, tetapi dalam wujud fisik yang sama. Sebutannya berubah menjadi dough-nut, yang kini kita kenal sebagai donat.
Setelah kisah Kapten Hanson menyebar luas di New England, secara evolutif dough-nut yang tadinya berbentuk bulat kemudian berubah menjadi kue berlubang yang seksi.
Baca juga : Mesin Ketik Tua Hadiah Mertua
Tidak itu saja, lubang di tengah-tengah kue sebenarnya kita bisa interpretasikan sebagai ruang imajinatif di mana ia pernah menyelamatkan nyawa ratusan orang yang sedang berlayar di tengah amukan badai.
Kira-kira sebulan setelah virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan penyakit Covid-19 menerjang kita semua, aku banyak menerima pesan lewat jaringan media sosial yang menawarkan kue donat.
Seorang karyawan BUMN dan seorang ibu rumah tangga di Denpasar tiba-tiba mengirim gambar-gambar tentang kebiasaan barunya membuat donat. Seorang guru di Jakarta dan seorang penyair di Garut juga melakukan hal serupa.
Donat dengan berbagai varian, mulai dari donat kentang, donat labu, donat ubi, sampai varian-varian lain, kini banyak dijadikan ”pekerjaan” sambilan selama protokol ”dirumahaja” diberlakukan.
Bahkan ketika kita memasuki masa transisi menuju kenormalan baru, donat semakin banyak diproduksi oleh para perempuan di rumah. Mungkin kau bertanya-tanya, mengapa pilihannya harus donat?
Ayu Melytta, seorang karyawan BUMN di Denpasar, beralasan, ”Karena donat populer dan rasanya bisa jadi camilan yang pas saat berada di rumah saja,” katanya pekan lalu.
Baca juga : Puisi dalam Tiga Langkah
Sebenarnya, ia pernah praktik membuat donat beberapa tahun lalu, tetapi ketika masa pandemi, ia kembali membuka-buka laman Youtube untuk berlatih membuat donat.
Hal senada dilakukan penyair Ratna Ayu Budhiarti di Garut. Mulanya, ia iseng mencari cara untuk menambal ekonomi rumah tangganya yang bolong-bolong karena pandemi.
Warung sembako yang dibangun ibu tunggal ini tidak bisa beroperasi secara normal karena banyak karyawannya berhenti kerja. ”Saya harus putar otak mencari celah penghasilan,” katanya.
Entah kenapa, ia jatuh hati pada donat. Ratna sendiri tidak pernah tahu bahwa donat varian labu kuning sudah pernah diproduksi orang lain. ”Pokoknya instingtif saja seperti menulis puisi. Karena ada sisa labu di kulkas, ya, saya pakai untuk bahan donat,” katanya.
Setelah seluruh jaringan bisnisnya tesendat oleh amukan badai korona, Vera Lafrina berinisiatif membuat donat. Ia berpikir sederhana, rumah adalah benteng terakhir pertahanan ketika jalan-jalan tak bisa lagi dilalui. Ia ingat pernah belajar membuat beberapa jenis kue, termasuk donat. ”Mengapa tidak dengan donat?” katanya.
Baca juga : Melati dari Ruang Isolasi
Maka, ia mulai mengumpulkan serpih-serpih ilmunya untuk disatukan dalam bisnis penganan rumahan. Donat tetap menjadi pilihan favorit karena sangat populer di banyak kalangan.
Membuatnya pun, kata Vera, tidak terlalu banyak memakan waktu dan tenaga. Ia bisa menyambinya dengan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga lain, termasuk mengurus anak-anaknya.
Kini, Ayu Melytta, Ratna Ayu Budhiarti, dan Vera Lafrina malah kewalahan memenuhi pesanan yang datang dari sejumlah daerah. Vera menyatakan keheranannya. ”Orang kini di rumah, tetapi lebih banyak belanja online. Saya kewalahan memenuhi PO (preorder) donat,” katanya.
Mendengar kisah ketiga ibu muda ini, tiba-tiba tertayang adegan film-film Hollywood, yang secara stereotip menggambarkan para polisi, terutama anggota New York Police Department (NYPD), makan donat dan minum kopi di tengah malam.
Mereka bahkan kadang secara sengaja berhenti di gerai-gerai donat ketika sedang berpatroli. Lagi pertanyaan yang sama muncul, mengapa mesti donat? Mungkin akan ada banyak jawaban yang perlu diuji kebenarannya. Konon, gerai pertama-tama yang beroperasi selama 24 jam di kota seperti New York adalah Dunkin Donuts.
Secara cerdas hampir semua gerai Dunkin Donuts menyajikan desain ruangan yang luas dengan meja-meja yang lebar. William Rosenberg, yang mendirikan jaringan waralaba ini tahun 1948 di Quincy, Massachusetts, Amerika, mungkin sudah menangkap peluang bahwa banyak orang Amerika masih bekerja di malam hari. Para polisi kemudian memanfaatkan meja-meja itu dengan menulis laporan sambil mengunyah donat dan menyeruput kopi.
