Kartu Prakerja, Masalah dan Solusi
Pada masa pandemi sebaiknya program Kartu Prakerja dihentikan. Korban PHK, karyawan yang dirumahkan, serta pencari kerja yang semakin terpuruk karena pandemi Covid-19 langsung diberikan bansos saja.
Pelaksanaan program Kartu Prakerja ditunda pemerintah. Begitupun dengan pembayaran untuk platform digital dan lembaga pelatihan.
Pemerintah selanjutnya meminta Komisi Pemberantasan Korupsi dan kejaksaan meninjau ulang tata kelola Kartu Prakerja secara hukum (Kompas, 17/6/2020).
Langkah ini menandakan pemerintah mendengar sikap kritis publik yang deras terkait Kartu Prakerja.
Dimensi permasalahan Kartu Prakerja dapat dilihat dari tiga pendekatan. Pertama, momentum pelaksanaan. Kedua, mekanisme dan teknis pelaksanaan. Ketiga, hukum.
Menurut hemat penulis, momentum pelaksanaan Kartu Prakerja saat ini tidak tepat. Kartu Prakerja adalah program untuk meningkatkan kompetensi (upskilling) para pencari kerja dalam rangka menjembatani kesenjangan (gap) antara tersedianya banyak lowongan kerja (baru) sebagai konsekuensi adanya pertumbuhan ekonomi dan kondisi tenaga kerja yang tidak memiliki keterampilan (unskilled).
Tahun ini tahun krisis, pertumbuhan ekonomi turun drastis, bahkan bisa negatif. Jangankan tersedia banyak lowongan kerja, yang terjadi justru pengurangan lowongan kerja, terlihat dari banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK). Output Kartu Prakerja bisa mubazir karena tidak bisa diserap dunia kerja. Pelaksanaan yang dipaksakan pada masa krisis menyebabkan Kartu Prakerja dibebani misi pemberian bantuan sosial.
Menurut hemat penulis, momentum pelaksanaan Kartu Prakerja saat ini tidak tepat.
Maka terjadilah kontradiksi konsep antara pelatihan upskilling yang mantranya adalah kualitas dan link and match dengan bansos yang mantranya kedaruratan (yang umumnya meminggirkan kualitas). Perbedaan konseptual ibarat minyak dan air yang tidak mungkin dapat menyatu itu juga berpengaruh pada orientasi peserta mengikuti Kartu Prakerja. Banyak peserta yang orientasinya bukan untuk meningkatkan kompetensi, melainkan mendapatkan insentif pasca-pelatihan.
Mekanisme dan teknik pelaksanaan
Permasalahan mekanisme dan teknik pelaksanaan Kartu Prakerja, di antaranya, pertama, sejak awal tidak ada konsep atau ketentuan jenis skill yang boleh/tidak boleh masuk dalam pelatihan daring dan tak ada standardisasi kualitas video pelatihan atau kurasi lembaga pelatihan (content provider). Akibatnya, banyak jenis video pelatihan yang kurang layak dimasukkan dan kualitasnya lebih buruk dari video gratisan.
Kedua, sertifikat pelatihan tidak mengacu pada proses sertifikasi BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi) sehingga output program diragukan akan diterima dunia kerja.
Ketiga, penunjukan platform digital sebagai mitra resmi sesungguhnya hanya memberikan ruang adanya ”pemain tengah” antara pemerintah dan lembaga pelatihan. Kehadirannya bisa diabaikan karena hanya membuat teknis pelaksanaan lebih bertele-tele.
Fungsi platform digital sebagai tempat pelatihan daring juga tidak diperlukan karena www.prakerja.go.id, situs resmi program, bisa difungsikan untuk itu. Bagi peserta juga memberi kerepotan karena harus mendaftar di www.prakerja.go.id dan ikut pelatihan di platform digital. Padahal, dua hal ini bisa dilakukan di satu platform saja.
Keempat, mekanisme jual-beli antara platform digital dan 5,6 juta peserta program yang dibekali dana APBN masing- masing Rp 1 juta jelas-jelas pemborosan anggaran. Mekanisme ini bisa menghabiskan Rp 5,6 triliun. Padahal, kalau pemerintah berhubungan langsung dengan penyedia video pelatihan, yakni lembaga pelatihan, anggaran yang diperlukan hanya sekitar Rp 300 miliar (asumsinya diperlukan 1.500 video pelatihan dan harga per video Rp 200 juta).
Kelima, distribusi biaya pelatihan kepada peserta dan kemudian peserta membelanjakannya (jual-beli) di platform digital merupakan bentuk komersialisasi program pemerintah yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pemerintah seperti menciptakan suatu pasar dengan jutaan konsumen, yakni peserta Kartu Prakerja, yang harus membelanjakan uangnya di delapan platform digital yang dipilih tanpa melalui lelang. Peserta diperlakukan dalam pola hubungan business to customer, bukan government to people. Hal ini tak dapat diterima. Apalagi pola seperti ini mirip praktik transfer pricing yang merugikan negara dari sisi perpajakan.
Peserta diperlakukan dalam pola hubungan business to customer, bukan government to people.
Keenam, peserta yang terdaftar tak seluruhnya pencari kerja, ada juga yang masih bekerja. Hal ini kurang tepat karena menutup/mengurangi kuota pencari kerja mendapatkan manfaat dari Kartu Prakerja.
