Puisi dalam Tiga Langkah
Eksistensi para penyair sedang terancam. Poem Generator yang didesain Google bisa membuat puisi ”hanya” dalam tiga langkah. Apalah artinya menempuh jalan sunyi menjadi penyair jika demikian keadaannya?
Hati-hati, eksistensi para penyair sedang terancam. Poem Generator yang didesain Google bisa menciptakan puisi ”hanya” dalam tiga langkah.
Konon mesin yang menyimpan 7 juta puisi dari para penyair ternama dunia dalam satu ”kotak besar” bernama bigdata ini akan menjadi mesin ”sempurna” untuk menciptakan puisi-puisi berkelas dunia pula.
Saya coba memasukkan beberapa kata kunci berikut: random ideas, female, bird, wild, dan fantastic. Hanya dalam beberapa detik tercipta puisi berjudul ”The Wild and Fantastic Bird”.
Puisinya berbunyi begini: //Whose bird is that?/I think I know/Its owner is quite sad though/It really is a tale of woe/I watch her frown. I cry hello…// (Burung siapa itu?/Saya rasa saya tahu/Pemiliknya cukup sedih/Ini benar-benar sebuah kisah celaka/Aku melihatnya mengerutkan kening/Saya menangis helo//.
Mungkin banyak penyair yang beranggapan terjemahan secara leterlijk dari mesin penerjemah ini terasa kaku dan jauh dari kelas puisi yang sempurna. Tetapi coba kita sentuh ulang dalam beberapa langkah. //Aku tahu kau sedih/keningmu berkerut/dalam kisah yang celaka/Burung siapa yang terbang?/Kaukah itu?//.
Bukankah mesin ini mempermudah kerja kepenyairan? Saya tiba-tiba membayangkan jutaan penyair dunia akan terkapar tak berdaya ketika poem generator memperkaya bigdata-nya dengan jutaan puisi dari penyair-penyair kelas dunia.
Apalah artinya menempuh jalan sunyi menjadi penyair jika demikian keadaannya? Bukankah begitu mudah menciptakan sebuah puisi? Anda tinggal memasukkan beberapa kata kunci sesuai dengan karakter puisi yang dikehendaki. Dalam beberapa detik, puisi menjelma dalam deretan kata-kata dan bait-bait yang rapi. Dari mana semua itu?
Saya ingat Riri Satria, admin komunitas Dapur Sastra Jakarta dan dosen Program Magister Teknologi Informasi Universitas Indonesia, saat melakukan presentasi tentang poem generator dalam Banjarbaru’s Rainyday Literary Festival 2019 di Kalimantan Selatan.
Sebagai ahli komputer dan penggelut susastra dia juga bertanya, bisakah apa yang dikerjakan oleh mesin, ia sebut sebagai creative engineering, itu dinamakan sebuah puisi?
Baca juga: Berziarah ke Pikiran Bapak
Memang Riri memberi jawaban, bahwa puisi-puisi hasil poetry generator terasa kaku, tanpa jiwa, tidak berdasarkan realitas konkret, tidak memiliki relasi emosional dengan penyair dan pembacanya. Tetapi, Riri juga bertanya, apakah kalau kemudian seorang penulis menyentuh ulang deretan kata-kata yang dihasilkan mesin itu, bisa dianggap sebagai puisinya sendiri?
Apakah puisi yang saya gubah dari deretan kreativitas mesin tadi bisa disebut sebagai karya saya sendiri? Bukankah mesin cuma saya pakai sebagai alat untuk mengatasi kebuntuan imajinasi, toh puisi yang saya tuliskan kemudian hasil kerja keterampilan mengutak-atik kata sendiri? Pasti deretan pertanyaan ini bisa diperpanjang karena ketakjuban dan keterkejutan kita kepada teknologi komputer, yang makin hari merambah ranah kreativitas.
Bersama seorang penyair bernama Yoevita, Riri menulis sebuah puisi bertema ”karma”, yang menjadi tema acuan penyelenggaraan Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2019 lalu. Riri melakukan langkah-langkah sebagaimana disarankan dalam poem generator.
”Hanya dalam dua detik, puisi bertema karma itu jadi,” kata Riri. Dengan memberi beberapa sentuhan di sana-sani, Yoevita kemudian mengirimkan puisi itu kepada para kurator UWRF. ”Ternyata puisi itu lolos dari kurasi,” katanya.
