Usaha Mikro di Tengah Pandemi
Program-program bantuan bagi usaha mikro tidak hanya membantu pedagang kecil yang turun omzet mereka di masa pandemi tetapi juga sebagai upaya transformasi struktur ekonomi nasional menuju ekonomi kerakyatan.
Tukiran, pedagang gorengan di sekitar Tugu Proklamasi, Jakarta, terpaksa menggadaikan perhiasan istri untuk menutupi kebutuhan hidup selama masa pandemi. Omzetnya turun 70 persen per hari, sementara dia harus menanggung biaya hidup sehari-hari yang tak berubah. Ia juga bingung bayar kontrakan dan persiapan dana anak paling kecil masuk sekolah. Bantuan sosial pemerintah tak mencukupi biaya hidupnya sehari-hari.
Usaha mikro nasional belakangan ini benar-benar dapat ujian berat. Para pelaku di sektor makanan-minuman, misalnya, mengandalkan kerumunan pengunjung, tak cukup dengan penjualan secara take away, delivery, dan aplikasi daring.
Usaha mikro adalah tulang punggung perekonomian nasional. Bersama UKM, kontribusinya terhadap PDB nasional sekitar 60 persen dan menyerap 97 persen tenaga kerja nasional.
Omzet usaha mikro per hari, menurut Kementerian Koperasi UMKM (2020), sekitar Rp 230.000. Jika margin sekitar 20 persen, penghasilan mereka hanya sekitar Rp 42.000 per hari. Jumlah pelaku usaha mikro sekitar 62 juta, 98 persen dari seluruh pelaku usaha nasional.
Dalam situasi pandemi, menurut data Permodalan Nasional Madani per Maret 2020, usaha mikro yang mengandalkan aktivitasnya pada pembiayaan dari lembaga jasa keuangan hanya sekitar 70 persen yang dapat membayar cicilan kreditnya karena usahanya terdampak Covid-19. Survei sederhana oleh produsen tepung terigu nasional kian membuktikan usaha mikro sedang terpuruk.
Survei terhadap 202 pelaku usaha bakeri, biskuit, cake, jajanan pasar, mi, pancake, dan pastri di Surabaya dan Jakarta menunjukkan, sekitar 94 persen terdampak Covid-19.. Tiga penyebab penurunan belanja atau omzet adalah pengunjung outlet berkurang (50 persen), penjaja berkurang (27 persen), dan pengambilan produk atau reseller berkurang (23 persen).
Meski di antara mereka berjualan melalui kanal daring, sebanyak 79 persen mengaku omzet tetap turun, hanya 14 persen naik. Hanya sebagian kecil, 35 persen, berjualan secara daring, kebanyakan masih berjualan di outlet atau toko luring (offline).
Hasil survei ini sejalan dengan temuan SMRC yang menyatakan kondisi ekonomi yang memburuk di tingkat rumah tangga dirasakan oleh 79 persen dan di tingkat nasional oleh 84 persen warga di seluruh Tanah Air. Atas dasar itu, semakin lama pandemi berlangsung, semakin banyak pelaku usaha mikro menutup usaha dan merumahkan pekerja, akan berpengaruh terhadap bertambahnya kemiskinan. Lembaga riset Smeru (2020) memperkirakan penambahan jumlah orang miskin 1,3 juta-8,45 juta akibat Covid-19. Pertumbuhan ekonomi juga turun ke kisaran 4,2 persen hingga 1 persen tahun ini.
Kerentanan usaha mikro dan kecil, yang meningkat saat pandemi, menjadi perhatian Presiden Joko Widodo. Pada rapat terbatas 15 April tentang Program Mitigasi Dampak Covid-19 terhadap Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, Presiden memberi arahan agar program-program bantuan dan mitigasi yang telah direncanakan untuk usaha mikro segara dilaksanakan secepatnya. ”Jangan menunggu sampai mereka tutup, baru bergerak. Jangan sampai terlambat,” ujarnya.
Presiden menegaskan keberpihakannya untuk melindungi usaha rakyat, terutama kelompok mikro dan kecil (UMK), dalam penanganan Covid-19 di luar sektor kesehatan karena di sektor itulah sebagian besar rakyat menggantungkan kehidupannya. Para menteri ekonomi diminta mengalokasikan minimal 40 persen dana stimulus ekonomi untuk UMK.
Upaya meredam dampak Covid-19 akan lebih efektif dilakukan melalui UMK. Dengan menyelamatkan ”usaha rakyat” ini, pemerintah mendapatkan dua keuntungan sekaligus: pertumbuhan ekonomi tak terjun bebas, pengangguran dan kemiskinan tak akan bertambah.
