Normal Baru dan Revitalisasi Otda
Covid-19 telah mengingatkan kita untuk melakukan evaluasi atas konsep dan praktik pilkada langsung sehingga dapat bersinergi dengan rezim desentralisasi dan otonomi daerah.
Musibah Covid-19 menyodorkan pelajaran berharga bagi Indonesia lantaran ia telah menguji aktualisasi dari prinsip-prinsip relasi pusat-daerah dalam negara kesatuan.
Selain itu, Covid-19 sekaligus momentum melakukan revitalisasi otonomi daerah (otda) dalam memasuki fase normal baru. Sejatinya, perbedaan mendasar antara praktik desentralisasi pada negara federal dan negara kesatuan terletak pada prinsip pengaturan relasi kewenangan pusat-daerah.
Pada negara federal, pengaturan relasi kewenangan pusat-daerah didasarkan pada prinsip separation of power (pemisahan kekuasaan). Sementara pada negara kesatuan, bertumpu pada prinsip sharing of power (berbagi kekuasaan).
Relasi kewenangan pusat-derah dengan prinsip sharing of power tentunya tak dapat menerapkan model otonomi penuh sebagaimana di negara federal. Hal ini karena model otonomi yang dimiliki daerah sangat tergantung lingkup kewenangan sektoral yang didesentralisasikan pusat.
Jika kewenangan yang diserahkan ke unit-unit pemda sangat luas—yakni sebagian besar dari kewenangan sektoral di luar kewenangan pokok yang dimiliki pusat—otonomi yang dimiliki daerah adalah otonomi luas. Sebaliknya, jika kewenangan yang diserahkan hanya sebagian kecil dari kewenangan di luar kewenangan pokok dan sektoral pemerintah pusat, model otonomi yang dimiliki daerah otonomi terbatas.
Sementara jika daerah hanya diberi kewenangan luas dalam mengelola kewenangan sektoral tertentu dan/atau mengelola bagian dari kewenangan pokok pemerintah pusat yang sangat khusus sifatnya, model otda yang dimiliki adalah otonomi khusus.
Pada awal implementasi kebijakan ini, sejumlah pimpinan di daerah pun telah mengambil langkah cepat yang terkesan bersilang kebijakan dengan pusat.
Prinsip-prinsip dasar desentralisasi dan otda pada negara kesatuan secara eksplisit mengindikasikan, kalaupun pilkada langsung diselenggarakan, bukanlah sama sekali bertujuan mendorong pemda memiliki otonomi penuh, apalagi melahirkan ”raja kecil” di daerah.
Esensi pilkada langsung dalam perspektif desentralisasi politik, antara lain, adalah untuk menghasilkan pemimpin berkualitas, yang pada gilirannya akan menghadirkan pemerintahan yang akuntabel dan responsif terhadap tuntutan kepentingan masyarakat (Smith, 1985; Oyugi, 2000; dan Arghiros, 2001).
Covid-19 dan realitas relasi
Satu di antara langkah penting yang telah diambil Pemerintah Indonesia dalam upaya memutus mata rantai penyebaran Covid-19 adalah menerapkan kebijakan pembatasan sosial (social distancing). Pada awal implementasi kebijakan ini, sejumlah pimpinan di daerah pun telah mengambil langkah cepat yang terkesan bersilang kebijakan dengan pusat.
Gubernur Jawa Barat menyatakan wilayahnya dalam posisi siaga satu virus korona. Gubernur DKI menyatakan akan membentuk tim tanggap lintas satuan tugas pelaksana daerah guna memonitor potensi penularan virus korona. Wali Kota Depok, yang wilayahnya merupakan tempat tinggal dua pasien positif korona pertama di Indonesia, mengatakan akan membentuk tim khusus pemantau, pengawasan, dan penanganan virus korona.
