Dari berbagai pengalaman selama pandemi, masyarakat akan belajar bentuk politik seperti apa yang bisa menyelamatkan kehidupan dan membantu manusia melewati masa sulit.
Oleh
Andy Budiman
·4 menit baca
Kematian, sakit, dan penderitaan adalah wajah dunia hari ini. Miliaran penduduk bumi dipaksa keadaan tak bisa bekerja, kehilangan mata pencarian, membatasi diri tinggal di rumah, dan menyesuaikan diri dengan cara hidup yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Kita hidup pada era penuh ketidakpastian, krisis dalam skala yang tidak pernah terbayangkan dalam sejarah manusia modern. Vivere pericoloso, kita hidup dalam tahun-tahun penuh marabahaya.
Kian solider dan religius
Kalaupun ada yang menguntungkan dari krisis, kata-kata Jawaharal Nehru, paling tidak itu memaksa kita berpikir. Wabah memaksa manusia menggunakan akal untuk bertahan hidup, mengenali cara penularan dan menyesuaikan diri agar selamat. Sumber informasi mengenai itu semua didapat dari sains. Pandemi memaksa dan melatih masyarakat untuk berpikir dalam kerangka ilmu pengetahuan.
Pandemi juga memperkuat solidaritas. Vokalis Giring ”Nidji” Ganesha memulai ide kreatif ”Ngamen Solidaritas” daring mengumpulkan dana untuk membantu tenaga medis. Almarhum Didi Kempot menggelar ”Konser Amal dari Rumah” di Kompas TV dan mengumpulkan dana hingga Rp 7,6 miliar. Gusdurian Peduli menggerakkan #PatunganUntukBerbagiTHR. Semua anggota DPRD Partai Solidaritas Indonesia mengambil inisiatif menyumbangkan gaji untuk membantu rakyat.
Orang saling berbagi makanan, menyumbangkan tempat cuci tangan, hingga memberikan semangat kepada tenaga medis yang berjuang di garis depan. Inilah solidaritas dalam bentuknya yang paling otentik, mengatasi sekat-sekat agama, ras, dan kelas. Semuanya murni karena kemanusiaan.
Pandemi memperluas ruang ketidakpastian terkait kematian, kesehatan, dan ekonomi yang mendorong orang lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun, berbeda dengan sebelumnya, pembatasan sosial mendorong ekspresi keagamaan menjadi lebih personal, lebih ke dalam diri. Tidak dipamerkan secara sosial apalagi dalam bentuk politisasi agama.
Ingin negara kuat
Pandemi mendorong perubahan dalam persepsi politik. Semua orang kini bicara tentang perlunya negara yang kuat dalam berbagai variannya. Keberhasilan China ketimbang negara-negara demokrasi maju dalam mengatasi krisis memunculkan pandangan bahwa politik otoritarianisme lebih efektif mengatasi pandemi. Meski sejumlah kalangan menyuarakan skeptisisme karena data dari negara itu tidak bisa diverifikasi kebenarannya.
Dalam masa pandemi, semua orang menjadi Keynesian. Menuntut negara lebih hadir menyediakan jaminan kesehatan dan jaminan sosial. Bahkan, lebih jauh lagi, kelas menengah yang biasanya sangat sensitif dalam soal pembatasan hak, secara sukarela bersedia ”dipaksa” untuk tinggal di rumah, menuntut negara memberlakukan karantina wilayah (lockdown) secara tegas dan meminta aparat menghukum orang yang masih berkeliaran di jalan.
Mereka yang biasanya sangat peduli masalah perlindungan kerahasiaan data pribadi, kini tidak keberatan mengunduh aplikasi pemantau Covid-19 yang memungkinkan negara mengawasi dengan siapa mereka berinteraksi dan ke mana saja mereka bepergian. Sesuatu yang tidak mungkin akan mereka berikan pada masa sebelum wabah.
Pudarnya politik identitas
Konsekuensi lain dari pandemi adalah menguatnya teknokrasi—gagasan mengenai pemerintahan yang merumuskan kebijakan publik berdasarkan rekomendasi para ilmuwan. Pada sisi lainnya, politik identitas yang beberapa waktu terakhir menguat seiring meluasnya gelombang populisme yang melanda dunia, akan semakin surut.
China dan Iran adalah contoh menarik. Kedua negara sama-sama menganut sistem politik otoritarian. Iran yang mendasarkan kekuasaan atas ide teokratik terbukti gagal. Pada awal wabah, pemerintah mengikuti pendapat para tokoh agama yang menentang permintaan menteri kesehatan untuk menutup pusat ibadah di Qom. Akibatnya fatal, mayat-mayat bergelimpangan.
Sementara China menggunakan otoritarianisme untuk mengambil langkah-langkah penanganan yang didasarkan pada pendekatan ilmiah dan melahirkan pujian dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang menilai negara itu sukses dalam menangani wabah.
Jerman adalah contoh lain. Partai Christian-Democratic Union (CDU) yang dipimpin Angela Merkel belakangan hasil jajak pendapatnya semakin naik karena kepemimpinan teknokratik Kanselir Merkel—yang merupakan seorang doktor bidang Fisika—dianggap sukses mengatasi pandemi.
Masyarakat akan belajar dari berbagai pengalaman selama pandemi, tentang bentuk politik seperti apa yang akan bisa menyelamatkan kehidupan dan membantu manusia melewati masa sulit. Dalam konteks ini, politik teknokratik akan menjadi the new normal. Dalam konteks Tanah Air, kandidat terkuat yang akan muncul sebagai calon presiden 2024 akan datang dari kepala daerah atau pejabat publik yang dianggap sukses mengatasi pandemi.
Lalu bagaimana prospek politik identitas? Pandemi membuat mereka kehilangan raison d’etre karena dalam wabah semua orang menderita. Bukan hanya di Palestina atau Xinjiang, melainkan juga Wuhan, New York, hingga Qom.
Pandemi membuat mereka kehilangan raison d’etre karena dalam wabah semua orang menderita.
Itulah yang menjelaskan kenapa suara-suara politik identitas belakangan menurun. Mereka kehilangan narasi untuk memobilisasi sentimen ras atau agama di tengah penderitaan semua umat manusia. Saya menduga, ke depan mereka akan menggeser isu menjadi sentimen kelas, bicara soal kesenjangan sosial—sebagai topeng untuk menutupi politik rasialisme.
Andy Budiman,Juru bicara Partai Solidaritas Indonesia.