Menghidupi Warisan Perintis
Menjelang usia 55 tahun, harian ”Kompas” ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Jumlah pelanggan mungkin merosot. Empat bulan menjelang 28 Juni 2020, pandemi Covid-19 ikut menimpa ”Kompas”.
Menjelang usia 55 tahun, harian Kompas ibarat sudah jatuh tertimpa tangga.
Jumlah halaman sedikit, rata-rata 16 halaman. Iklan—jantung media—sedikit, tidak berwarna pula. Jumlah pelanggan mungkin merosot. Empat bulan menjelang 28 Juni 2020, pandemi Covid-19 ikut menimpa Kompas.
Beberapa tahun sebelumnya, seiring pertumbuhan ekonomi, jumlah halaman berjibun. Kadang 60 halaman, pernah 100 halaman. Sebelum 1998, jumlah halaman dibatasi maksimal 16 halaman. Kalau lebih, harus ada izin Departemen Penerangan. Iklan dipatok maksimal 30 persen dari jumlah halaman. Calon pemasang iklan antre. Dari jumlah eksemplar, Kompas juga teratas. Primus inter pares.
Setelah rezim represif tumbang, iklan berukuran displai dan berwarna makin sering muncul. Tak ada lagi pembatasan halaman dan pengaturan iklan. Maka, Kompas mematok minimal terbit 16 halaman, selebihnya tergantung iklan.
Unit Bisnis sama aktifnya seperti Unit Redaksi. Bisnis berburu iklan dan pelanggan, Redaksi berburu berita dan tulisan. Itu berkat berembusnya angin kebebasan pers pasca-1998. Tidak ada lagi pembredelan, tidak ada lagi pembatasan jumlah halaman ataupun rasio iklan dan tulisan, tidak ada lagi persyaratan SIUPP. Kondisi ini dinikmati setelah lebih dari 30 tahun, kebebasan pers dibelenggu demi kekuasaan.
Selain terjadi perubahan secara politis, sosial, dan budaya dalam bermedia, reformasi yang membuat ambyarnya kekuasaan Orde Baru, diikuti pula perubahan internal industri media soal hubungan sinergik redaksi dan bisnis. Bekerja sama saling melengkapi. Symbiose mutualistic. Kata Jakob Oetama, bahwa redaksi unit terpenting, tetapi jati diri pekerjaan media adalah kerja sama.
Kata Jakob Oetama, bahwa redaksi unit terpenting, tetapi jati diri pekerjaan media adalah kerja sama.
Berbisnis di media massa cetak, elektronik (TV), dan digital lantas dilihat oleh dunia usaha sebagai ladang yang lukratif. Meraup keuntungan finansial jadi motivasi pertama memasuki wilayah ini, bukan perjuangan demokrasi sebagaimana munculnya media massa di Indonesia. Dunia usaha yang tidak berlatar belakang media berebut kue.
Koran yang kelahirannya dulu adalah pamflet politik, berubah jadi ladang bisnis seperti retail atau pabrik sepatu. Kompas dengan jumlah halaman, pelanggan dan iklan yang berjibun, dicari karena isinya tepercaya, kredibel, jadi panutan dan rujukan pengambilan kebijakan penguasa dan dunia usaha. Kompas yang kelahirannya bermodal niat baik dan semangat mendidik masyarakat, diakui primus inter pares, terunggul dari semua perusahaan media.
Perubahan: jati diri media
Awal tahun 2000-an, pertarungan media cetak, elektronik, dan digital berlangsung ketat. Perkembangan iptek, khususnya teknologi informasi, mengubah cara orang memperoleh informasi. Kecepatan menjadi faktor pertama, karena itu media massa lebih sebagai afirmasi bukan verifikasi.
Wartawan tidak lagi memonopoli informasi, tiap orang bisa mengabarkan kejadian versinya sendiri. Jurnalisme warga ini sering disalahgunakan untuk menyebarkan hoaks, kebohongan. Dinamika masyarakat lantas sangat dipengaruhi perkembangan komunikasi digital, utamanya dalam bentuk media sosial.
Perkembangan cepat cara berkomunikasi ini berpengaruh pada media cetak. Pilihan beriklan lebih ke media elektronik dan pencarian informasi lebih disukai lewat media sosial, mendorong media cetak, termasuk Kompas, beradaptasi. Senantiasa berubah adalah rumusan klasik media massa. Kompas terus berusaha dekat dengan pembaca, kawan dalam perubahan, tetap menarik dibaca.
