Menurut sinolog Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Hermina Sutami, di Palembang orang menyebut penganan yang biasa disebut bakso dengan bakwan. Juga di Bali. Triadnyani, dosen di Fakultas Ilmu Budaya Udayana, menyatakan, di Bali tak dikenal bakso, melainkan bakwan.
Secara etimologis memang kata bakwan lebih tepat daripada bakso. Bahkan, di Beijing dan Fujian, daerah leluhur bakso, tak dikenal makanan bakso. Penduduk Beijing dan Fujian, sama dengan orang Palembang dan Bali, menamai penganan yang sangat populer di Indonesia ini dengan bakwan.
Bahkan, di Beijing dan Fujian, daerah leluhur bakso, tak dikenal makanan bakso.
Bakwan dan bakso serapan dari bahasa Hokkian. Seturut dengan Hermina Sutami dan R Assa, bakso terdiri atas dua suku kata, yang sekaligus morfem (karena bahasa morfemis), yakni ba ’daging’ dan so ’mudah hancur dan tidak padat’. Jadi, makna bakso lebih tepat daging yang mudah hancur.
Sementara kata bakwan (Hokkian) atau rouwan (Mandarin) juga terdiri atas dua suku kata: bak ’daging’ dan wan ’bulatan/bola kecil’. Jadi, yang pas dengan bentuknya adalah bakwan, sesuai dengan realitasnya atau ikonis: daging berbentuk bulatan kecil.
Kesalahkaprahan bakso disebabkan bunyi [o] yang dalam bahasa Indonesia sudah ikonis mewakili sesuatu yang bulat seperti bola, sementara bunyi [a] merujuk yang terbuka dan rata, seperti dalam kata nganga.
Keikonisan itu ada dalam pola kognisi penutur bahasa Indonesia. Salah kaprah pemaknaan pedestrian, acuh, dan nuansa juga terjadi karena faktor ini. Pe-an dalam pedestrian sangat dekat dengan pola per-an yang menyatakan tempat, seperti dalam perkotaan, permakaman, dan perkantoran. Akibatnya, pedestrian dimaknai sebagian besar penutur bahasa dengan trotoar, bukan pejalan kaki.
Dalam bahasa Sunda, yang bersifat fonemis, penamaan jajanan memperlihatkan kesejajaran dengan penamaan makanan di bahasa China utara dan selatan, yakni terdiri atas beberapa suku kata bermakna. Misalnya, dikenal dalam bahasa Hokkian: bakpia (bak ’daging’, pia ’kue’), bakpao (pao ’bulatan terigu’), dan cakue (ca ’goreng’, kue ’kue’).
Di sisi lain, dalam makanan atau jajanan di tanah Sunda, terdapat nama comro (oncom di jero; di jero ’di dalam’), misro (amis ’manis’), dan cireng (aci digoreng).
Tampak baik dalam konteks bahasa Sunda dan Indonesia maupun dalam bahasa Hokkian tanda bahasa atau nama makanan bersifat ikonis, sesuai dengan realitas yang diwakilinya. Susunannya sesuai dengan sistem struktur bahasa masing-masing, MD dan DM.
Bahasa Hokkian menerangkan di muka yang diterangkan, misalnya, bakpia (pia yang berisi daging), sedangkan dalam bahasa Sunda dan Indonesia yang diterangkan di muka yang menerangkan: comro (oncom di jero).
Dalam bahasa Hokkian, suku kata juga merupakan morfem karena bahasa morfemis; dalam bahasa Sunda dan Indonesia karena bersifat fonemis, suku kata tidak bermakna leksikal. Sebab itu, dengan kreativitasnya, penutur bahasa Sunda menggunakan akronim. Ini membuat suku kata bermakna karena merujuk kata yang dipenggal, misalnya, comro terdiri atas suku kata com dari oncom dan ro dari di jero, yang bermakna oncom yang di dalam.
Tampak bahwa ada kesejajaran penamaan makanan dalam bahasa Hokkian dan bahasa Sunda/Indonesia: memakai suku kata yang bermakna dan ikonis.
Yanwardi
Sarjana Bahasa Indonesia