Di tempat lain, sedikitnya lima pemerintah kota telah mengambil langkah lebih maju, memberlakukan lockdown atau karantina wilayah, yang semestinya jadi kewenangan pusat. Lima pemerintah kota itu Tegal, Bali, Papua, Maluku, dan Solo. Tegal mengoperasionalkan kebijakan lockdown dengan menutup jalan protokol dalam kota dan jalan penghubung antarkampung dengan beton jenis moveable concrete barrier.
Menyikapi kenyataan ini, Presiden Jokowi pada konferensi pers 31 Maret 2020 secara tegas meminta agar para kepala daerah tak membuat kebijakan sendiri-sendiri. Semua kebijakan di daerah harus sesuai peraturan serta berada dalam koridor UU, peraturan pemerintah, dan keppres (Kompas, 31/3/2020).
Menyimak dinamika di atas, saya sendiri lebih mengartikulasinya sebagai realitas kegamangan relasi pusat-daerah daripada menyebutnya sebagai silang kebijakan pusat-daerah. Dikatakan demikian karena kehadiran pandemi Covid-19 secara nyata telah menguji apakah prinsip-prinsip NKRI, terutama terkait relasi pusat-daerah, memang betul teraktualisasi dan dipatuhi dalam implementasi kebijakan penanggulangan wabah ini.
Namun, dalam menghadapi ujian ini terkesan sangat kuat, baik pemerintah pusat maupun daerah, berada dalam kegamangan.
Di sisi lain, pemerintah pusat sebagai pemilik kewenangan niscaya dituntut ketegasan dan kepastian dalam implementasi keputusan yang telah diambil.
Kegamangan yang telah memunculkan kesan tarik-tegang antara pemerintah pusat dan daerah ini seharusnya tak perlu terjadi jika prinsip-prinsip desentralisasi dalam negara kesatuan tadi teraktualisasikan dalam kenyataan. Jika pada kenyataannya pemda terkesan merasa memiliki otonomi penuh, inilah yang perlu dikoreksi untuk diluruskan.
Di sisi lain, pemerintah pusat sebagai pemilik kewenangan, niscaya dituntut ketegasan dan kepastian dalam implementasi keputusan yang telah diambil. Inilah sejatinya karakter dari strong state yang memang harus diperlihatkan pemerintah pusat dalam mengatasi kondisi genting wabah Covid-19 saat ini.
Momentum revitalisasi
Terlepas dari pro dan kontra dalam memaknai relasi pusat-daerah, terutama di awal ”musim Covid-19” di Tanah Air, paling tidak ada dua pelajaran penting yang dapat dipetik untuk perbaikan konsep dan implementasi kebijakan otda pada fase normal baru pasca-Covid-19.
Pertama, realitas ”kegamangan relasi pusat-daerah” dalam implementasi kebijakan penanganan Covid-19—yang dinarasikan sejumlah kalangan sebagai wujud silang kebijakan antara pusat dan daerah—dapat dimaknai sebagai indikasi belum teraktualisasinya prinsip-prinsip desentralisasi dalam negara kesatuan.
Jadi, sangat beralasan jika disarankan agar dalam waktu dekat dilakukan langkah-langkah konkret untuk merevitalisasi prinsip-prinsip relasi kewenangan pusat-daerah di Indonesia sehingga betul-betul sesuai dan sejalan dengan asas desentralisasi dalam negara kesatuan. Upaya revitalisasi tidak hanya diarahkan pada level implementasi kebijakan, tetapi juga pada tataran konseptual.
Kedua, realitas kegamangan relasi pusat-daerah dalam penanganan Covid-19, tak dapat dilepaskan dari adanya praktik pilkada langsung, di mana secara implisit telah mengondisikan pemda seakan memiliki otonomi penuh. Tendensi ini terjadi karena antara rezim desentralisasi dan rezim pilkada masih jalan sendiri-sendiri, belum terbangun suatu sinergi atas prinsip simbiosis mutualisme.
Covid-19 telah mengingatkan kita untuk melakukan evaluasi atas konsep dan praktik pilkada langsung sehingga dapat bersinergi dengan rezim desentralisasi dan otda.
(Syarif Hidayat, Peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Dosen Pascasarjana pada Universitas Nasional)