PK Ojong dan Jakob Oetama bukan saja pendiri, tetapi telah menjadi figur publik. Karena itu, umum pun berhak mengetahui siapa mereka, apalagi di hari-hari menjelang peringatan kelahiran harian Kompas ini.
Oleh
Indra Gunawan M
·4 menit baca
Sebagai orang yang pernah bergabung selama 40 tahun di Kompas Gramedia, agaknya saya ”terpanggil” bersaksi perihal kepribadian dan watak dua pendirinya: PK Ojong dan Jakob Oetama.
Mereka bukan saja pendiri, tetapi telah menjadi figur publik. Karena itu, umum pun berhak mengetahui, apalagi di hari-hari menjelang peringatan kelahiran harian Kompas ini. Membanding mereka dengan beberapa figur lain di masyarakat dapat memberi hikmah tersendiri.
Pernah saya tulis, ada sejumlah persamaan dan beberapa perbedaan di antara mereka. Secara bersama, mereka adalah pemimpin yang mengedepankan ”seni mendengar” (art of listening), rendah hati, sederhana, menjunjung tinggi pers bebas independen tetapi bertanggung jawab, dan terpikat dengan ”Jalan Ketiga”-nya Anthony Giddens atau apa pun istilahnya itu.
Perbedaannya adalah PK Ojong lebih ”hangat”, lebih disipliner dan prosedural, sementara Jakob Oetama lebih ”sejuk”, lebih ngemong dan opsional. Namun, di samping persamaan dan perbedaan tersebut, ada keistimewaan dan keunggulan dari pribadi mereka masing-masing.
Manusia bonafide
Setiap orang dapat memiliki penilaiannya sendiri. Hanya di mata saya setelah menapis dari sekian karakteristik yang mengemuka adalah PK Ojong sebagai ”Manusia Bonafide”.
Maksudnya, ia adalah orang yang dapat dipercaya, jujur, dan tulus. Satunya kata dengan perbuatan dengan nilai-nilai yang dianutnya. Tak ada persilangan di antara ketiganya yang kini menjadi mode zamannya. Apakah ini sama dengan integrity, integritas?
Hanya di mata saya setelah menapis dari sekian karakteristik yang mengemuka adalah PK Ojong sebagai ”Manusia Bonafide”.
Ya, ada persamaan. Namun, bonafide itu mempunyai nilai tambahnya sendiri. Di samping jujur, tulus, dan bisa dipercaya, ia juga memiliki kepiawaian, kebolehan dalam mencapai tujuan bersama. Ia seorang achiever, penggapai prestasi, yang belum tentu dimiliki tiap orang yang punya integritas.
Apakah ia seorang yang autentik? Dalam hal ia berusaha asli, tidak dibuat-buat, sesuai panggilan hati, itu memang benar. Pada mulanya seorang guru, kemudian wartawan, dan setelah menjadi direktur utama, ia tetap ingin membagikan kearifan, pengetahuan, dan pengalamannya ke publik.
Chairil Anwar, seorang penyair besar Indonesia, adalah manusia autentik. Hidup penuh derita dilakoninya, tetap sebagai penyair dia tulen.
Apakah ia juga seorang yang bonafide? Saya agak ragu kalau mendengar cerita sobat dekatnya seperti HB Jassin dan Mochtar Lubis.
Kembali lagi ke PK Ojong. Seingat saya orang pertama yang menyebutnya sebagai manusia bonafide adalah Frans Seda. Dalam wawancara untuk film dokumenter Gramedia Film Mengenang Kepergian Pak Ojong, Seda melontarkan kata, ”Ojong adalah manusia bonafide”.
Kini setelah 40 tahun, untuk kedua kalinya, kita mendengar kembali frasa itu disebut.
Manusia kontekstual
Dan, apa keunggulan dari co-pendiri Kompas Gramedia lainnya? Ibarat penyanyi, Jakob Oetama dapat dikategorikan sebagai orang dengan jangkauan vokal (vocal range) lebar. Ia mudah bergerak naik turun oktaf dari bas ke tenor dan sebaliknya. Ini sekadar metafora.
Demikian pula sebagai pemimpin redaksi dan CEO, ia dapat saja berkomunikasi dengan seniman rendah hati maupun yang eksentrik-liar; intelektual dengan idiom-diksi khusus maupun cendekiawan dengan bahasa rakyat; politikus yang teguh pendirian maupun yang suka berayun; pengusaha yang setengah hitam maupun yang setengah putih, dan sebagainya.
Ini bukannya ia tak punya pendirian ataupun pemihakan. Hanya, bagaikan seorang coach, ia berusaha memahami orang dengan berbagai sudut pandang dan bermacam tingkah laku.
Ini bukannya ia tak punya pendirian ataupun pemihakan.
Sepertinya ia tak ingin terjebak dalam dikotomi sederhana ”hitam-putih”. Untuk sejumlah hal, ia melihat kebenaran itu masalah derajat saja (truth is a matter of degree), ”lebih benar” atau ”kurang benar”. Moderasi. Namun, ini bukannya berarti tidak ada yang ”sepenuhnya salah”. Tentu saja ada, seperti kejahatan terhadap kemanusiaan atau korupsi, misalnya.
Berhubung sifatnya yang semacam itu, ia mudah diterima di berbagai kalangan masyarakat. Sengaja atau tak sengaja, ia ditempatkan sebagai ”juru damai” untuk berbagai persoalan, tentunya juga di internal.
Dalam Neuro Linguistic Programming (NLP) yang merupakan psikologi terapan dikenal istilah meta programming. Maknanya ada semacam filter persepsi yang menyaring informasi yang masuk ke dalam individu, mengolahnya di bagian ”ketidaksadaran” dan kemudian program memberi signal bagaimana bereaksi.
Demikian dikenal di ujung satu ”optimistis”, di ujung lainnya ”pesimistis”; di ujung satu ”introvert”, di ujung lainnya ”extrovert”; di ujung satu ”berpikir global”, di ujung lainnya ”detail”, dan sebagainya.
Berhubung Jakob Oetama mempunyai meta program lebar, jembar, maka ia tak terpaku di salah satu ujungnya. Ia bergerak luwes ke sana kemari, mengadaptasi dengan ketepatan situasi dan konteksnya. Manusia kontekstual.
Bagaimana jika
Konon untuk memahami masa depan, kita perlu menyusun ”memori”-nya. Pertanyaan yang perlu diajukan berulang-ulang: bagaimana jika, bagaimana jika.
Semisal: Bagaimana jika kita ”reinvent” (menemukan lagi/kembali), memberinya konteks, kebajikan-kebajikan Jakob Oetama dan PK Ojong di tengah era disrupsi digital?
Bagaimana jika kita mulai dari sekarang? Apa yang akan mulai dilakukan? Bagaimana jika?