Sebagai seorang yang sedang melakukan studi kasus, melalui penyelenggara UWRF, Riri kemudian menjelaskan bahwa puisi berjudul ”Karma” yang ditulis oleh Yoevita tak lain tak bukan diciptakan oleh creative engineering, satu mesin yang meniru kreativitas otak manusia. Puisi itu pun kemudian ditarik oleh penulisnya.
Studi kasus ini membuktikan betapa para kurator, apalagi pembaca awam, ”tak mampu” membedakan puisi yang ditulis oleh mesin dan puisi yang diciptakan oleh seorang penyair. Mengapa? Dalam analisis Riri, poem generator benar-benar didesain meniru proses kreativitas lahirnya sebuah puisi.
Baca juga : Melunasi Kutang Masa Lalu
Jika puisi bermula dari fakta-fakta atau pengalaman, mesin memulainya dari artificial intelligence, jika penyair melakukan proses kreatif dalam dirinya, mesin mengolah algoritma yang didukung bigdata. ”Lahirnya sebuah puisi dengan proses yang serupa,” kata Riri.
Beberapa pekan lalu, penyair Zawawi Imron (77) dari Sumenep, Madura, terlibat dalam satu proyek membaca puisi dan diskusi daring yang disponsori oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Ketika diberi kabar soal keterlibatannya, Zawawi langsung panik. ”Hp-ku jadul, ndak bisa pakai apa itu Zoom,” keluhnya. Setelah sedikit kompromi, Zawawi akhirnya diperkenankan merekam pembacaan puisi sebelum disiarkan lewat jaringan Youtube Budayasaya.
Rupanya, ia tak mau menyerah. Atas usaha seorang panitia, Zawawi berhasil menahan cucunya bernama Ayat untuk menunda keberangkatannya ke Jakarta. Selama proses pelaksanaan baca puisi dan diskusi lewat jaringan Zoom, Zawawi tak hanya menggunakan telepon seluler milik cucunya, tetapi juga terus didampingi.
Ia tampak takjub pada ”keajaiban” teknologi, karena bisa bertemu dengan penyair-penyair seperti Acep Zamzam Noor (Tasikmalaya), juga Ahmadun Y Herfanda (Tangerang Selatan), Sindu Putra (Mataram), Pranita Dewi (Denpasar), serta beberapa penyair dari seluruh Tanah Air.
Dalam satu pesan yang serupa, penyair Godi Suwarna (64) yang tinggal di Ciamis, Jawa Barat, mengaku terus terang, ”Saya mah gugup kalau pakai Zoom.”
Baca juga : Misteri Masakan Ibu
Padahal, Godi baru akan terlibat dalam proyek yang sama pada awal Juli 2020 nanti. Sebenarnya masih cukup waktu untuk mengadopsi teknologi sebagai bagian tak terpisahkan dari kreativitas manusia pada saat-saat terjadi isolasi akibat pandemi Covid-19.
Tentu saja cerita ini bukan untuk mendiskreditkan para penyair sepuh yang tuna teknologi, melainkan ingin membuat semacam komparasi, bahwa ketika mesin telah beringsut menciptakan puisi melalui artificial intelligence, sebagian penyair kita masih berkutat memahami teknologi digital.
Ketika sebagian penyair baru sampai pada pengertian bahwa telepon pintar dalam genggamannya sebatas untuk menerima pesan dan berkomunikasi, mungkin poem generator telah menciptakan berjuta-juta puisi di seluruh dunia.
Nanti saat teknologi telah mampu ”menyamai” kerja otak dan emosi manusia, siap-siap seluruh kendali hidup kita ada di tangannya. Ketika terjadi isolasi kota di mana-mana, teknologi digital telah siap mengambil peran beberapa langkah di depan kita.
Saat seluruh aktivitas birokrasi, ekonomi, politik, transportasi, dan seni harus berhenti, lagi-lagi teknologi memberi jawaban yang nyata. Maka sesungguhnya sejak terjadi guncangan besar terhadap spesies manusia, terutama karena ancaman kepunahan, teknologi telah sepenuhnya mengendalikan hidup kita.
