Polemik ekspor benih lobster perlu segera diselesaikan untuk menjaga keseimbangan antara kelestarian plasma nutfah lobster dan pemanfaatannya.
Oleh
Editor Kompas
·2 menit baca
Polemik ekspor benih lobster perlu segera diselesaikan untuk menjaga keseimbangan antara kelestarian plasma nutfah lobster dan pemanfaatannya.
Pemerintah memberi izin ekspor benih lobster kepada 18 perusahaan eksportir benih. Ekspor diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di Wilayah Indonesia yang ditetapkan pada 4 Mei 2020. Dua perusahaan melakukan ekspor ke Vietnam sebulan kemudian.
Presiden Joko Widodo sebenarnya telah menyatakan harus ada keseimbangan antara kepentingan nelayan, nelayan pembudidaya, negara melalui pendapatan hasil ekspor dan industri perikanan dalam negeri, serta kelestarian sumber daya hayati dan lingkungan (Kompas, 18/2/2019). Presiden menekankan agar mengoptimalkan perikanan budidaya.
Polemik ekspor benih lobster menyangkut adanya keinginan sebagian masyarakat agar benih lobster tidak ditangkap karena kita belum menguasai dengan baik teknologi budidaya (pembesaran) sehingga banyak benih mati. Permen KP No 56/2016 mengatur hal ini.
Pandangan lain berpendapat, benih lobster dapat ditangkap dalam jumlah dan di lokasi tertentu hanya untuk dibudidayakan di dalam negeri. Namun, ada yang menginginkan benih lobster dapat diekspor dan dibudidayakan di dalam negeri dengan syarat tertentu dan menyertakan petambak rakyat. Permen KP No 20/2020 mengatur hal terakhir ini.
Indonesia pernah menjadi produsen lobster budidaya terbesar dunia, yaitu 54,3 persen dari produksi dunia pada 2013. Larangan menangkap benih untuk budidaya dan ekspor pada 2016 membuat produksi Indonesia merosot menjadi 9,6 persen dan Vietnam menguasai 85,3 persen produksi dunia.
Ironisnya, di tengah larangan ekspor, terjadi ekspor ilegal, termasuk ke Vietnam yang sangat bergairah membudidayakan lobster, tetapi sumber daya benih lobsternya tak memadai.
Lobster adalah plasma nutfah yang menjadi keunggulan komparatif Indonesia sebagai negara tropis kepulauan dan bagian dari segitiga terumbu karang dunia.
Sikap Presiden selayaknya didukung penuh. Kementerian Kelautan dan Perikanan dapat memulai dengan menetapkan secara ilmiah berdasarkan riset, termasuk lapangan, potensi benih lobster yang berkesinambungan. Berdasarkan hasil riset, bukan berbasis asumsi potensi, ditentukan secara transparan dan terbuka apakah ekspor benih lobster layak dilakukan.
Kalaupun ekspor tetap dilakukan, kita harus memanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan nasional. Kita dapat ”memaksa” Vietnam yang unggul di budidaya dan logistik guna bekerja sama untuk alih teknologi, sumber daya manusia, dan mengembangkan pasar bersama. Apalagi, Vietnam mengandalkan 80 persen benih lobsternya dari Indonesia.
Harus ada ukuran jelas keberhasilan kerja sama, termasuk jangka waktu ekspor benih. Sebagian pendapatan ekspor harus dikembalikan untuk menjaga ekosistem lobster, meningkatkan kemampuan budidaya, dan pengawasan agar lobster menjadi keunggulan kompetitif Indonesia yang lestari.