Masyarakat internasional perlu mencari solusi lebih permanen agar Palestina dan Israel bisa hidup berdampingan secara damai.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Kita mengapresiasi penundaan pencaplokan Tepi Barat oleh Israel. Dunia tetap ingin penyelesaian Israel-Palestina berpegang pada solusi dua negara.
Sejak 1970-an, setelah Israel menang perang, warga Israel mulai menduduki Tepi Barat. Namun, sejak 1993, ketika terjadi kesepakatan damai di Oslo antara Presiden Palestina Yasser Arafat dan Perdana Menteri (PM) Israel Yitzhak Rabin, tidak banyak lagi warga Israel yang membangun permukiman di Tepi Barat.
Ketika Ariel Sharon yang dari partai sayap kanan menjadi PM Israel periode 2001-2006, pembangunan permukiman mendapat dukungan pemerintah. Bahkan, tentara Israel menduduki kembali sebagian besar Tepi Barat dalam serangkaian operasi militer. Tahun 2002, Sharon mulai membangun pembatas pemisah di antara kedua komunitas yang sampai sekarang memanjang sekitar 700 kilometer (km).
Pada Desember 2017, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel, yang dikecam Palestina. Padahal, Palestina menganggap Jerusalem Timur sebagai ibu kota negara mereka di masa depan.
Tidak berhenti di situ saja, Trump menggagas perdamaian abad ke-21. Namun, Palestina menolak proposal damai Donald Trump. Lembah Jordan dan permukiman Yahudi di Tepi Barat masuk dalam proposal Trump yang diumumkan pada Januari 2020. Wilayah yang akan dianeksasi sekitar 30 persen dari total luas wilayah Tepi Barat, yakni 5.655 km persegi. Sebagai pengganti, Palestina mendapat wilayah di Gurun Negev, dekat Gaza, dan perbatasan Israel-Mesir (Kompas.id, 2/7/2020).
Mei 2018, Washington memindahkan kedutaan besarnya ke Jerusalem dan setahun kemudian Trump resmi mengakui pencaplokan Dataran Tinggi Golan. Dukungan Trump yang cukup intens ini dijadikan momentum oleh Netanyahu untuk meresmikan pencaplokan menjelang pemilu presiden di AS.
Namun, usaha pencaplokan Tepi Barat itu mendapat tentangan dari masyarakat internasional, termasuk Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres. PM Inggris Boris Johnson juga menyatakan, aneksasi Tepi Barat ”bertentangan” dengan kepentingan banyak negara. ”Itu termasuk tindakan ilegal dan Inggris tidak akan mengakuinya,” katanya.
Usaha pencaplokan Tepi Barat mendapat tentangan dari masyarakat internasional, termasuk Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres.
Penolakan juga datang dari Partai Biru-Putih, koalisi Netanyahu yang membentuk pemerintahan baru di Israel. Menteri Luar Negeri Israel Gabi Ashkenazi yang berasal dari Partai Biru-Putih menolak keras pelaksanaan aneksasi yang sedianya akan dimulai 1 Juli 2020.
Imbauan beberapa negara di Timur Tengah agar Palestina dan Israel bertemu langsung di meja perundingan, seperti dilakukan Sharon dan Arafat pada 1993, belum juga terlaksana. Namun, solusi dua negara dengan batas negara seperti sebelum perang 1967 pasti tidak dimaui Israel. Masyarakat internasional perlu mencari solusi lebih permanen agar kedua negara bisa hidup berdampingan secara damai.