Elektabilitas Parpol
Rilis hasil survei Indikator Politik Indonesia menggambarkan stagnasi elektabilitas partai di satu sisi dan penurunan suara partai di sisi yang lain. Ektabilitas mayoritas parpol mengalami penurunan, bahkan terjun bebas.
Rilis hasil survei Indikator Politik Indonesia menggambarkan stagnasi elektabilitas partai di satu sisi dan penurunan suara partai di sisi yang lain. Survei yang dilakukan 16-18 Mei 2020 ini menunjukkan elektabilitas mayoritas parpol mengalami penurunan, bahkan PDI-P berpotensi terjun bebas jika dibandingkan dengan hasil survei pada Februari 2020.
Peta dukungan politik terhadap parpol hasil survei sejak tumbuhnya lembaga-lembaga survei di Indonesia memang hasilnya tidak ”seakurat” dalam memetakan calon presiden/wakil presiden. Terdapat rentang yang lebar (range) antara hasil survei dan suara yang diperoleh oleh partai-partai politik dalam pemilu.
Agak berbeda dengan tingkat ”akurasi” elektabilitas calon presiden/wakil presiden yang hampir mendekati hasil pemilu presiden. Sebagai contoh, pada 2019, sejumlah lembaga survei memprediksi Partai Persatuan Pembangunan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, dan Partai Kebangkitan Bangsa suaranya tidak melampui ambang batas parlemen (4 persen) atau akan terjun bebas.
Baca juga : Desain Pilkada Era Normal Baru
Akibatnya, hasil survei sering ditanggapi minor oleh partai-partai yang dianggap mengalami penurunan suara dan stagnasi elektoral. Padahal, survei semacam ini bermanfaat karena bisa memberi peringatan awal bagi organisasi partai agar berbenah dan memperbaiki kinerja politiknya.
Volatilitas dan ideologi
Perdebatan tingkat presisi hasil survei elektabilitas partai salah satunya disebabkan oleh faktor volatilitas pemilihan umum. Volatilitas pemilu adalah sebuah alat ukur yang dapat digunakan untuk mendeteksi perubahan kekuatan parpol melalui perolehan suara pemilih di antara dua pemilihan secara berturut-turut.
Hasil kajian saya menunjukkan, volatilitas pemilu di Indonesia masih sangat tinggi, antara 26,1 persen dan 39,05 persen. Volatilitas tertinggi terjadi antara Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 (39,05 persen). Sementara pada Pemilu 2019 (antara Pemilu 2014 dan 2019), tergolong rendah ketimbang volatilitas pemilu-pemilu lainnya, yakni 26,1 persen.
Data di atas mengonfirmasi pola perubahan pemilih dalam memilih partai dari pemilu ke pemilu pada era Reformasi dengan tingkat rata-rata volatilitas yang masih tinggi, di atas 25 persen. Makna volatilitas ini menunjukkan, pertama, tingkat pelembagaan partai politik, di mana parpol yang terlembaga—salah satunya dipengaruhi oleh faktor usia organisasi akan menentukan stabilitas perolehan suara pada setiap pemilu, sementara parpol yang kurang terlembaga relatif akan mengalami fluktuasi suara dari satu pemilu ke pemilu berikutnya.
Baca juga : Pandemi dan Ketahanan Politik
Sejak Pemilu 2009, tingkat stabilitas parpol yang cukup bagus dari sisi volatilitas elektoralnya adalah PDI-P, PKB, Gerindra, PKS, dan Nasdem. Sisanya, seperti Golkar, Demokrat, PPP, dan PAN, masih mengalami fluktuasi perolehan suara yang kurang menentu. Pada kasus Demokrat, tingkat volatilitasnya yang paling ekstrem di antara partai-partai lain, khususnya sejak Pemilu 2014.
Kedua, naik-turunnya suara partai pada pemilu menunjukkan ketidakajekan perilaku pemilih. Dalam istilah yang populer, disebut pemilih mengambang (swing voter). Hal ini sebagai dampak dari basis politik partai yang dibangun di Indonesia masih terkerangkeng oleh mazhab Columbia yang dikenal sebagai model sosiologi. Perilaku pemilih dipengaruhi kelompok sosialnya, baik karena faktor sosiologis, demografi, maupun identitas (agama dan lain-lain).
Pengaruh faktor sosiologis ini cenderung rapuh karena pemilih yang didasarkan pada keyakinan ideologis simbolik karena faktor kedekatan sosial terhadap partai tidak diimbangi oleh preferensi politik yang baik. Pemilih mengambang bisa dianggap sebagai pemilu rasional, tetapi fenomena ikut-ikutan memilih bisa menjadi faktor yang menyebabkan volatilitas antarpemilu di Indonesia masih tinggi.
Pemilih cenderung mendekat ke partai yang berpotensi menjadi penguasa.
Gejala tipologi perilaku pemilih seperti itu sudah mulai kelihatan walaupun agak samar-samar. Perilaku pemilih pada Pemilu 2004 dan Pemilu 2009 hampir mirip polanya dengan yang terjadi pada Pemilu 2014 dan 2019, di mana pemilih cenderung mendekat ke partai yang berpotensi menjadi penguasa.