Argumentasi idealnya, agar messages dan nilai-nilai luhur manusia dan kemanusiaan yang disampaikan, diterima. Argumentasi dalam tataran praksis, tidak dikatakan terus terang, agar bisnis jalan terus. Tanpa meninggalkan jati diri media sebagai sarana kontrol sosial dan kekuasaan, termasuk guru masyarakat.
Mengambil posisi di tengah, membuat Kompas jadi bola sepak, dikritik sana-sini: tidak lagi kritis, tidak lagi jadi watchdog, masuk kepentingan kekuasaan, dan mendahulukan kepentingan bisnis. Kompas dikritik mengingkari ungkapan klasik jurnalistik: me”nghibur yang papa, mengingatkan yang mapan”.
Terhadap kritik-kritik itu, Kompas —sesuai karakternya yang merunduk dan rendah hati—bersikap terbuka. Kritik justru memacu Kompas terus berbenah dan menyesuaikan diri. Kritik ditempatkan sebagai representasi sense of belonging dan rasa ngeman.
Wartawan tidak lagi memonopoli informasi, tiap orang bisa mengabarkan kejadian versinya sendiri.
Kompas melakukan berbagai terobosan—sesuatu yang sudah built in—dalam cara menulis, pengaturan tata wajah dan ilustrasi. Pembenahan media massa seolah berlomba dengan perubahan di segala bidang yang berjalan sangat cepat, nyaris tunggang-langgang, membuat masyarakat terkaget-kaget. Keinginan menjadi mitra dan guru masyarakat, menuntut Kompas menjadi entitas yang terus berubah. Hari ini harus lebih baik dari kemarin.
Dalam hal perubahan format koran, diundangnya Roger Black pada tahun 1990-an dan Mario Garcia tahun 2000-an, merupakan bagian dari upaya serius Kompas memberikan yang terbaik untuk pembaca, pemasang iklan, dan pelanggan. Lebih luas perubahan format dan penampilan ditempatkan sebagai bagian utuh dari message Kompas.
Keputusan perubahan termasuk usulan Roger Black dalam hal tata wajah dan warna, Mario Garcia terutama soal format, pemadatan dan warna, bukanlah harga mati. Moderasi tidak hanya dalam hal roh dan spirit bermedia, tetapi juga dalam penulisan, format dan tata wajah. Seperti sering disampaikan Jakob Oetama, selain informasi, Kompas juga ingin membantu masyarakat pembacanya mendapatkan pencerahan, salah satu tujuan humanisme.
Menghargai manusia dan kemanusiaan adalah salah satu bentuk pencerahan humanistis, yang dengan sendirinya mengafirmasi kemajemukan, butir penting kehidupan demokratis.
”Menghibur yang papa…”
Tanggal 28 Juni 1965, hari pertama Kompas muncul dengan empat halaman. Hari-hari menjelang 28 Juni 2020, Kompas muncul dengan 16 halaman. Usia 55 tahun bisa dikatakan masih belia dibandingkan sejumlah koran di Eropa dan Amerika, tetapi sudah berumur untuk koran di Indonesia. Puluhan koran yang terbit sebelum Kompas, kini hampir semua sudah ”almarhum”.
Semua media, dalam hal ini harian Kompas, bekerja berdasarkan visi yang berasal dari para perintis dan pendiri, Petrus Kanisius Ojong (1920-1980) dan Jakob Oetama. Visi itu roh, spirit yang menjadi napas media bekerja. Amanat Hati Nurani Rakyat, moto Kompas yang diterjemahkan dalam panduan humanisme transendental, diturunkan dalam rumusan dan panduan praktis.
Adagium ”menghibur yang papa, mengingatkan yang mapan”, terjemahan bebas ungkapan klasik jurnalistik comforts th’ afflicted, afflicts th’ comfortable. Ungkapan ini berasal dari Finley Peter Dunne (1867-1936), jurnalis Amerika yang terkenal karena kolomnya di harian Chicago Evening Post.
Jakob Oetama memungut tamsil Peter Dunne menjadi kebijakan redaksional. Ia memberi makna baru sebagai adagium yang kontekstual. Luar dalam Jakob Oetama merasa sebagai wartawan, yang gumunan, mudah terpukau, dan resah, sikap-sikap ideal wartawan yang selalu ia tegaskan pada wartawannya.
