Ayo ”berdamai” dengan Covid-19. WHO menyatakan bahwa kita harus (bisa) hidup berdampingan dengannya. Ada indikasi bahwa virus ini tidak akan segera menghilang dan tetap ada di tengah kita! Sayangnya, seruan untuk satu sikap menghadapi Covid-19 kurang bersambut. Anjuran bekerja-belajar-beribadah di rumah banyak diabaikan.
Ketika terpaksa keluar rumah, banyak yang lupa jaga jarak, memakai masker, menjaga kebersihan, dan menghindari kerumunan. Dampaknya adalah tambahan angka kasus positif tertinggi di beberapa wilayah Indonesia (Kompas, 7/6/2020). Sebagian kita tampaknya belum pandai menahan diri walau bulan puasa telah berlalu. Memandang hal ini bukan apa-apa, padahal yang sudah berusaha menjaga diri, keluarga, dan keselamatan bersama, menangis di hati.
Pelanggaran demi pelanggaran dilakukan. Kita semua bisa melihat dengan gamblang, termasuk ulah pejabat yang memanfaatkan situasi demi ambisi politik. Bahkan, ada yang ”menghimpun dana” dengan ”menyunat” bansos. Mereka tak pantas menjadi pemimpin karena dengan sadar mencelakakan pendukungnya dan ”memaksa” mereka keluar rumah menyambung hidup.
Kembali ke pokok masalah, ajakan ”berdamai” Presiden saya yakin bersandar pada keyakinan bahwa kita semua siap untuk bersama-sama dan bersatu-padu menghadapi badai pandemi Covid-19. Pengalaman beberapa bulan lebih dari cukup untuk menyadarkan kita betapa seriusnya situasi yang kita hadapi.
Covid-19 tak boleh dianggap sepele. Telah banyak korban berjatuhan, sekalipun ada yang bertahan. Karena hal ini belum dapat diramalkan kapan berakhirnya, maka kita—mau tak mau—harus menerima kehadirannya. Namun, the new normal atau tatanan hidup baru dengan menerapkan protokol kesehatan hanya akan berhasil bila kita bersatu padu, disiplin, dan gigih mengelola berbagai upaya; tak berantakan seperti di awal-awal.
Kita, yang taat protokol kesehatan, perlu mengajak lainnya untuk menerapkan, agar semua berjalan seirama. Para alim ulama, pemuka agama, tokoh masyarakat, dan kaum cerdik-pandai dukunglah usaha ini.
Semoga Tuhan memberkahi kita semua.
Zainoel B Biran Pengamat Sosial, Ciputat, Tangerang Selatan
Pelanggar PSBB dan Koruptor
Selama pandemi Covid-19, kita menyaksikan para pelanggar aturan PSBB mendapat sanksi sosial, mengenakan jaket rompi oranye, bertuliskan ”Pelanggar PSBB”. Menariknya, para pelanggar ini langsung membayar tunai kesalahannya dengan membersihkan fasilitas umum. Ada pula yang disuruh push up di depan petugas.
Sanksi tegas itu bersifat mendidik, sekaligus memberikan efek jera. Keputusan pelaksanaan sanksi sosial sebelumnya pernah diwacanakan, lalu benar-benar diterapkan. Saat disorot kamera dan kemudian ditayangkan dalam berbagai berita, ekspresi mereka serius, tidak jemawa apalagi cengengesan dan mengangkat jempolnya melecehkan pemirsa.
Kenapa sanksi semacam itu sekadar wacana, tetapi tidak diterapkan sekalian terhadap para koruptor? Begitu mulia, terhormat, dan sakralkah para koruptor itu sehingga mendapat perlakuan istimewa? Mengapa tindakan tegas hanya berlaku untuk ”orang kecil”? Di masa sulit ini orang ”baik-baik” kesulitan menyambung hidup bahkan sekadar untuk mencari makan.
Para koruptor enak-enakan tinggal di dalam bui. Tak perlu bekerja, tiap hari disuapi negara dengan uang rakyat. Buktikan bahwa keyakinan masyarakat ”hukum tajam ke bawah tumpul ke atas” adalah tidak benar. Jangan-jangan, ada saja penegak hukum yang mendapat manfaat pribadi dari koruptor sehingga para koruptor selalu dilindungi.
Yes Sugimo Jalan Melati Raya, Melatiwangi Cilengkrang, Bandung 40616