Menarik sekali pemikiran Bapak Hadisudjono Sastrosatomo dalam rubrik Surat kepada Redaksi harian Kompas (Selasa, 23/6/2020). Jawaban Kompas bisa kami tebak, ”Nantilah kalau pandemi sudah berlalu dan kami catat masukan Saudara”.
Pada 20 tahun lalu, saya masuk dalam Forum Pembaca Kompas. Dua kali saya ikut dalam pertemuan di Hotel Graha Santika, sekarang Santika Premiere, di Jalan Pandanaran, Semarang. Suvenir tas kerja dengan logo Oom Pasikom dari Kompas masih saya rawat dengan baik.
Saat itu, penggunaan internet belum masif seperti sekarang, belum ada WA dan kemudahan komunikasi lain. Tetapi, kami yang tergabung dalam Forum Pembaca Kompas dapat menelepon ke Kompas bebas biaya.
Kami diberi kebebasan memberi masukan mengenai apa saja yang kami anggap benar atau tidak benar dalam penerbitan Kompas saat itu. Tujuannya memberi masukan berupa kritik dan saran demi kebaikan semua.
Saat ini, zaman sudah berubah. Jika mau diadakan model-model seperti itu, tentu saja dengan desain yang berbeda sesuai dengan kemajuan teknologi.
Bagaimanapun pembaca merupakan aset Kompas. Demikian pula penulis surat pembaca, adalah komunitas yang peduli bangsa serta mencintai Kompas.
Sri Handoko
Tugurejo RT 009 RW 00I, Tugu, Semarang
Catatan Redaksi:
Terima kasih atas kesetiaan Anda terhadap Kompas dan surat-surat yang telah Anda tulis selama ini. Bagi kami, setiap pembaca sangat berharga dan setiap masukan kami upayakan untuk diakomodasi. Usulan temu penulis surat pembaca Kompas kami tindak lanjuti dengan mempersiapkan pertemuan daring via Zoom dalam waktu dekat ini.
Nostalgia ”Kompas”
Saya mengenal Kompas saat SD kelas IV tahun 1969, lebih dari 50 tahun lalu. Waktu itu, saya menjadi loper koran hingga tamat SMP di Ketapang, Kalimantan Barat.
Kompas sampai ke Ketapang melalui angkutan udara ke Pontianak, dilanjut angkutan kapal dagang ke Ketapang yang tidak rutin tiap hari. Pernah, Kompas edisi Watergate—tentang jatuhnya Presiden AS Richard Nixon—Agustus 1974, baru tiba seminggu kemudian karena kapal rusak. Saat menerima koran, Uskup Ketapang waktu itu bergurau, kalau Amerika kiamat, kita baru tahu setelah seminggu.
Saya masih terus membaca Kompas karena pemberitaannya beragam, lengkap, berimbang, dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Terima kasih para perintis, penerus, dan keluarga besar Kompas dulu dan sekarang.
Menyambut HUT Ke-55 Kompas, saya teringat laporan wartawan Kompas yang rinci, seperti Threes Nio dari New York, ulasan Piala Dunia Sepak Bola 1974 di Jerman Barat oleh Th A Budi Susilo dan Kadir Yusuf, pengalaman haji di Tanah Suci 1974 oleh Azkarmin Zaini, ekspedisi perahu Pinisi Nusantara ke Vancouver Expo 1986 oleh Pius Caro.
Saya masih menyimpan kartu pos Valens Doy dari Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis di Malmo, Swedia, 1977.
Selain itu, ada sejumlah cerita bersambung seperti ”Karmila” (1971) dan ”Badai Pasti Berlalu” (1974) oleh Marga T, ”Kamar 214” oleh Dali S Naga (1980), ”Anak Bajang Menggiring Angin” oleh Sindhunata (1981), dan komik Garth.
Teka Teki Silang Kompas sangat khas, selalu simetris antardiagonal sampai sekarang. Saya juga mengagumi coretan khas Oom Pasikom, komik Panji Koming, di samping Tajuk Rencana, Kilasan Kawat Sedunia, Pojok Mang Usil, dan Angket Pembaca.
Saya juga ikut kehilangan Kompas karena pernah dihentikan penguasa, Januari 1978.
Kini Kompas tetap relevan dengan aneka tulisan yang inspiratif, investigatif, ekspedisi jelajah Tanah Air, opini, dan diskusi para pakar, survei, infografis, foto, human interest, yang tetap dapat dipercaya.
Tetaplah setia mengemban amanat hati nurani rakyat dan menjadi kompas bagi bangsa. Dirgahayu Kompas.
Cosmas Christanmas
Taman Duta Mas, Jakarta 11460