Permasalahan sisi hukum
Permasalahan dari sisi hukum adalah, pertama, ada indikasi konflik kepentingan dalam penyusunan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2020 tentang
Pengembangan Kompetensi Kerja melalui Program Kartu Prakerja. Perpres ini diundangkan pada 28 Februari 2020. Pada saat dirumuskan dan diundangkan, Adamas Belva Syah Devara—CEO Ruangguru, induk perusahaan Skills Academy, salah satu platform digital mitra resmi Kartu Prakerja—adalah Staf Khusus Presiden. Skills Academy saat ini menguasai porsi terbesar, 47 persen dari 702.974 transaksi jual beli video (Kompas, 17/6).
Indikasi konflik kepentingan lainnya adalah keberadaan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama Kusubandio sebagai Komisaris Tokopedia, yang juga merupakan platform digital mitra resmi Kartu Prakerja. Namanya baru hilang dari posisi tersebut berdasarkan akta terbaru Tokopedia No 47 tanggal 19 Mei 2020 (Kontan, 21/5).
Kedua, ada indikasi Perpres No 36/2020 tidak disusun berdasarkan prinsip negara berdasarkan hukum, tetapi negara berdasarkan kekuasaan. Hal ini tersirat dari apa yang tercantum dalam konsideran ”mengingat” Perpres No 36/2020. Konsideran tersebut hanya mencantumkan Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Presiden RI sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan.
Perpres lain biasanya mencantumkan juga undang- undang atau peraturan pemerintah terkait yang secara hierarki berada di atas perpres. Sejauh penulis ketahui, di era Reformasi, bahkan di era Presiden Joko Widodo, hanya Perpres No 36/2020 yang begitu.
Ketiga, ada potensi Perpres No 36/2020 bertentangan dengan UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Hal ini terlihat dari definisi ”kompetensi kerja” dan ”pelatihan” dalam Perpres No 36/2020 berbeda dengan definisi di UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Kedua, ada indikasi Perpres No 36/2020 tidak disusun berdasarkan prinsip negara berdasarkan hukum, tetapi negara berdasarkan kekuasaan.
Selain itu, secara kelembagaan, pelaksana program Kartu Prakerja dipimpin oleh Komite yang ketuanya adalah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, padahal UU No 13/2003 memberi kewenangan pelaksanaan urusan ketenagakerjaan kepada menteri yang mengurusi bidang ketenagakerjaan.
Keempat, Perpres No 36/2020 berpotensi bertentangan dengan UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara. Perpres No 36/2020 mendefinisikan ”platform digital” sebagai mitra resmi pemerintah dalam pelatihan daring (Pasal 1 Ayat 10). Pasal ini diperkuat oleh Pasal 6 Ayat (2) poin a yang mensyaratkan lembaga pelatihan harus bekerja sama dengan platform digital. Ketentuan ini terlalu teknis karena menutup kemungkinan program dijalankan dengan opsi lain yang lebih efektif dan efisien. Apalagi penunjukan platform digitalnya tidak melalui lelang.
Mekanisme ini berbeda dengan mekanisme penunjukan mitra pemerintah dalam pelaksanaan program pemerintah sebagaimana diatur di Perpres No 16/2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Mekanisme yang tidak mengikuti Perpres No 16/2018 ini berpotensi bertentangan dengan UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara.
Solusi
Berdasarkan deskripsi permasalahan di atas, kami mengusulkan solusi agar program Kartu Prakerja dihentikan total untuk tahun ini. Korban PHK, karyawan yang dirumahkan, serta pencari kerja yang semakin terpuruk karena pandemi Covid-19 langsung diberikan bansos saja. Siapkan payung hukum tersendiri untuk pemberian bansos ini.
Program Kartu Prakerja dapat dilanjutkan tahun 2021 apabila pandemi telah usai dan dilakukan perubahan mekanisme dan teknis pelaksanaan. Usulan penulis untuk perubahan tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, program Kartu Prakerja harus mengacu kepada UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, dan Perpres No 16/2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Kedua, menentukan jenis skill mana yang pelatihannya cukup melalui pelatihan daring, harus melalui pelatihan luring, dan kombinasi keduanya (daring dan luring).
Korban PHK, karyawan yang dirumahkan, serta pencari kerja yang semakin terpuruk karena pandemi Covid-19 langsung diberikan bansos saja.
Ketiga, khusus pelatihan daring, pemerintah langsung membeli video yang dihasilkan lembaga pelatihan. Video yang dibeli adalah yang terbaik untuk setiap skill. Video disimpan di www.prakerja.go.id. Peserta dapat menonton atau mengunduh video secara gratis. Platform digital (swasta) tidak diperlukan lagi.
Pemerintah tidak perlu mengontrak lembaga pelatihan, tetapi fokus membeli video terbaik yang ditawarkan secara terbuka oleh beragam lembaga pelatihan. Video terbaik jumlahnya bisa lebih dari satu untuk setiap materi pelatihan dan dapat diperbarui dalam tempo tertentu (misal tiap tiga tahun).
Keempat, pemerintah membuka kesempatan pihak swasta yang secara mandiri mau membuat situs semacam www.prakerja.go.id, baik yang gratis maupun berbayar. Pemerintah tidak membiayai pembuatan situs ataupun peserta untuk membeli video di situs tersebut. Namun, pemerintah menerima dan membiayai proses sertifikasi profesi peserta yang ikut pelatihan daring di situs milik swasta juga. Proses sertifikasi seluruhnya dilakukan BNSP. Seluruh peserta yang lolos sertifikasi mendapatkan insentif maksimal selama enam bulan.
Penulis yakin realisasi poin ketiga dan keempat akan menumbuhkan industri kreatif content provider dan situs pelatihan daring sehingga kerja pemerintah meningkatkan keterampilan tenaga kerja akan lebih mudah. Wallahu a’lam.
(Arip Musthopa Pendiri KOMPAK Kartu Prakerja)