Baca juga : Berziarah ke Pikiran Bapak
Perlahan-lahan kebiasaan itu menular kepada hampir semua personel polisi Amerika jika sedang melakukan patroli. Mereka merasa warung donat yang kini memiliki lebih dari 8.000 gerai di seluruh dunia itu menjadi penyelamat tugas dan perut mereka di malam hari.
Jadi, apa yang kemudian kita saksikan dalam tayangan film-film Hollywood sebenarnya representasi dari kondisi nyata yang memperlihatkan keterhubungan antara polisi dan gerai donat.
Apa yang sebelumnya diungkapkan oleh Soren Kierkegaard sebagai ”sikap eksistensial”, yakni sebuah kondisi disorientasi, bingung, atau bahkan penuh ketakutan, di hadapan sebuah dunia yang absurd, akhir-akhir ini melanda hampir semua dari kita.
Setelah hampir empat bulan berada di rumah, aku mulai berpikir apa yang kau dan aku hadapi belakangan ini sesuatu yang absurd. Tak ada penjelasan yang benar-benar bisa memuaskan daya nalar.
Kita merasa seperti sedang dibekap gelembung plastik tanpa udara. Hanya ada satu cara agar kau bisa menghirup udara segar kembali: menusuk gelembung plastik itu!
Hebatnya, para perempuan seperti Ayu, Ratna, Vera, serta banyak perempuan lain di rumah-rumah adalah mereka yang pertama-tama berani memecahkan cangkang besar ketakberdayaan kita menghadapi pandemi.
Baca juga : Melunasi Kutang Masa Lalu
Mereka, dalam istilah Kierkegaard, adalah individu-individu yang berani memikul tanggung jawab, memberikan makna bagi hidup dan kehidupan, serta makna itu secara jujur dan bergairah (otentik).
Dalam bekapan absurditas hidup yang tak mungkin dipecahkan oleh dalil-dalil logika dan agama, sikap realistis menjadi terobosan yang dibutuhkan.
Di situ donat seperti pembawa berkat. Mungkin kau berpikir aku terlalu mengistimewakan donat, bukan? Di sisi lain, donat benar-benar menjadi ”keramat” bagi orang-orang Amerika yang bertugas di malam hari.
Mereka merasa diselamatkan oleh cerita tentang donat yang terus-menerus direproduksi dari generasi ke generasi, bahwa Kapten Hanson telah membawa ”kapal Amerika” keluar dari pusaran badai mematikan.
Kapal yang tadinya diombang-ambing badai di tengah lautan akhirnya selamat berkat kerja keras Kapten Hanson mengendalikan kemudi yang dipenuhi kue olykoek.
Ketika badai itu kini bertriwikrama menjadi virus SARS-CoV-2, para perempuan menjadi kapten kapal yang piawai. Mereka seolah menemukan celah sempit di tengah kepungan badai, untuk kemudian menerobos masuk dan meloloskan diri dari kehancuran.
Baca juga : Misteri Masakan Ibu
Donat menjadi pilihan paling realistis, bukan cuma karena kisahnya yang menyelamatkan para awak kapal Kapten Hanson, tetapi penganan ini telah memasuki ranah industri gaya hidup. Ia lahir menjadi simbol baru bagi masyarakat yang terus membutuhkan eksistensi.
Aku jadi ingat orang-orang dari kampung-kampung di Malang selatan yang hampir selalu menggunakan donat sebagai bahasa silaturahmi di antara sesama warga. Mereka akan menyuguhkan kue donat kepada para tamunya setiap menggelar hajatan.
Oleh sebab itu, jangan heran jika sejak awal tahun 1990-an, gerai donat bertebaran di pojok-pojok kota Malang. Donat kemudian lahir menjadi simbol kemapanan baru meskipun ia tetap disuguhkan kepada para petani, misalnya.
Kalau kemudian donat hasil ”kerajinan tangan” para perempuan tadi kini telah menjangkau banyak kota, pastilah itu bukan semata-mata karena kuasa teknologi dan metode pemasaran yang gencar, tetapi lebih-lebih karena donat telah identik dengan kudapan yang menyelamatkanmu dari belitan absurditas hidup yang kian mengungkung.
Saat-saat kau menggigit teksturnya yang lembut dan entakan rasa manis dari cokelat atau gula tabur, kau akan terlempar ke suatu dunia baru, yakni dunia penuh gairah.
Itulah yang membuatmu terus berusaha mempertahankan hidupmu kendati sedang berada dalam kurungan pandemi yang entah kapan akan berakhir. Kau dan aku belum tahu pasti, tetapi donat menyediakan lubang imajinasi kepadamu untuk terus menjelajah kemungkinan terjauh dari kehidupan yang berani dan bergairah.