Berdasarkan kajian SigmaPhi (2020), dampak modal investasi negara terhadap PDB lebih besar dirasakan jika negara berinvestasi pada UMK. Dampaknya 6,2 kali (signifikan) dibandingkan dengan investasi pada usaha besar yang hanya 1,93 kali (hampir signifikan). Artinya, jika negara menginvestasikan dana Rp 1 miliar kepada UMK, PDB akan naik Rp 6,2 miliar. Sementara pada sektor usaha kecil akan bertambah 2,47 kali (signifikan) dan usaha menengah 0,89 (signifikan).
Hanya dua kluster
Di era pandemi ini, merujuk kajian OECD (April 2020), upaya mitigasi otoritas Indonesia terhadap UMKM hanya melalui dua kebijakan: penangguhan pajak penghasilan perusahaan (pada kluster penangguhan atau deferral) dan pemberian hibah atau subsidi (kluster instrumen finansial). Pada dua kluster lain, yakni pekerja UMKM (labour) dan kebijakan struktural (structural policy), Indonesia belum memiliki kebijakan alias masih kosong. Bandingkan dengan Korea Selatan, Jepang, dan Italia yang masing-masing memiliki kebijakan di empat kluster.
Korea memiliki tujuh kebijakan di semua kluster: subsidi upah (wage subsidy), upah bagi pekerja mandiri (self employed) pada kluster labour; penangguhan pembayaran cicilan/kredit (debt moratorium) pada kluster deferral; penjaminan utang/kredit (loan guarantee), serta grant dan subsidi pada kluster instrumen finansial; pada kluster kebijakan struktural diberikan fasilitas pasar baru (new market) dan digitalisasi dan kerja dari rumah (teleworking) bagi pekerja UMKM.
Dalam jangka pendek, Indonesia perlu melengkapi kebijakannya dalam menghadapi pandemi seperti dilakukan sejumlah negara di atas. Mitigasi lebih komprehensif masih terbuka, menyusul permintaan Presiden agar langkah-langkah mitigasi kepada mereka segera dilakukan dengan cepat. Jangan tunggu mereka gulung tikar.
Langkah mitigasi ini sekaligus untuk menghambat munculnya penduduk miskin baru dan pengangguran baru. Dalam ratas April, Presiden memerintahkan disediakan pembiayaan modal kerja dan bantuan tunai kepada pemilik dan pekerja usaha mikro dan kecil dengan pola penyaluran yang lebih luas melalui bank umum, BPR, bank wakaf, koperasi simpan pinjam, BMT, dan teknologi finansial.
Presiden juga meminta warung-warung tradisional dilibatkan dalam pelaksanaan bansos seperti kartu sembako yang diperluas, tak hanya melibatkan jaringan minimarket brand tertentu. Setidaknya warung-warung yang keberadaannya dekat dengan konsumen di setiap sudut desa dan kelurahan. Selain itu, konsumen juga mendapat akses lebih luas untuk mencairkan bantuan yang diterimanya. E-dagang yang telah terkoneksi dengan warung tradisional dari sisi rantai pasok (supply chain) dan pembayaran diharapkan bekerja sama berbagi data dengan pemerintah.
Presiden juga meminta warung-warung tradisional dilibatkan dalam pelaksanaan bansos seperti kartu sembako yang diperluas, tak hanya melibatkan jaringan minimarket ”brand” tertentu.
Program padat karya di setiap kementerian dan lembaga dapat dijadikan sumber anggaran untuk mendukung UMK sekaligus pelaku sektor informal yang juga banyak berasal dari UMK. Presiden memerintahkan program-program padat karya dilakukan sebanyak-banyaknya dengan memanfaatkan sumber daya lokal di setiap wilayah dan melibatkan UMK. Program padat karya ini juga dapat dioptimalkan dengan dana desa dan transfer daerah sehingga pemda juga diharapkan berperan dalam upaya ini.
Program relaksasi kredit usaha mikro ini dinilai tak cukup karena hanya 30 persen pelaku usaha mikro memiliki akses pembiayaan, sisanya tak memiliki akses sehingga perlu dapat bantuan lain berupa bantuan tunai dan bantuan modal usaha. Apa yang telah dan akan diinvestasikan ke sektor usaha mikro akan memiliki efek yang lebih besar bagi ekonomi hingga 6,2 kali, seperti disimulasikan oleh tim kami di atas. Dengan demikian, investasi negara di sektor usaha mikro dan kecil, tak akan menimbulkan kerugian ekonomi bagi negara.
Program-program bantuan di atas sekaligus juga menempatkan agenda transformasi struktur ekonomi nasional menuju ekonomi kerakyatan, kembali ke permukaan dan menjadi agenda bersama para pengambil kebijakan di negeri ini. Program inilah yang dapat mengantarkan Tukiran naik kelas. (Arif Budimanta, Wakil Ketua KEIN)