Solusi apa pun terhadap tantangan kehidupan sosial ekonomi kulit hitam di AS akan sulit berhasil sepanjang itu tidak menyentuh perbaikan terhadap institusi yang paling fundamental di peradaban manusia, yakni keluarga.
Oleh
Elwin Tobing
·5 menit baca
Tenggelam dalam liputan media terhadap aksi riot dan protes atas meninggalnya George Floyd oleh aparat keamanan di Minnesota, Amerika Serikat (AS) adalah realitas kelam struktur keluarga kulit hitam AS. Terlepas apakah protes tersebut murni menentang rasisme atau berkedok politik, diperlukan niat obyektif untuk memahami realitas tersebut. Tanpa itu, upaya perbaikan sosial ekonomi yang dihadapi kulit hitam di AS sulit berhasil.
Dalam sejarah AS, penduduk kulit hitam pernah mengalami perbudakan dan diskriminasi struktural. Namun, tidak sedikit bangsa di dunia ini menderita sejarah kelam. Sejarah bisa menjadi pelajaran untuk maju. Sebaliknya, itu bisa jadi alasan mempertahankan status quo atau malah menciptakan kemunduran.
Itu tergantung bagaimana sikap generasi yang ada memahami tantangan jamannya serta politik dan kebijakan publik untuk memperbaikinya. Dalam konteks ini, kulit hitam di AS seperti berada dalam tali temali benang kusut.
Runtuhnya Struktur Keluarga
Menurut Biro Sensus AS, pada tahun 2018, median pendapatan keluarga kulit hitam di AS sekitar 41.000 dollar AS per tahun, jauh lebih rendah dari median pendapatan nasional (63.000 dollar AS) dan ras Asia (87.000 dollar AS). Ketimpangan pendapatan ini sering digunakan sebagai dasar argumen bahwa praktik rasisme dan diskriminasi struktural terhadap kulit hitam masih berkembang di AS.
Namun, pendapatan keluarga adalah resultan dari berbagai faktor, termasuk modal manusia, modal sosial, dan stabilitas kehidupan keluarga. Yang terakhir bisa sangat menentukan. Dan justru di sinilah terletak tantangan fundamental kulit hitam AS. Keluarga yang pecah.
Pada tahun 2004, sekitar 56 persen anak-anak kulit hitam hidup dengan keluarga satu orang tua (umumnya dengan ibu). Angka tersebut jauh lebih besar dibanding kulit putih (22 persen) dan etnis Latin (31 persen). Sementara pada tahun 2015, 77 persen bayi kulit hitam lahir dalam keluarga dengan single ibu. Tidak ada ayah.
Mengapa hal itu terjadi? Faktor utamanya adalah perceraian. Pada 2018, wanita kulit hitam mengalami perceraian tertinggi di AS (31 persen), dibandingkan kulit putih (15 persen), Latin (19 persen), dan Asia (8 persen). Berdasarkan penelitian Cohen, dkk. (2012), dalam rentang 20 tahun setelah menikah, sekitar 63 persen pernikahan wanita kulit hitam berakhir dengan perceraian, jauh lebih tinggi dibanding wanita kulit putih (46 persen), Latin (47 persen), dan Asia (31 persen).
Dari data Survei Komunitas Amerika (2018), wanita kulit hitam satu-satunya ras di AS yang memiliki tingkat perceraian yang lebih tinggi daripada tingkat pernikahan. Tingkat perceraian wanita usia 15 tahun ke atas sekitar 31 dari 1000 pernikahan, sementara tingkat pernikahan hanya 17 dari 1.000 wanita yang belum menikah. Secara keseluruhan, wanita kulit hitam menikah terlambat, berpeluang lebih tinggi untuk cerai, dan memiliki rentang pernikahan yang lebih pendek.
Kehidupan keluarga tanpa ayah ini berdampak pada kehidupan ekonomi dan sosial pada generasi berikutnya. Dibandingkan anak yang dibesarkan dalam keluarga dengan dua orang tua, anak yang hidup dalam keluarga dengan single ibu berpotensi: pertama, lima kali lebih besar peluangnya hidup dalam kemiskinan (Ron Haskins, 2015); kedua, lebih tinggi tingkat kehamilan pada usia remaja.
