Bisa jadi persoalan berkembang dalam penerimaan siswa sekolah. Di masa lalu, siswa baru diterima di sekolah lebih tinggi karena tes masuk dan angka rapornya bagus.
Oleh
Editor KOMPAS
·3 menit baca
Bisa jadi persoalan berkembang dalam penerimaan siswa sekolah. Di masa lalu, siswa baru diterima di sekolah lebih tinggi karena tes masuk dan angka rapornya bagus.
Tiada pertimbangan lain. Berikutnya muncul pertimbangan zonasi, karena pendaftar dari tempat tinggal jauh bisa mengalahkan pendaftar yang tinggal dekat sekolah yang diimpikan. Lalu pertimbangan afirmasi, memberikan kesempatan khusus bagi siswa berprestasi, tetapi berasal dari keluarga kurang mampu. Terakhir, ada juga pertimbangan orangtua pindah tugas.
Menyediakan jalur khusus itu masih mudah dimengerti. Namun, selama beberapa hari terakhir, isu penerimaan siswa sekolah bukan terfokus pada zonasi atau afirmasi, tetapi pada privilese usia. Artinya, kalau ada dua pendaftar di satu sekolah sama pintarnya, yang diterima adalah yang usianya lebih tua. Hal ini dikeluhkan banyak orangtua murid dan siswa.
Kebijakan patokan umur dalam penerimaan peserta didik baru jalur zonasi di DKI Jakarta membuat calon peserta didik cemas. Nilai rapor bagus tak cukup untuk meloloskan mereka ke sekolah idaman (Kompas, 25/6/2020).
Zahwa (15), yang diwawancarai harian ini, termasuk yang terkejut dan cemas karena seleksi penerimaan peserta didik baru (PPDB) jalur zonasi pada tahun ini memakai kriteria usia. ”Mengapa harus pakai umur? Menyakitkan. Saya jadi tidak semangat. Buat apa saya belajar tiga tahun kalau sekarang patokannya umur,” ujarnya.
Mungkin ada alasan kuat dari Dinas Pendidikan DKI Jakarta memasukkan faktor umur dalam seleksi penerimaan siswa baru. Kemasygulan di kalangan orangtua dan calon siswa membuktikan, setidaknya soal ini masih sulit dicerna akal, atau paling tidak kurang disosialisasikan.
Di luar faktor usia, proses penerimaan siswa baru di negara kita mempunyai sejumlah persoalan, seperti jumlah lulusan SMP jauh lebih banyak daripada kapasitas SMA negeri yang banyak diburu. Sekolah (favorit) tertentu dituju oleh peminat dalam jumlah berlebih. Juga ada faktor titipan calon siswa dari pejabat atau pemangku kepentingan lain. Peneliti sosiologi pendidikan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Anggi Afriansyah, menyebutkan, sekolah favorit terbukti menjadi salah satu medium untuk anak sukses setelah lulus.
Sebenarnya tanpa tambahan soal usia, urusan penerimaan siswa baru sudah memendam sejumlah masalah. Dinas Pendidikan DKI Jakarta yang menetapkan ketentuan umur tentu perlu lebih transparan menjelaskan alasan memasukkan kriteria umur, dan disosialisasikan jauh hari sebelum seleksi.
Pendidikan memang perlu dibuat lebih adil dan memberikan kesempatan kepada semua insan muda Indonesia, sesuai dengan amanat Pasal 31 UUD 1945. Menjelang Hari Ulang Tahun Ke-75 Republik Indonesia, kita ingin membanggakan sukses dalam pendidikan. Jangan sampai tujuan pokok ini kena sengkarut karena ide yang tidak prinsipil.
Semoga ada solusi yang memuaskan semua pihak untuk masalah usia dalam PPDB. Kita hargai prakarsa yang lebih arif, seperti membuka jalur afirmasi yang memberikan kesempatan bagi putra-putri tenaga kesehatan yang meninggal, karena tugas-tugas kemanusiaan.