Ini cuma prank. Bercanda bro, ujar seorang youtuber sambil merayakan kejahilannya. Perkara yang dijahili marah, malu, bahkan sakit hati, lupakan saja. Konten berisi ide jahil ini belakangan memunculkan kegaduhan yang luar biasa. Prank menjadi salah satu konten yang akhir-akhir ini kerap diproduksi para youtuber untuk cepat viral. Namun, berawal dari konten prank yang kebablasan membuat kreatornya berujung bui.
Salah satu youtuber yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan karena tersandung kasus hukum adalah Ferdian Paleka. Dari konten berpura-pura membagi-bagikan sembako berisi sampah dan batu bata ke transgender di Bandung, dia dan dua rekannya menuai perkara. Tak ayal aksinya tersebut menuai hujatan warganet dan berbuntut penangkapan oleh pihak kepolisian. Dia dan rekannya diduga melanggar pasal 36 UU ITE No. 11 tahun 2008 tentang perbuatan yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain.
Secara semantis, prank dapat disamakan maknanya dengan kegiatan bersenda gurau, mengolok-olok, berkelakar, dan berseloroh. Kata prank juga dapat diasosiasikan maknanya dengan KW atau palsu. Atau dapat dikatakan tayangan palsu atau bohongan.
Baca juga : Merendahkan Orang Lain ”Demi Konten” Video Prank
Tayangan prank sebenarnya tak melulu soal bersenda gurau dengan mengibuli targetnya. Masih banyak konten prank yang mengundang inspirasi, tidak sekadar hiburan semata. Misalnya prank beberapa artis menjadi gelandangan dan musisi jalanan. Prank mereka gunakan sebagai media social experiment untuk berbagi dengan sesama yang membutuhkan.
Secara semantis, prank dapat disamakan maknanya dengan kegiatan bersenda gurau, mengolok-olok, berkelakar, dan berseloroh.
Youtuber punya tanggung jawab sosial soal isi kontennya. Boleh saja membuat konten prank seperti prank epic, crazy world, life for live, kalau di Indonesia David Beat dan Angga Candra, asalkan tidak merugikan dan menjatuhkan orang lain. Bersenda gurau dengan ngibul dan dusta bukan budaya masyarakat kita.
Kegagalan Komunikasi
Fenomena menjamurnya konten prank ini bermula dari gejala kegagalan komunikasi si kreator konten. Dalam kasus Ferdian Paleka, pesan (makna) dalam konten yang diterima viewer (penonton) berbeda dengan maksud yang dikehendaki kreator konten. Hal ini terjadi karena bahasa merupakan sarana komunikasi yang bersifat simbolik. Untuk memahami pesan dalam sebuah konten, penonton harus memecahkan kode bahasa dan mengintepretasi makna/maksud di balik simbol bahasa itu.
Intepretasi pesan dalam suatu konten tidak bisa melahirkan satu penafsiran tunggal yang mutlak. Masyarakat memaknai simbol sesuai dengan pengetahuan dan preferensinya. Karena itulah, selalu terdapat jarak antara maksud yang diidamkan oleh kreator konten dengan pesan yang diterima penonton.
Dalam situasi seperti inilah kecerdasan seorang kreator konten atau youtuber diuji. Kreator konten sebaiknya bijak dalam merencanakan konten materinya. Kreator konten harus punya kedewasaan dalam memilih topik dan mampu membahasakan secara baik. Misalnya, kreator konten kuliner berusaha memakai idiom lokal agar dapat menilai kualitas makanan setempat dengan tepat. Tentu saja yang popular digunakan kata mak nyuss atau yang belakangan ini menjadi viral endol.
Maka dari itu, dalam memproduksi kontennya, seorang youtuber sebaiknya harus paham benar dua fungsi sosial bahasa. Sebagaimana dikemukakan Thomas & Wereing (2007) bahasa bisa berfungsi sebagai perekat sosial (social glue) dan pelumas sosial (social lubricant). Bahasa konten dalam Youtube mestinya membuat orang terhubung serta saling memahami, bukan berkonflik dan menghujat. Oleh karena itu, bentuk-bentuk penggunaan bahasa yang menyimpang dan rentan merugikan orang lain sebaiknya dihindari.
