Kita harus menyadari, ancaman Covid-19 belum berakhir. Apa yang kita lakukan sekarang ini tak boleh menciptakan potensi penularan yang baru. Oleh karena itu, protokol kesehatan merupakan harga mati.
Oleh
Suryopratomo
·6 menit baca
Pada 10 Juni 2020, Presiden Jokowi mengunjungi Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Presiden ingin mengetahui secara lebih detail capaian yang telah kita lakukan bersama dalam mencegah penyebaran Covid-19 di Indonesia. Ketua Gugus Tugas Doni Monardo menjelaskan hal-hal yang telah dilakukan selama hampir tiga bulan.
Ketua Tim Pakar Prof Wiku Adisasmito dan anggota Tim Pakar Dr Dewi Nur Aisyah melengkapi dengan menjelaskan sistem informasi yang telah dibangun untuk bisa memetakan penyebaran Covid-19 hingga tingkat kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Sebelumnya, 13 April lalu, Presiden sudah meminta: ”Berkaitan data informasi, saya minta data informasi ini betul-betul terintegrasi. Semua kementerian masuk ke Gugus Tugas.”
Di tengah berbagai keterbatasan, ternyata kita mampu membangun sebuah sistem informasi yang bisa dijadikan pegangan dalam mengambil kebijakan. Ibaratnya, dashboard yang kita miliki memang belumlah fully digital, tetapi bisa menjadi penunjuk arah yang baik.
Dengan sistem informasi ”Bersatu Lawan Covid”, kita bisa mengetahui secara real time tingkat penularan yang terjadi di setiap kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Perjalanan untuk membuat dashboard sungguh luar biasa. Tim Gugus Tugas harus menyatukan semua data yang selama ini tercecer di mana-mana. Butuh kesabaran untuk mengajak semua pihak di pusat maupun daerah untuk mau mengumpulkan data dan mengirimkan data itu.
Di tengah berbagai keterbatasan, ternyata kita mampu membangun sebuah sistem informasi yang bisa dijadikan pegangan dalam mengambil kebijakan.
Dengan sistem pencatatan yang tidak seragam, dibutuhkan ketelatenan untuk kemudian melacak dan mengelompokkannya. Baru setelah datanya seragam, dimasukkan ke dalam sistem untuk bisa diolah jadi dashboard yang bermanfaat.
Ada 15 indikator yang dipakai untuk membangun sistem informasi ”BLC” itu. Data yang dipergunakan mencakup aspek epidemiologi, survelains kesehatan masyarakat, dan pelayanan kesehatan. Sesuai indikator yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kondisi setiap kabupaten/kota dibagi ke dalam empat kelompok, mulai dari hijau yang tak ada kasusnya, kuning yang rendah, oranye yang sedang, hingga merah yang tinggi.
Dari data yang dikumpulkan setiap hari, setiap hari Senin bisa diketahui perubahan status dari setiap kabupaten/kota. Sekarang kita bisa mengetahui jumlah kabupaten/kota yang berubah statusnya dari hijau menjadi kuning atau oranye, sebaliknya jumlah yang berubah dari merah ke oranye dan oranye ke kuning.
Gugus Tugas hanya memberikan izin kepada ketua Gugus Tugas Kabupaten/Kota yang statusnya hijau atau kuning untuk mempersiapkan diri menjalankan kegiatan masyarakat produktif dan aman Covid-19. Kabupaten/kota yang statusnya oranye dan merah dilarang melakukan kegiatan.
Perjuangan berat
Sebagai orang yang mengikuti dari dekat penanganan Covid-19, perjuangan untuk mengendalikan penyebaran virus korona luar biasa berat. Indonesia memiliki banyak kekurangan dalam sistem kesehatan, padahal status virus yang dihadapi sudah level pandemi.
Bayangkan, jumlah dokter yang dimiliki tak sampai 200.000 orang. Itu pun persebarannya tidak merata di seluruh Indonesia. Jumlah dokter ahli paru tidak sampai 2.000 orang. Demikian pula dengan jumlah rumah sakit dan tempat tidur yang tersedia.
Dalam kondisi seperti itu, para pakar tidak memberikan pemahaman yang menenangkan, tetapi justru menakutkan. Ada pakar epidemiologi yang mengatakan, akan ada sekitar 2,5 juta warga Indonesia yang terpapar dan 10 persen di antaranya akan meninggal. Akan banyak orang yang berjatuhan di jalanan sehingga mayat akan bergeletakan di mana-mana. Berita tentang apa yang terjadi di Wuhan dan Iran semakin membuat kecil hati.
Pemerintah China sampai harus membangun rumah sakit khusus untuk menangani orang yang terpapar Covid-19. Sangat wajar apabila Presiden Jokowi yang membentuk Gugus Tugas pada 13 Maret 2020 meminta segera disiapkan rumah sakit khusus. Sejak kasus Covid-19 pertama kali diumumkan 2 Maret 2020, tumpuan penanganan kasus hanya pada dua rumah sakit: RSPI Sulianti Saroso dan RS Persahabatan.
