Jika berbagai kendala yang dialami daerah kepulauan dalam pembelajaran daring tidak segera diatasi, akan menciptakan kesenjangan antartingkatan pendidikan sampai pendidikan tinggi di lokal yang dampaknya secara nasional.
Oleh
Alex Retraubun
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 telah memaksakan dunia pendidikan di Indonesia (termasuk pendidikan tinggi) secara mendadak menggantikan pembelajaran tatap muka, yang telah dipakai berabad abad, dengan sistem daring (virtual/online).
Perubahan ini terjadi karena suatu kedaruratan untuk menjamin kesehatan dan keselamatan peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, keluarga, dan masyarakat. Ukuran kedaruratan antara lain tidak ada perencanaan sebelumnya, sistem pendukung untuk universitas dan mahasiswa sangat terbatas, bahkan tidak tersedia, tidak semua pendidikan tinggi nyaman dengan sistem pembelajaran ini karena perubahannya mendadak.
Ada sejumlah fakta yang menggambarkan dampak perubahan dadakan di atas. Misalnya, dosen tidak siap dari sisi teknologi karena terbiasa dengan pembelajaran tatap muka, terjadi pergeseran pembelajaran sesuai kalender akademik untuk semester genap 2019/2020, dosen menggunakan fasilitas Wi-Fi pribadinya untuk memberi kuliah, mahasiswa diberikan pulsa selama 3 (tiga) bulan untuk membeli paket agar bisa kuliah daring dan banyak lagi.
Jadi, kekurangan yang terjadi adalah harga yang harus dibayar untuk menuju ke pembelajaran secara daring yang optimal. Ciri optimalisasi tecermin dari perencanaan terukur, ketersediaan waktu untuk mempersiapkan fasilitas daring yang bermuara pada jaminan kualitas dan efektivitas pembelajaran menurut waktu.
Penggunaan sistem daring sebetulnya ada plus dan minusnya, tetapi tidak perlu dibahas karena dalam konteks Covid-19 cara ini merupakan pilihan terbaik. Syarat utama sistem ini adalah adanya aksesibilitas internet, tetapi pengguna harus memiliki komputer, tablet, atau smartfon.
Kendala Kepulauan
Bagi universitas yang berdomisili di Jawa dan sejumlah wilayah daratan lainnya, tentu tidak ada masalah konektivitas internet. Namun, tidaklah demikian untuk wilayah wilayah kepulauan. Contoh wilayah berkategori ini adalah Provinsi Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Utara.
Ada pula provinsi daratan yang memiliki kabupaten kepulauan, seperti Kabupaten Kepulauan Mentawai (Provinsi Sumatera Barat). Kabupaten Banggai Kepulauan, Kabupaten Pangkajene Kepulauan, dan lainnya. Bahkan, suatu pulau bisa menjadi satu unit wilayah administrasi (kecamatan/kelurahan), seperti di Kepulauan Seribu.
Wilayah ini patut diperhatikan pemerintah dan pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota karena kondisi obyektifnya bisa menciptakan kesenjangan pendidikan kalau tidak diatasi. Menurut Griffiths and Ashes (1993), wilayah berciri kepulauan umumnya memiliki kerentanan tinggi terhadap bencana alam, tingkat keisolasian antarwilayahnya tinggi, dan selalu didominasi laut serta potensial terjadi gangguan karena iklim/cuaca.
Secara khusus, terkait konektivitas internet, menurut Jensen and Minges (2017), wilayah kepulauan menghadapi tantangan tersendiri karena keisolasian dan biaya tinggi menyeberang laut terbuka dikombinasikan dengan jumlah penduduk kecil dan kepadatan rendah dan konsekuensi skala ekonomi rendah berakibat biaya konektivitas lebih tinggi.
Oleh karena itu, wilayah-wilayah ini membutuhkan solusi inovatif dan dukungan sehingga mereka termasuk dalam masyarakat informasi dan dapat mengambil keuntungan dari informasi dan teknologi komunikasi sekaligus membantu mengatasi kebutuhan khusus mereka.
Dalam konteks kepulauan, walaupun beragam karakteristik, secara umum ada persamaan yang berimplikasi negatif untuk konektivitas. Sebagai contoh, dengan sifat kekecilan ukuran pulau akan memengaruhi tingkah laku pemasaran teknologi komunikasi dan informasi. Demikian halnya, hambatan lingkungan dapat meningkatkan biaya investasi yang dibutuhkan untuk membuat jaringan yang lebih tahan terhadap kerusakan infrastruktur karena insiden cuaca.
Dengan melihat ciri wilayah tersebut di atas, perlu ada perbaikan konektivitas agar sistem online bisa berjalan baik. Akses terhadap internet dan penggunaan teknologi komunikasi dan informasi akan memberi dampak berarti bagi sumber daya manusia pulau karena membantu mengurangi isolasi manusia juga perekonomian mereka.
Demikian halnya memperbaiki pelayanan publik dan potensi e-commerce, meningkatkan kontak, mengurangi biaya perjalanan, dan meningkatkan keamanan. Dari sisi administrasi publik, perbaikan konektivitas membuat proses pemerintahan lebih efisien dan pelayanan publik secara online menjadi mungkin. Dari sisi pendidikan, bahkan sangat penting untuk mengatasi kekurangan guru dan bahan pelajaran.
Konon, Kementerian BUMN berencana mengembangkan 1.500 internet desa (ides) untuk membuka peluang bisnis dan kelancaran usaha ekonomi desa. Inisiatif ini patut diapresiasi karena akan berefek ganda pada pendidikan masyarakat. Menurut Kemendes PDTT, ada 433 desa tanpa listrik dan 13.577 desa belum berakses internet dan mayoritas desa tersebut berada di Indonesia timur.
Fakta di atas menciptakan kesenjangan antartingkatan pendidikan sampai pendidikan tinggi di tingkat lokal dan akhirnya berdampak secara nasional kalau tidak diatasi. Realitas di atas mengonfirmasikan bahwa kombinasi sistem tatap muka dan daring menjadi pilihan terbaik untuk mengatasi kelemahan geografisnya.
(Alex Retraubun, Guru Besar Universitas Pattimura, Ambon)