Ciri utama dari babak baru drama Semenanjung Korea ialah Korut terus meningkatkan tekanan terhadap Korsel agar Washington mau mempertimbangkan pendekatan baru dalam negosiasi nuklir dengan Pyongyang.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Ketegangan yang kembali terjadi antara Korea Utara dan Korea Selatan tak mengejutkan. Hal ini merupakan konsekuensi dari negosiasi nuklir yang macet.
Tindakan rezim Pyongyang menghancurkan kantor perwakilan bersama Korut dan Korsel di Kaesong, wilayah perbatasan, membuat hubungan kedua negara kembali panas. Membaiknya relasi Pyongyang-Seoul sejak dua tahun lalu pupus begitu saja.
Dua tahun silam, tepatnya 27 April 2018, Presiden Korsel Moon Jae-in dan Pemimpin Korut Kim Jong Un bertemu di Panmunjom, sebuah desa di perbatasan kedua negara. Moon dan Kim ketika itu berkomitmen mewujudkan perdamaian antara Korut dan Korsel. Pertemuan mereka sangat istimewa dalam konteks sejarah hubungan kedua negara.
Korsel dan Korut sampai sekarang masih berstatus berperang karena Perang Korea yang melibatkan kedua negara memang belum berakhir, hanya berhenti sementara oleh gencatan senjata. Perdamaian sejati yang diikat dengan pakta perdamaian masih menjadi mimpi. Maka, tak berlebihan kalau ada yang melihat pertemuan bersejarah Moon dengan Kim bisa menjadi batu pijakan awal menuju pakta perdamaian.
Beberapa bulan sebelum pertemuan Moon-Kim, kontingen olahraga kedua negara juga sangat mesra dalam Olimpiade Musim Dingin di Pyeongchang, Korsel. Saat itu, Moon menyalami Kim Yo Jong, saudara perempuan Pemimpin Korut, yang ikut datang ke pembukaan Olimpiade.
Relasi yang membaik antara Korut dan Korsel pada dua tahun lalu menjadi prolog bagi pertemuan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Kim Jong Un di Singapura pada Juni 2018. Dalam pertemuan ini, Kim dan Trump pada intinya berkomitmen mewujudkan denuklirisasi.
Sayangnya, rencana denuklirisasi macet. AS menuntut Korut menghancurkan semua fasilitas nuklir sebelum sanksi dikurangi dan dicabut. Di sisi lain, Pyongyang merasa berhak atas pengurangan sanksi karena meski belum seluruhnya, setidaknya sebagian fasilitas nuklir telah dihancurkan. Pertemuan kedua mereka di Vietnam pada 2019 pun gagal menghasilkan kesepakatan akibat perbedaan pandangan tersebut.
AS menuntut Korut menghancurkan semua fasilitas nuklir sebelum sanksi dikurangi dan dicabut.
Bagi Kim, tujuan utamanya menjalani ”drama” sejak dua tahun lalu adalah pencabutan sanksi agar ekonomi negaranya meningkat. Hanya dengan pencabutan sanksi, maka perdagangan internasional dan investasi asing dapat dinikmati Korut dengan leluasa. Terwujudnya kesejahteraan membuat kekuasaan Kim semakin mendapat legitimasi.
Apa daya, sanksi atas Korut tak kunjung dicabut. Korsel yang merupakan sekutu dekat AS ternyata tak mampu merayu Washington. Drama Semenanjung Korea pun memasuki babak baru. Rasanya, ciri utama dari babak ini ialah Korut terus meningkatkan tekanan terhadap Korsel agar Washington mau mempertimbangkan pendekatan baru dalam negosiasi nuklir dengan Pyongyang.