Merawat Motivasi Siswa Saat Pembelajaran Daring
Pembelajaran secara dalam jaringan membuat para siswa bosan dan kehilangan motivasi. Para kepala sekolah harus kreatif dalam memahami kondisi para siswa dan mencari solusinya.
Aku bosan sekolah online ngga ada teman, jadi nya pun bosan.
Ngga dapat uang jajan, ngga ada pemasukan,
pengennya jalan jalan sama teman-teman.
Hingga, kejamnya waktu yang membuatku, rebahan melulu
Sambil ngerjain tugas, walaupun otak panas, gurunya selalu ngegas
Gara-gara Corona.
Syair lagu yang dinyanyikan seorang siswa dengan iringan ukulele yang di unggah di Youtube, https://youtu.be/SDVsBqkT2eo, tampak mewakili suasana hati para siswa SD, SMP, SMA, dan SMK yang jengkel dengan sistem sekolah daring (dalam jaringan) yang diterapkan semasa pandemik Covid-19. Mereka jengkel karena kebutuhan sosial mereka mendadak terbendung.
”Sampai minggu kedua sekolah daring, mereka justru senang karena bebas dari segala aturan di sekolah, dan libur. Namun, pada minggu keempat, baru mereka menyadari, kebutuhan sosial mereka terhambat, terbendung,” tutur Hari Utomo, seorang pemilik dan pengelola home schooling, Jumat (12/6/2020). Saat ini, ia mendidik 17 siswa; dua siswa SMA, tujuh siswa SMP, dan selebihnya siswa SD. Sejak Maret, homeschooling-nya menerapkan sekolah daring.
Baca juga : Tatanan Baru Dompet
Di awal sekolah daring, para siswanya tidak mengalami kesulitan. ”Paling keluhan mereka tubuh bertambah tambun karena makan tidur, makan tidur. Selebihnya mereka mengerjakan tugas-tugas sekolah, lalu main games,” ujar Hari. Perubahan sistem dari tatap muka ke sistem daring pun sangat kecil pengaruhnya terhadap prestasi akademik mereka meski para siswa mengakui, kian lama, sekolah daring kian menjenuhkan. Anak didik Hari merasa lebih senang sekolah bertatap muka, terutama saat menyampaikan esai mata pelajaran dan diskusi kelompok.
Kejenuhan para siswa karena sekolah dengan sistem daring ini juga diakui mantan Kepala Sekolah BPK Penabur, Tasikmalaya, Jawa Barat, yang kini menjadi guru Bahasa Indonesia, Slamet Widodo.
”Tidak ada persoalan dengan jaringan internet. Mereka bisa memanfaatkan Zoom, Google Class Room. Ada guru yang merekam video, kemudian video mata pelajaran yang diajarkan, disampaikan lewat Whatsapp, atau memakai Power Point. Awalnya, sekitar 95 persen siswa masih mengerjakan tugas- tugas sekolah, ulangan, dan ujian,” ujar Slamet, Kamis (11/6/2020).
Baca juga : Mengubur Zaman Lama, Menanti Zaman Normal
Namun, mulai awal Juni 2020, kejenuhan para siswa mulai berdampak. ”Murid mulai terlambat menyerahkan tugas-tugas sekolah mereka. Prestasi akademik mereka menurun. Nilai paling tinggi yang dicapai siswa selama sekolah daring adalah 85 dan nilai terendah 58. Saat sekolah tatap muka, nilai tertinggi siswa 90 dan nilai terendah mereka 65,” kata Slamet.
Selama sekolah daring, saat ulangan atau ujian, para siswa terpaksa disodori soal berpilihan ganda. ”Saya prihatin. Buat saya, pilihan ganda itu tidak membuat siswa menjadi cerdas. Peluang berspekulasi dalam menjawab soal pun besar. Para siswa tidak leluasa mengembangkan gagasan yang ada dalam pikiran mereka. Guru pun tidak mampu mengukur kemampuan siswa dengan lebih akurat,” ucap Slamet.
Beban keluarga miskin
Bagi para siswa dari keluarga miskin, perubahan sistem dari sekolah tatap muka ke sistem daring sangat terasa. ”Ada siswa yang tidak mampu membeli kuota dan harus mencari masjid yang ber-Wi-Fi agar bisa mengikuti kegiatan sekolah,” ungkap Christina Atik Yulianti, guru Bimbingan Konseling SMK Negeri 1, Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (13/6/2020). Sebagian siswa lainnya, karena impitan kemiskinan keluarga mereka, memilih tidak mengikuti pelajaran. ”Jumlahnya mencapai sekitar 30 persen dari total siswa kami,” kata Atik.
Untuk mengejar respons para murid, para guru bisa menunggu sampai dua pekan. ”Para siswa membaca pesan gurunya, tetapi cuma dibaca, tidak ditanggapi. Berbeda jika menghadapi ujian. Guru cukup mengingatkan, tidak perlu mengejar-ngejar siswa agar belajar,” ucap Atik.
Baca juga : Pandemi Memproduksi Narasi
Selama sekolah daring, keterampilan siswa pun merosot karena praktik bengkel tidak dilakukan selama empat bulan. Kalangan siswa kurang tertarik dengan video praktik bengkel yang disampaikan.
