Perkenalan pertama saya dengan Kompas saat saya masih duduk di kelas 6 SD tahun 1982 di Soroako, Sulawesi Selatan. Saat itu, guru Pendidikan Moral Pancasila menugasi kami, murid-muridnya, membuat kliping.
Saya ingat pengantar koran setiap hari naik sepeda berkilo-kilo meter di kompleks perumahan yang konturnya naik turun. Berkat itu, dia sering menjuarai lomba maraton ketika perayaan kemerdekaan Indonesia.
Saat membaca Kompas, sering saya bosan dengan berita di halaman muka yang menyuguhkan bacaan itu-itu saja, seperti Covid-19. Apalagi virus itu masih betah beredar di sekeliling kita.
Sering pula saya dibuat bingung dengan bahasa yang digunakan Kompas. Seperti kata destinasi yang asalnya dari bahasa Inggris. Mengapa tidak menggunakan daerah tujuan wisata, yang sudah ada dalam bahasa Indonesia? Saya bingung juga mengikuti kata-kata yang dulu luluh menjadi tidak luluh, kata-kata baru, dan sebagainya.
Namun, di sisi lain, saya selalu menggunting dan mengkliping artikel-artikel yang menarik, seperti arkeologi, nusantara bertutur, ilmu pengetahuan, kolom bahasa, dan artikel opini yang saya suka.
Sejak 2015 saya mendapatkan kesempatan dari harian Kompas untuk menyampaikan unek-unek, protes, dan pendapat dalam kolom Surat Kepada Redaksi.
Kompas sudah menjadi bagian dari hidup saya.
Selamat ulang tahun.
Vita Priyambada
Kompleks Perhubungan Jatiwaringin, Jakarta 13620
Ingin Menulis Lagi
Suatu siang, timbul ”gereget” untuk menulis lagi. Sudah sekian tahun saya tinggalkan hobi ini. Saya bangkit dari kursi goyang, mengambil kertas dan mulai menulis.
Tanpa tahu bayangan apa yang akan dicapai, pokoknya mencoretkan di atas kertas apa saja yang ada di otak. Eh siapa tahu bisa menjadi sebuah buku saat saya ulang tahun yang ke 90. Di hitung dari hari saya mulai menulis, masih ada waktu satu tahun lebih.
Dalam usia muda, harapan bertubi-tubi datangnya karena waktu usia muda tak terbatas keinginan untuk mendapatkan sesuatu, menjabat sesuatu, selesai sekolah dengan baik, lalu berkeluarga dengan baik. Harapan terwujud atau tidak, itu bukan masalah.
Sebaliknya, pada usia lanjut, untuk mendapatkan satu harapan dan mewujudkannya tak semudah waktu usia muda, keinginan juga terbatas karena fisik terbatas. Gerakan terbatas, otak pun terbatas.
Dengan demikian, pendidikan penting sejak muda. Agar memiliki pengetahuan sehingga bisa membuat harapan menjadi kenyataan. Hubungan harapan dan lansia cukup mengasyikkan kalau kita pikirkan lebih dalam. Waktu lansia hanya batiniah yang bisa diharapkan. Dengan memiliki batin mulia, insya Allah, Allah bisa memberikan jalan.
Semoga tulisan saya ini bisa bermanfaat bagi masyarakat, tidak hanya yang sudah lansia, tetapi juga kalangan milenial dan anak-anak. Semua harus mendapatkan pendidikan agar harapan itu selalu ada.
Mudah-mudahan dengan adanya harapan, bangsa Indonesia masih terus ada sampai kiamat pun. Dan mudah-mudahan semua itu dapat perkenan dan berkat Ilahi.
Dengan adanya harapan, saya masih bisa memanfaatkan kemampuan seni menulis dan melukis saya miliki. Dalam seni melukis, saya menghasilkan lukisan dimensi multi berwujud boneka-boneka yang berkepala batok kelapa.
Menempelkan aneka warna pada benda-benda yang tak berguna dengan lem menjadi seni instalasi, menenteramkan hati saya. Begitu pun dengan seni menulis, saya bisa menghasilkan artikel-artikel dengan aneka pandangan dan analisisnya terhadap perilaku manusia dan masyarakat.
Baik melukis maupun menulis, saya harapkan bisa menghasilkan sesuatu yang mendatangkan ketenteraman batin kala melihatnya.
Bukan berwujud material, melainkan suatu dimensi multi yang bisa dipikirkan atau dirasakan.
Sjamsoe’oed Sadjad
Guru Besar Emeritus Fakultas Pertanian IPB