Ini menjelaskan mengapa tingkat kehamilan wanita remaja kulit hitam dua kali angka nasional. Pada periode 1990-2010, sekitar 160 dari 1.000 remaja wanita kulit hitam mengalami kehamilan, cukup tinggi dibandingkan 77 untuk kulit putih dan 86 angka nasional.
Ketiga, tiga kali berpeluang masuk penjara sebelum usia 30 tahun (Harper dan McLanahan, 2004). Menurut data Biro Keadilan Federal AS, pada 2017, 1 dari 42 laki-laki kulit hitam berada di penjara federal, jauh dibandingkan kulit putih (1 dari 252) dan etnis Latin (1 dari 95).
Tidak heran apabila C Eric Lincoln, cendekiawan dan penulis Amerika berkulit hitam, mengatakan bahwa ”penyakit abadi” keluarga kulit hitam AS adalah ayah yang absen dari struktur keluarga mereka. Eric Lincoln sendiri dibesarkan neneknya karena ditinggalkan ayahnya dan diabaikan ibunya waktu kecil.
Realitas kelam struktur keluarga kulit hitam ini bukan hal baru. Senator Daniel Patrick Moynihan, yang menerbitkan laporannya pada tahun 1965 ketika dia masih asisten menteri tenaga kerja AS menyimpulkan, ”Di jantung kemunduran masyarakat kulit hitam adalah kehidupan keluarga yang berantakan. Struktur kehidupan keluarga dalam komunitas kulit hitam merupakan fenomena sebab-akibat yang kusut, yang terus akan berlanjut tanpa intervensi eksternal.”
Moynihan kemudian merekomendasikan kepada Presiden Lyndon Johnson untuk mengembangkan program penciptaan lapangan kerja, pelatihan vokasi, dan program pendidikan untuk komunitas kulit hitam. Ini salah satu bagian daripada program besar pemerintahan Lyndon Johnson pertengahan 1960-an yang dikenal dengan ”Perang terhadap kemiskinan”.
Tidak heran apabila C Eric Lincoln, cendekiawan dan penulis Amerika berkulit hitam, mengatakan, ”penyakit abadi” keluarga kulit hitam AS adalah ayah yang absen dari struktur keluarga mereka.
Politik ketergantungan
Politik dan bantuan pemerintah bisa jadi solusi masalah sosial ekonomi, tetapi bisa juga jadi jebakan. Itu bisa menciptakan ketergantungan tanpa akhir.
Salah satu platform utama Partai Demokrat di AS adalah peningkatan dan perluasan program bantuan kepada keluarga marginal, terutama kulit hitam. Tidak heran apabila dalam beberapa dekade terakhir sekitar 90 persen pemilih kulit hitam adalah pemilih setia Partai Demokrat. Ini menjadi semacam hubungan patron dan klien.
Thomas Sowell, ekonom dan penulis berpengaruh kulit hitam AS, sudah mengkritik bahwa program bantuan pemerintah sudah berubah dari ”penyelamatan darurat menjadi jalan hidup”. Cendekiawan Shelby Steele, juga berkulit hitam, menekankan agar generasi penerus kulit hitam membuang budaya ”hak dan keluhan” (entitlement and grievance) dan mengambil tanggung jawab untuk kemajuan diri mereka sendiri.
Masalah sosial ekonomi suatu masyarakat kerap di mulai dari keluarga. Karena itu, awal solusinya juga di mulai dari keluarga. Tidak sedikit peneliti sosial memberikan contoh bagaimana kohesi dan pendidikan keluarga ras Asia di AS, yang umumnya adalah imigran, berkontribusi positif terhadap kemajuan pendidikan, ekonomi, dan sosial generasi mereka berikutnya.
Masalah sosial ekonomi suatu masyarakat kerap di mulai dari keluarga.
Betul ada anasir aparat kepolisian yang bertindak berlebihan terhadap warga kulit hitam di AS. Juga betul bahwa politik dan kebijakan publik bisa membantu kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Namun, solusi apa pun terhadap tantangan kehidupan sosial ekonomi kulit hitam di AS akan sulit berhasil sepanjang itu tidak menyentuh perbaikan terhadap institusi yang paling fundamental di peradaban manusia, yakni keluarga. Seperti kata Senator Daniel Moynihan, itu akan terus menciptakan ”patologi yang tali-temali”.
(Elwin Tobing, Ekonom dan Presiden INADATA Consulting, LLC., Irvine, California)