Hampir 80 juta orang dipaksa meninggalkan rumah untuk mengungsi. Setengah dari jumlah itu adalah anak-anak. Mereka tergusur akibat konflik, kelaparan, penganiayaan, dan gejolak ekonomi.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Hampir 80 juta orang dipaksa meninggalkan rumah dan mengungsi. Jikalau mereka tidak ditangani dengan benar, bisa berdampak terhadap perdamaian dunia.
Setengah dari 80 juta orang itu adalah anak-anak. Mereka tergusur akibat konflik, kelaparan, penganiayaan, dan pergolakan ekonomi. Tahun 2019 saja, tak kurang dari 10 juta warga terpaksa meninggalkan rumah dan mengungsi. Tahun 2020, kemunculan pandemi virus korona baru memperburuk keadaan para pengungsi di pengungsian.
Menurut Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR), jumlah 10 juta itu hampir dua kali lipat total selama dekade terakhir. Di antara 79,5 juta orang yang dipindahkan secara global, 26 juta adalah pengungsi, 4,2 juta pencari suaka, dan 45,7 juta orang telantar secara internal (IDP), yaitu mereka melarikan diri ke bagian lain di negaranya sendiri.
Peningkatan jumlah pengungsi merupakan hasil dari ”perpindahan baru yang mengkhawatirkan” di Republik Demokratik Kongo, wilayah Sahel, Yaman, yang dilanda perang, dan Suriah. Direktur UNHCR untuk Afrika Timur dan Tanduk Afrika Clementine Nkweta-Salami menjelaskan, pertempuran di Republik Demokratik Kongo, Burkina Faso, dan wilayah Sahel menyebabkan 6,3 juta penduduk mengungsi.
Untuk pertama kali, UNHCR juga mencatat pengungsi dan korban penggusuran paksa dari Venezuela. Mereka melarikan diri akibat kondisi ekonomi negaranya yang memburuk ke negara lain di Amerika Latin dan Karibia.
Mariela Shaker, pengungsi asal Aleppo, Suriah, meninggalkan kampung halamannya pada 2013 ke Amerika Serikat. ”Saat Anda dipaksa meninggalkan negara Anda, itulah perasaan terburuk yang saya alami. Akhirnya pergi ke tempat baru yang Anda tidak tahu apa-apa dan memulai semuanya dari awal,” ungkap musisi berusia 29 tahun itu dan pendukung UNHCR kepada Al Jazeera.
Saat Anda dipaksa meninggalkan negara Anda, itulah perasaan terburuk yang saya alami. (Mariela Shaker)
Nimo, pengungsi di Indonesia, menceritakan, mereka tidak kesusahan karena selama ini terbiasa hidup dalam karantina. Ketika muncul pandemi, kesulitan hidup mereka bertambah. ”Saya berbicara dengan RT/RW, bahwa saya bukan orang asing biasa. Baru kami diberi bantuan,” ungkap Nimo (Kompas.id, 20/6/2020).
Kehadiran pengungsi di sebuah negara bisa menimbulkan masalah keamanan, seperti di Cox’s Bazar, Bangladesh. Aparat setempat menangkap sembilan orang yang diduga terlibat perdagangan manusia di tempat pengungsian warga Rohingya itu. Pernah terjadi perbedaan pendapat di antara negara Uni Eropa terkait penanganan pengungsi dari Tanduk Afrika.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengingatkan negara-negara tentang kewajiban mendasarnya untuk melindungi mereka yang terpaksa meninggalkan rumah karena konflik, penganiayaan, dan krisis lainnya. Jika isu pengungsi tidak ditangani dengan benar, masalah akan muncul, khususnya di negara penerima. Turki pernah memakai pengungsi untuk ”menggertak” Eropa, yaitu saat pandemi dihadapkan pada banyaknya kasus positif Covid-19 di pengungsian.