Sebaliknya, pascapartai memerintah ada gejala suara partai mengalami penurunan, bahkan stagnasi, seperti yang terjadi pada Demokrat dan sebagian gejala awal terjadi pada PDI-P, seperti yang disinggung dari hasil survei di atas, ataupun kenyataan elektoral di beberapa pilkada serentak sejak 2017-2018 hingga Pemilu 2019 yang menunjukkan mulai berkurangnya suara hasil pemilu PDI-P.
Baca juga : Partisipasi Pemilih di Pilkada 2020 Jadi Perhatian KPU
Ketiga, ada persoalan jarak ideologi partai yang semakin memudar. Party ID tidak berkembang dengan baik karena partai-partai politik lebih mengembangkan tipe catch all party ketimbang partai yang berbasis ideologi dan identitas yang rigid. Akibatnya, pemilih menjadi ”kebingungan” dalam menentukan partai karena fenomena ideologi yang longgar sehingga tidak tampak ada perbedaan yang menonjol antara satu partai dan partai lainnya.
Tak heran kemudian terjadi pemilih mengambang yang pilihannya bisa pindah dari satu pemilu ke pemilu lainnya. Kondisi ini pula yang menyebabkan setiap lima tahun pemilu ada kemunculan partai-partai baru.
Kehadiran partai baru sebagai dampak dari longgarnya volatilitas hasil pemilu mendorong beberapa pihak mencoba keberuntungan untuk menarik pemilih yang ingin berpindah pilihan politik. Hampir persis, fenomena pemilih yang belum menentukan pilihannya (undecided voters), seperti hasil survei Indikator Politik di atas, adalah wajar karena pemilu masih empat tahun lagi.
Baca juga : Hadar: Kualitas Pemilihan Jangan Diobral
Kinerja elektoral
Tantangan stabilitas/labilitas suara partai politik pada setiap pemilu juga tergantung dari kesiapan kinerja elektoral partai. Terdapat sejumlah aspek yang menandai stabilitas/labilitas elektoral partai pada pemilu, antara lain, pertama, soliditas internal partai. Partai yang mengalami konflik atau faksi (pertentangan) internal partai yang berkepanjangan umumnya perolehan suara pemilunya menurun.
Kasus penurunan suara PKB pada Pemilu 2004 dan Pemilu 2009, serta suara Golkar pada beberapa pemilu akibat faksi internal, berdampak pada lahirnya partai-partai baru menyebabkan tergerusnya dukungan suara Partai Golkar. Hal yang hampir sama terjadi pada PPP ketika dilanda konflik internal yang berkepanjangan.
Konflik internal partai menyebabkan sejumlah kader terbaiknya yang memiliki potensi sebagai pengepul suara (vote getter) berpindah ke partai lain. Fenomena seperti itu tidak hanya terjadi pada elite dan/atau kader partai di tingkat nasional, tetapi juga terjadi di sejumlah daerah.
Akibat perpindahan kader partai karena faksi yang tajam, mereka membawa gerbong dukungannya kepada partai lain yang menampungnya. Dalam konteks ini, loyalitas dan kohesivitas kader jadi tantangan bagi partai yang mengalami faksi yang terlalu tajam dalam mengelola organisasi partai.
Dalam konteks ini, loyalitas dan kohesivitas kader jadi tantangan bagi partai yang mengalami faksi yang terlalu tajam dalam mengelola organisasi partai.
Kedua, sebagai dampak dari persoalan integritas elite partai akibat terperangkap oleh kasus korupsi. Turunnya suara PKS, Demokrat, dan PPP pada Pemilu 2014, serta stagnasi suara Golkar pada Pemilu 2019 akibat elite politiknya terseret kasus korupsi merupakan contoh perpindahan pemilih akibat kondisi yang sedang dihadapi oleh partai politik.
Sebagian pemilih berperilaku rasional dalam memahami perkembangan partai yang awalnya mereka dukung. Namun, akibat kasus-kasus tertentu, beberapa pemilihnya memindahkan dukungan kepada partai yang masih dianggap dapat dipercaya.
Secara garis besar, volatilitas pemilu yang dihadapi oleh partai politik dari kajian Sergiu Gherghina terhadap perkembangan elektoral partai politik di Eropa Barat dan Eropa Tengah menunjukkan hal yang hampir mirip, dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal sebenarnya berkaitan dengan organisasi partai politik dan faktor eksternal berkaitan dengan volatilitas sistem kepartaian.
Gherghina juga menyebutkan bahwa organisasi partai dapat mengurangi atau menambah volatilitas partai pada pemilu. Studi yang dilakukan oleh Barelson et al, 1954; Easton, 1957, misalnya, menyebut sejauh mana partai politik dapat menyederhanakan pilihan-pilihan sehingga menghasilkan simbol identitas dan loyalitas.
Faktor internal sebenarnya berkaitan dengan organisasi partai politik dan faktor eksternal berkaitan dengan volatilitas sistem kepartaian.
Dari pilihan-pilihan ideologi dan loyalitas tersebut, mana yang lebih dekat dengan pemilih atau basis pendukungnya. Neumann, 1956; Key, 1964; Borre dan Katz, 1973; Rosenstone dan Hansen, 1993; Dalton dan Wattenberg, 2000a) juga pernah melakukan studi yang menyebut bahwa kesinambungan partai politik dalam pemilu dapat terjadi apabila partai-partai dapat menciptakan sebuah rantai komunikasi dengan warga.
Moch Nurhasim
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik-LIPI