Selain Peter Dunne, dia perkenalkan banyak kebijakan lain, misalnya le journal c’est un monsieur. Koran itu ibarat tuan atau sosok, ungkapan yang dipungutnya dari serakan diksi, istilah, tamsil yang dia beri isi jadi konsep jurnalistik Kompas, yakni compassion.
Kompas lahir dengan cita-cita ikut membangun Indonesia dalam lingkup kecil, bagian dari cita-cita besar Indonesia atas dasar kesamaan kemanusiaan dalam heterogenitas. Kompas pun menjadi ”Indonesia mini”, kosakata yang ditemukan kemudian. Kompas meninggalkan sekat-sekat perbedaan, menyatu sebagai sesama manusia.
Visi dan spirit tetap, terjemahan dan representasinya berubah, seiring kondisi dan perubahan zaman.
Humanisme transendental adalah panduan bekerja. Tahun 1990-an Jakob sering mengubahnya menjadi kemanusiaan yang beriman. Hakikatnya sama. Visi dan spirit tetap, terjemahan dan representasinya berubah, seiring kondisi dan perubahan zaman.
Moderasi yang dianut sejak awal, dengan rumusan fortiter in re suaviter in modo (teguh dalam substansi lemah lembut dalam cara), terbangun dari tradisi humanistis para perintis. Moderasi ini di satu pihak mencerminkan sikap yang cerdas, di lain pihak bisa ditafsirkan mencla-mencle, bahkan penakut.
Pengalaman dibredel, 21 Januari-5 Februari 1978—salah satu tonggak penting perjalanan Kompas—menegaskan bahwa moderasi membawa berkah. Jakob Oetama memilih ikut menandatangani syarat boleh terbit kembali. Menurut dia, mayat hanya bisa dikenang tidak mungkin bisa diajak berjuang. Kemudian Jakob Oetama sering mengatakan, ”keadaan pasti berubah”.
Menyikapi persyaratan rezim penguasa waktu itu, memang ada perbedaan dengan PK Ojong. Ojong yang lebih senior dalam hal jurnalisme—berpengalaman dibredel dengan dua media yang dipimpinnya, Keng Po dan Star Weekly— tidak sependapat. Katanya, ”Jakob, jangan minta maaf, mati hari ini, nanti atau tahun depan sama saja.”
Moderasi itu, di kemudian hari membantu Kompas meniti buih atau wot ogal-agil di bawah pemerintahan masa itu. Dalam pertemuan media internasional, Jakob digelari a living hero.
Peristiwa 42 tahun lalu itu menjadi pelecut Kompas semakin menghidupi moderasi. Moderasi tidak berarti cari posisi aman, moderat, tetapi satu pencerahan dalam sejarah 55 tahun Kompas demi demokratisasi (in the making), turunan roh humanisme transendental (kemanusiaan yang beriman).
Moderasi diterjemahkan dalam menyikapi berbagai peristiwa dan persoalan, di antaranya tenggang rasa. Sejahat-jahatnya manusia pasti ada sisi baiknya. Tidak ada malaikat di dunia. Menempatkan manusia dan kemanusiaan sebagai nilai terpenting, menjadikan Kompas sebagai promotio iustitiae (penganjur keadilan).
Moderasi membuat Kompas santun dalam menyampaikan kegiatan jurnalistiknya. Ada yang mengapresiasi, tetapi ada yang mengatakan tidak berani terus terang, bahkan dikesankan ”bacalah yang tersirat jangan yang tersurat”.
Moderasi membuat Kompas santun dalam menyampaikan kegiatan jurnalistiknya.
Menghidupi 55 tahun Kompas, 40 tahun di antaranya berada di lingkaran dalam, saya mengakui kecerdasan para perintis dan penerusnya untuk terus berjuang, menyikapi kondisi terang benderang dan ”remang-remang”.
Merosotnya peranan media cetak, membuat Kompas terus berjibaku demi keluhuran kemanusiaan. Menggerakkan niat terus belajar menjadi (learning to be) semakin bertenggang rasa, semakin menghargai manusia dan kemanusiaan. Selama 55 tahun, Kompas menjadi saksi sejarah sekaligus berkontribusi pada demokrasi in the making bangsa ini.
Dalam kondisi ”remang-remang” media cetak saat ini, kehadiran Jakob Oetama (88) niscaya menyuburkan historisitas keluhuran manusia. Sebagai saksi sejarah bangsa, ia memberi harapan terkuaknya ”remang-remang” menjadi terang benderang… Byaar....
(St Sularto Wartawan Kompas 1977-2017, Wakil PU Kompas 2001-2014)