”Mereka lebih senang jika memegang alat, perangkat, dan mesin. Itu akan membuat mereka lebih cepat menguasai obyek dalam praktik bengkel,” papar Atik. SMK Negeri 1 memiliki jurusan teknik industri, teknik kendaraan ringan, teknik mesin, broadcasting, teknik listrik industri, dan teknik otomasi industri.
Untuk mengurangi beban para siswa, SMK Negeri 1 Semarang memberikan kuota senilai Rp 50.000, gratis, kepada para siswa dua kali sebulan. Hasilnya, perbaikan semangat dan prestasi sekolah siswa mencapai 80 persen. ”Namun, prestasi akademik siswa merosot sampai 50 persen selama sekolah daring,” kata Atik.
Hal itu terjadi karena ada beban lain yang harus ditanggung siswa, yaitu ekonomi rumah tangga yang semakin memburuk karena orangtua kehilangan pekerjaan. Baik karena diberhentikan oleh perusahaan maupun karena mereka tidak bisa berdagang lagi di pasar.
Baca juga : Makanan yang Aman pada Era Covid-19
Sebagian orangtua yang kehilangan pekerjaan melihat anaknya di rumah mengikuti sekolah daring, lalu meminta anaknya membantu orangtua berjualan keliling.
”Ada orangtua yang meminta siswi saya menjaga adiknya, dan melakukan semua pekerjaan rumah tangga, sementara orangtuanya bekerja paruh waktu mencuci dan menyetrika di beberapa rumah tangga,” ungkap Atik. Ia bangga, meski didera kemiskinan dan badai Covid-19, SMK Negeri 1 Semarang masih menjadi satu dari tiga SMK favorit di Semarang.
Kombinasi
Untuk mengurangi kejenuhan dan merawat motivasi siswa, Slamet mengusulkan sebaiknya dibuat kombinasi antara sekolah tatap muka dan sekolah daring. Sekolah tatap muka diatur dengan membagi kelompok siswa dalam kelompok yang lebih kecil. Kelompok kecil siswa ini hadir bergantian dengan kelompok kecil siswa sekelas lainnya. Satu kelas yang terdiri dari 30 siswa, misalnya, dikelompokkan menjadi tiga kelompok beranggota 10 siswa. Masing-masing 10 siswa dijadwalkan sekolah tatap muka bergantian, pada hari yang berbeda.
Hal serupa bisa diterapkan pada kegiatan praktik bengkel sekolah. Siswa yang mengikuti praktik bengkel dibuat dalam jumlah kecil. Siswa sekelas lainnya mengikuti kegiatan rekan mereka yang mendapat giliran praktik bengkel melalui daring.
Baca juga : Nilai Penting Sentuhan
Pengamat pendidikan, anggota Badan Akreditasi Nasional untuk sekolah dan madrasah, Itje Chodijah, memuji gagasan tersebut. ”Usulan ini menjadi cara merawat motivasi siswa, sekaligus memenuhi kebutuhan sosial siswa,” kata Itje, Minggu (14/6/2020).
Usulan sekolah kombinasi tersebut, lanjut Itje, juga meringankan beban para siswa dari kalangan keluarga miskin, terutama menyangkut biaya kuota, ketersediaan jaringan internet, terutama bagi para siswa di pelosok terpencil, serta kepemilikan telepon genggam.
Gagasan ini bisa dilengkapi dengan gagasan Itje, mengurangi materi pelajaran saat sekolah daring. Sebagai contoh, jika sebelumnya dalam seminggu ada 10 mata pelajaran yang diikuti siswa, diubah menjadi dua pekan 10 mata pelajaran. Di sisi lain, sentuhan personal guru kepada siswa ditingkatkan.
”Tujuannya mengurangi kejenuhan yang menjadi sumber merosotnya motivasi belajar siswa. Selain itu, kepala sekolah berperan penting dalam membuat program kombinasi sekolah tatap muka dengan sekolah daring. Kepala sekolah harus kreatif. Ia harus mengerti kondisi sekolah yang dipimpinnya. Apakah itu menyangkut jumlah dan kualitas siswa dan gurunya, fasilitas fisik dan sistem di sekolah, serta sejumlah keterbatasan yang dihadapi sekolahnya,” tutur Itje.
Kementerian dan dinas juga harus kreatif membangun sistem alternatif berbasis kreativitas para kepala sekolah. ”Dengan demikian, bisa terbangun pengelolaan sekolah yang efektif selama pandemik Covid-19,” ujar Itje.
Psikolog yang juga Ketua Asosiasi Psikolog Forensik Indonesia Reni Kusumowardhani, yang dihubungi secara terpisah, membenarkan kejenuhan membuat lemah, bahkan merusak motivasi seseorang. ”Orang menjadi tidak bisa konsentrasi, gelisah, dan berpeluang bertindak kontraproduktif,” kata Reni.
Seseorang bisa keluar dari kejenuhan jika ia keluar dari rutinitas dan memenuhi kebutuhan sosialnya. ”Rutinitas ini menyangkut beban kegiatan dan pengulangan kegiatan yang sering berlangsung, serta dalam waktu lama,” kata Reni.
(Windoro Adi, Wartawan Kompas 1991-2019)