Tak hanya soal-soal ketubuhan, seluruh komponen emosional yang tadinya ”belum bisa” digantikan oleh mesin kini justru menjadi wahana utama untuk menampungnya.
Baca juga : Tangan Terulur Hati yang Memeluk
Banyak di antara kita melakukan ”curhat” kepada mesin yang diwadahi dalam media sosial, seakan tak peduli apakah ”curhatan” itu akan dibaca ”manusia sesungguhnya” atau disimpan saja oleh mesin robotik.
Bahkan tak cuma ”curhat”, ekspresi kemarahan dan kekecewaan pun makin sering kita dengar lewat perantara mesin, dan tak jarang kemarahan itu berujung pada kasus-kasus hukum.
Bagaimana puisi menyelamatkan dirinya? Mungkin penjelasan ini tak memadai, tetapi untuk sementara mari sama-sama menenangkan diri dari ancaman mesin robot bernama poem generator itu.
Puisi dipercaya sebagai ”seni jiwa”. Ia berupa partikel-partikel jiwa yang mengejawantah lewat bahasa puitik. Ketika seorang penyair menerima ”ilham”, terjadi proses keterhubungan dengan sesuatu yang ilahiah dengan Sang Pencipta.
Ketika seorang penyair mengutak-atik kata menjadi struktur bahasa yang memiliki nilai estetik, di situlah kerja penyairan dimulai. Mungkin proses kerja kepenyairan bisa disusun dalam satu pola algoritma oleh mesin pembuat puisi, tetapi sudah pasti tidak dengan ”kinerja” ilahiah yang diterima oleh seseorang.
Mesin menerjemahkan ”ilham” dengan kata-kata kunci yang terdiri dari kata benda, kata sifat, serta karakter puisi yang diinginkan. Konon juga sudah ada mesin yang lebih sempurna sehingga bisa menata soal-soal teknis seperti rima dalam setiap baris puisi.
Baca juga : Para Dokter yang Mulia
Riri sendiri mengakui bahwa puisi yang diciptakan oleh poem generator memiliki keterputusan secara emosional dengan ”penciptanya”. Mesin puisi hanya bisa menciptakan puisi dari bigdata kata-kata yang disimpan dalam server komputer. Ia tidak mampu menjangkau emosi penyair (manusia) yang merembes dari kedalaman jiwa.
Selain itu, poem generator telah menghilangkan satu proses penting dalam penciptaan, yakni apa yang disebut oleh Aristoteles sebagai katarsis. Katarsis terjadi ketika mula-mula seorang penyair (seniman) tersentuh oleh kekuatan ”maha-suci” yang berasal dari alam adi-kodrati.
Biasanya proses itu hanya berlangsung dalam beberapa detik, di mana seorang penyair menemukan serpih-serpih keindahan yang kemudian ia terjemahkan ke dalam beberapa kata atau kalimat. Ini juga yang disebut sebagai realitas interpretatif.
Aristoteles yakin bahwa proses ilahiah itu sesungguhnya berasal dari realitas interpretatif yang telah dilakukan penyair (seniman) dalam alam bawah sadarnya selama berhari-hari atau bahkan bertahun-tahun.
Penyair-penyair seperti Zawawi Imron atau Godi Suwarna sangat dikenal sebagai penyair-penyair kawakan yang bisa membawakan puisi panjang tanpa teks.
Karena keduanya adalah penyair, maka pada saat mengucapkan teks-teks puisi sesungguhnya mereka telah menciptakan ulang puisi-puisi yang mereka tulis menjadi karya baru, karya-karya puisi lisan yang bisa jadi lebih mencengangkan.
Baca juga : Nyepi Menghentikan Waktu
Saya yakin proses inilah yang tidak bisa digantikan oleh poem generator. Ia hanya sebatas menjadi pemantik kerja teknis kepenyairan, tetapi luput menerjemahkan relasi emosional antara proses penciptaan dan deretan kata-kata yang kemudian lahir sebagai proses berkesenian.
Jadi para penyair tak perlu gundah-gulana. Selama manusia merasa perlu merawat imajinasi dengan aktivitas berkesenian, puisi akan terus melahirkan penyair-penyair baru dari generasi ke generasi.
Puisi akan selalu menepati janji, sebagaimana merpati yang membubung tinggi, tetapi tak pernah lupa dari mana ia berasal mula.