Dalam situasi sosial-politik yang terasa begitu pengap, dalam situasi kemasyarakatan yang begitu mencekam karena pandemi, guyonan dalam bentuk komedi, satire adalah energi bagi demokrasi.
Oleh
Budiman Tanuredjo
·4 menit baca
Namanya Ismail Ahmad. Usianya 41 tahun. Namanya mendadak viral. Dia ialah aparatur sipil negara Kabupaten Sula, Maluku Utara. Pada Jumat, 12 Juni 2020, ia mengunggah guyonan Presiden ke-4 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Gus Dur yang dikenal punya selera humor tinggi pernah mengatakan, ”Polisi jujur di Indonesia itu patung polisi, polisi tidur, dan mantan Kapolri Jenderal (Pol) Hoegeng Imam Santoso.” Guyonan itu dengan mudah bisa ditemukan di laman pencarian Google ataupun di sejumlah buku.
Tanpa dinyana, unggahan Ismail di Facebook dipermasalahkan. Beberapa jam setelah unggahan muncul di Facebook, ia dipanggil polisi dari Polres Sula. Ismail ditanya motivasinya. Ramailah dunia maya. Protes bermunculan. Ini pembungkaman kebebasan berekspresi. Humor pun tak boleh di negeri ini. Selasa, 16 Juni, Ismail dipanggil lagi ke Polres Sula untuk membacakan pernyataan pers. Ismail meminta maaf.
Putri Gus Dur, Alissa Wahid, membela. ”Guyonan yang diunggah Ismail sudah sering dilontarkan Gus Dur,” kata Alissa, Koordinator Jaringan Gusdurian, seperti dikutip Kompas, 19 Juni. Beruntung, Kapolda Maluku Utara Inspektur Jenderal Rikwanto meluruskan tindakan anak buahnya. ”Itu bukan masalah dan bukan kategori yang perlu diberi atensi oleh kepolisian. Jadi, sudah saya tegur.”
Gus Dur memang presiden dengan selera humor tinggi. Guyonannya mencerminkan kecerdasan intelektualnya. Humornya sering membuat kepala negara asing betah berbicara dengan Gus Dur. Humor menjadi penting untuk mencairkan kebuntuan, mencairkan suasana, dan sekaligus mengkritik praktik politik yang melukai perasaan publik. Guyonan politik bisa jadi katarsis atau ekspresi dari keputusasaan terhadap keadaan. Jadi, tidak perlu over sensitif menghadapi guyonan politik. Mari tersenyum getir bersama atas nasib bangsa ini.
Di dalam negeri, Gus Dur pernah menyebut DPR seperti taman kanak-kanak pada tahun 2001. Belakangan, menurut KH Maman Imanulhaq, anggota DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa, pada Maret 2016, Gus Dur mengaku pernah menyesal menyebut DPR sebagai taman kanak-kanak. Seperti dikutip Merdeka.com, 13 Maret 2016, Maman bertanya, ”Kenapa menyesal? Karena lembaga negara ya?” Gus Dur menjawab, ”Bukan itu, saya merasa berdosa telah meremehkan anak-anak yang suci, cerdas, dan kreatif. Anak-anak adalah masa depan dan harapan. Saya menyesal menyamakan anggota DPR dengan anak-anak.”
Guyonan Gus Dur menunjukkan tingkat kecerdasan politiknya yang tinggi. Semangat Gus Dur ialah memberi masukan agar DPR memperbaiki kinerja agar betul-betul menjadikan mereka yang mulia, yang mewakili rakyat. Begitu juga halnya dengan guyonan terkait polisi. Gus Dur menempatkan Hoegeng sebagai benchmark kejujuran seorang polisi.
Dalam sejumlah buku tentang Hoegeng digambarkan, Hoegeng adalah polisi lurus dan jujur. Namun, dia tersingkir justru karena kejujurannya. Dia ditawari jadi duta besar, tetapi dia menolak karena tak bisa ber-koktail-ria. Saat pensiun sebagai polisi, Hoegeng mengembalikan semua barang inventaris milik kepolisian. Dia menjadi pensiunan tak berharta. Roeslani, istrinya, selalu menekankan kejujuran. ”Karena kita masih bisa makan dengan nasi garam,” ujar Roeslani dalam buku Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Pemimpin Bangsa.
Masih ada polisi jujur, misalnya Bripka Seladi, pensiunan polisi di Polres Malang, Jawa Timur. Saat masih aktif, ia ditempatkan di bagian urusan surat izin mengemudi. Namun, ia menolak semua bentuk suap. Dia menambah penghasilan hidupnya sebagai pemulung sampah. Ketika pensiun sebagai polisi, Seladi melanjutkan sebagai pemulung sampah.
Dalam situasi sosial-politik yang terasa begitu pengap, dalam situasi kemasyarakatan yang begitu mencekam karena pandemi, guyonan dalam bentuk komedi, satire, adalah energi bagi demokrasi. Guyonan atau satire itu perjuangan anti-kekerasan yang sah dalam demokrasi. Ia adalah bagian dari kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi yang tidak perlu dibungkam. Hindarkan negeri ini dari apa yang pernah dikatakan peraih Yap Thiam Hien Award, Trimoelja Soerjadi, ”Republic of Fear”.
Dalam situasi sosial-politik yang terasa begitu pengap, dalam situasi kemasyarakatan yang begitu mencekam karena pandemi, guyonan dalam bentuk komedi, satire, adalah energi bagi demokrasi.
Pandemi Covid-19 tidak hanya membawa resesi ekonomi, tetapi juga resesi demokrasi. Laporan Indeks Demokrasi 2019 dari The Economist Intelligence Unit memasukkan Indonesia dalam negara demokrasi yang cacat (flawed democracy). Catatan Indeks Demokrasi harus dipakai untuk tetap merawat demokrasi. Dari sisi proses pemilu dan kemajemukan, Indonesia mendapat nilai tertinggi dibandingkan dengan indikator lain, yakni 7,92. Sementara indikator lain, partisipasi politik (6,11), budaya politik (5,63), dan kebebasan sipil (5,59).
Institusi negara, termasuk kepolisian, punya tanggung jawab untuk ikut merawat demokrasi. Punya upaya untuk mencegah terjadinya resesi demokrasi. Upaya dari mana pun, termasuk dari pendengung (buzzer), untuk membungkam kebebasan berekspresi bisa menciptakan persepsi buruk terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Pandemi sedang terjadi. Resesi ekonomi berada di depan mata. Jangan ditambah lagi dengan resesi demokrasi yang akan kian memperburuk citra bangsa. Hasil kajian Indeks Demokrasi dari The Economist ialah alarm terhadap demokrasi Indonesia. Tak perlu over sensitif atau over reaktif terhadap guyonan politik atau humor politik. Kita nikmati saja kritik dan humor politik untuk menjawab kewarasan politik di tengah pandemi.
Seseorang mengirim pesan kepada saya dalam bahasa Jawa, ”Urip wis angel, ojo ditambah angel.”