Dari segi produksi, kreator konten dan youtuber sebaiknya mendayagunakan dua fungsi sosial bahasa itu agar tercipta ikatan batin yang membuat hubungan dengan penoton sebagai pihak yang mengkonsumsi makin dekat dan cair. Informasi tentang konten yang diproduksi juga bisa segera terdistribusi (share) dengan cepat.
Kreator konten harus punya kedewasaan dalam memilih topik dan mampu membahasakan secara baik.
Kegagalan para youtuber ‘receh’ dalam berbahasa hanyalah buah dari sikap masyarakat yang kadang memberi pemakluman lebih atas menjamurnya slang atau prokem. Alih-alih untuk tidak mengatakan “liar”. Slang atau prokem ‘negatif’ telah menjadi konvensi atau disepakati di kalangan muda-mudi. Kalau tidak mengikutinya, akan dianggap tidak gaul atau milenial.
Karakter bahasa milenial para youtuber merupakan simbol dari pengalaman mentalnya. Sebagaimana Aristoteles menyebut bahasa adalah ekspresi sekaligus representasi dari pengalaman mental itu.
Fenomena konten prank yang beredar melalui media sosial kerap menggambarkan fenomena “kegagalan berbahasa”. Pertama, gagal mendayagunakan fungsi sosial bahasa. Kedua, gagal mentransmisikan pengalaman mentalnya secara baik. Ketiga, pesan gagal dimengerti oleh orang lain.
Baca juga : Jangan Panggil Aku Bencong
Konten Kontroversial
Konten kontroversial memang bukan perkara yang dapat disepelekan. Dalam banyak kasus, konten-konten ini melahirkan pandangan miring di masyarakat. Meskipun dalam banyak hal lain, kontroversi dari konten viral tersebut bisa diatasi dengan itikad baik mengklarifikasi.
Belakangan, konten-konten kontroversial makin marak akibat masifnya penggunaan media sosial. Konten-konten kontroversi cenderung miskin kreativitas namun vulgar dalam bahasa. Jika diamati, banyak youtuber yang mengeksploitasi slang, jargon, atau register negatif dalam kontennya. Topik-topik yang menjadi preferensinya pun receh dan tak berfaedah.
Youtube telah mengeluarkan regulasi untuk membatasi konten-konten berisi challenge atau prank berbahaya. Semoga dengan begitu bisa mengedukasi para kreator konten yang masih membandel. Jangan hanya sekadar mengejar pundi-pundi semata, sehingga membuat minoritas seperti kaum transgender menjadi terancam dan ketakutan.
Menyaksikan kelakuan youtuber yang senang mempublikasi prank berbahaya, kita bisa jadi ikut tertawa. Karena tiap hari kita disuguhi dengan tutorial penyimpangan berbahasa di media sosial. Penyimpangan berulang-ulang akhirnya kita terima sebagai hal yang wajar (normal chaos of everyday life). Itu menyebabkan penyimpangan tak dilihat lagi sebagai masalah.
Wajarkah kita tumbuh dalam budaya masyarakat yang kian permisif atas tayangan berkonten ngibul dan bohong? Kata ngibul dan bohong kian lekat dalam bahasa masyarakat kita. Hilang pula secara perlahan konsep dosa karena menipu. Selama tindak penipuan itu tidak menimbulkan kerugian materi.
Wajarkah kita tumbuh dalam budaya masyarakat yang kian permisif atas tayangan berkonten ngibul dan bohong?
Bila masyarakat kian permisif, sebuah parade kebohongan akan tampak sebagai hiburan semata. Kita membangun budaya gemar dibohongi dalam masyarakat, bahkan dengan sukarela membayarnya dengan like dan subscribe dari jari kita.
Akhirnya, dalam masyarakat semacam itulah konten prank kian digandrungi lalu menemukan konsumen loyalisnya. Maka, generasi muda sebagai pengguna terbesar media sosial harus bisa mengambil hikmah dari kasus Ferdia Paleka.
Kaum muda harus bijak dalam bersosial media dan “sehat” dalan berbahasa, mampu memilih-milah informasi secara kritis, dan menyebarkan tayangan atau konten yang sarat edukasi. Pemerintah dan aparat juga harus hadir dan turut serta dalam memastikan penyebaran konten-konten edukatif. Sekaligus mengarahkan dan mewadahi bakat dan minat anak-anak bangsa untuk membuat konten-konten bermanfaat dan menginspirasi.
Rangga Asmara, Dosen Universitas Tidar, Magelang, Mahasiswa Program Doktor Linguistik UGM.