Minggu-minggu pertama kedua rumah sakit kewalahan menerima pasien dengan gejala Covid-19. Direktur Utama RSPI Sulianti Saroso, Muhammad Syahril, masih ingat, pada minggu pertama setidaknya ada 84 pasien yang harus dirawat, padahal hanya tersedia 28 tempat tidur. Akibatnya, pasien harus dirawat di ruang gawat darurat dan bahkan lorong rumah sakit.
Sebagai orang yang mengikuti dari dekat penanganan Covid-19, perjuangan untuk mengendalikan penyebaran virus korona luar biasa berat.
Keadaan semakin terasa genting karena banyak dokter berjatuhan akibat tertular. Pada minggu pertama setidaknya ada 19 dokter yang wafat, tujuh di antaranya dokter yang praktik biasa bukan di rumah sakit yang menangani Covid-19.
Keterbatasan alat pelindung diri jadi penyebab banyaknya dokter tertular. Belum lagi masyarakat yang tak paham dengan gejala Covid-19 sehingga menjadi carrier yang bisa menulari orang lain, termasuk dokter.
5S dan 1T
Dalam situasi yang kaotis, Doni Monardo mencoba membangun struktur, sistem, strategi, skill, speed, dan target. Tanpa ada 5S dan 1T ini tak mungkin Gugus Tugas bisa menjalankan tugas mengendalikan penyebaran Covid-19. Doni pertama meminta bantuan pakar dari berbagai bidang untuk ikut membantu. Terutama mereka yang berlatar belakang dokter sangat dibutuhkan, karena tak ada satu orang pun berlatar belakang dokter di BNPB. Baru pertama kali BNPB ditugasi menangani bencana non-alam.
Langkah kedua, meminta bantuan masyarakat, khususnya untuk jadi sukarelawan. Tanpa bantuan sukarelawan, tak mungkin tenaga medis akan bisa menjalankan tugas dengan baik. Apalagi belum tahu kapan wabah Covid-19 akan berakhir.
Kolaborasi pentahelix berbasis komunitas diyakini menjadi jawaban untuk menangani Covid-19. Gugus Tugas menetapkan kebijakan untuk menjaga orang yang sehat tetap sehat, yang kurang sehat dibuat menjadi sehat, dan yang sakit diobati sampai sembuh.
Kolaborasi pentahelix berbasis komunitas diyakini menjadi jawaban untuk menangani Covid-19.
Dengan kebijakan itu, tenaga kesehatan tidak ditempatkan di garda paling depan, tetapi justru paling belakang setelah masyarakat yang terpapar ditangani oleh masyarakat sendiri. Langkah itu yang membuat rumah sakit kemudian tidak kebanjiran pasien.
Tiga capaian besar yang didapatkan Gugus Tugas untuk menangani penyebaran Covid-19 pada bulan pertama adalah didapatnya 100.000 APD pada 21 Maret 2020 sehingga para tenaga medis terlindungi.
Kedua, diresmikannya RS Darurat Wisma Atlet pada 23 Maret 2020 sehingga ada tempat perawatan khusus tambahan bagi masyarakat yang terpapar. Ketiga, terbangunnya laboratorium untuk tes usap di banyak tempat serta didapatnya 50.000 reagen untuk polymerase chain reaction (PCR) dari Korea Selatan pada 19 April 2020.
Kita sungguh beruntung keadaan relatif terkendali setelah tiga bulan ini. Kecuali di Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan, keadaan di provinsi lain tak setegang seperti di awal merebaknya Covid-19. Gugus Tugas pun berani mengambil kebijakan memberikan kesempatan kepada kabupaten/kota dan sembilan sektor agar bisa memulai lagi kegiatannya.
Kita sungguh beruntung keadaan relatif terkendali setelah tiga bulan ini.
Survei Kompas pun menyatakan, 64 persen masyarakat ingin pemerintah menyelamatkan ekonomi bersamaan dengan keharusan menjaga kesehatan masyarakat.
Ketua Gugus Tugas menerjemahkannya dengan mencegah jangan sampai masyarakat terpapar Covid-19, tetapi jangan sampai pula terkapar virus pemutusan hubungan kerja (PHK). Pemberian izin kepada sembilan sektor yang tingkat penularannya rendah, tetapi dampak terhadap lapangan kerja dan ekonominya signifikan, adalah untuk menghindarkan jangan sampai a hungry man become an angry man.
Kita harus menyadari, ancaman Covid-19 belum berakhir. Apa yang kita lakukan sekarang ini tak boleh menciptakan potensi penularan yang baru. Oleh karena itu, protokol kesehatan merupakan harga mati. Kita harus disiplin menjalankannya dan kita akan bisa menjadi patriot kalau tidak menjadi sumber penularan kepada orang lain.
Suryopratomo
Anggota Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19