Para pekerja seni berharap negara konsisten hadir di tengah krisis. Pertimbangan menyelamatkan bangsa/rakyat harus menjadi prioritas negara dibanding hal lain. Maka pemerintah selayaknya peduli nasib para pekerja seni.
Oleh
Indra Tranggono
·4 menit baca
”Kemanakah, di malam setelah Tembok Besar Cina selesai berdiri, para tukang batu itu pergi?” (Bertolt Brecht, 1898-1956)
Kebijakan pemerintah yang akan memberikan bantuan bagi para pelaku seni terdampak pandemi Korona Covid-19, beberapa waktu lalu, riuh dibicarakan di media massa, media sosial, dan kalangan seniman/budayawan. Saat itu, menyembulah harapan, para pekerja seni bisa memperpanjang napas.
Masyarakat kesenian sangat mengapresiasi gagasan/kebijakan pemerintah itu.
Namun, hingga kini, kebijakan itu tidak terdengar lagi. Belum ada penjelasan resmi dan terbuka dari pemerintah, apakah kebijakan itu sedang digodog sebelum dieksesuksi, ditunda, atau dibatalkan. Tidak sedikit pekerja seni yang sudah mengisi dan mengirimkan formulir dan data ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mempertanyakan kapan bantuan itu dikucurkan.
Tidak sedikit pekerja seni yang sudah mengisi dan mengirimkan formulir dan data ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mempertanyakan kapan bantuan itu dikucurkan.
Ketika bantuan tunai langsung (BLT) diberikan ke masyarakat, para pekerja seni membacanya sebagai indikator bahwa bantuan yang sama juga akan turun bagi mereka. Sebagai warga negara, para pekerja seni memiliki hak yang sama untuk mendapatkan layanan bantuan dari pemerintah/negara. Hak tersebut dijamin konstutitusi, di mana negara wajib melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia.
Para pekerja seni berharap, negara konsisten hadir di tengah krisis. Pertimbangan menyelamatkan bangsa/rakyat harus menjadi prioritas negara dibanding hal-hal lain, misalnya pertimbangan neraca anggaran negara.
Pekerja seni bisa digolongkan menjadi dua. Pertama, seniman sebagai kreator yang memproduksi karya seni, misalnya musisi, penyanyi, perupa, sastrawan, penari, koreografer, dramawan/teaterawan, pencipta film, aktor, dalang, dan lainnya. Kedua, orang yang bekerja untuk mendukung produksi kesenian, seperti kru film, kru pentas, kru artistik, kru produksi seni, perajin, artisan dan lainnya.
Tidak semua pekerja seni memiliki kemampuan ekonomi tinggi. Pekerja seni yang tidak bisa masuk ke dalam orbit pasar/industri dan ”proyek pemerintah” atau ”proyek dari negara asing”, biasanya hanya mengandalkan penghasilannya dari job kecil. Itu pun belum tentu berlangsung secara rutin.
Ini berbeda dengan para seniman besar, ”seniman pemborong proyek” dan maestro yang nilai ordernya sangat tinggi. Harga lukisan seorang pelukis terkenal bisa mencapai puluhan atau ratusan juta. Sementara lukisan maestro bisa laku miliaran rupiah. Rezeki yang subur bisa juga dimiliki seniman pertunjukan terkenal yang sekali manggung bisa dihargai puluhan atau ratusan juta. Nasib baik yang sama juga dialami mereka yang dekat dengan pusat kekuasaan, di mana aliran jobnya sangat tinggi.
Kebanyakan pekerja seni yang tergolong ”kecil”, hidupnya tersaruk-saruk. Ada yang njagakke (sangat berharap) mendapat job dari pemerintah terkait dengan program pengembangan kesenian, pemberdayaan komunitas-komunitas budaya dan seterusnya. Upah yang mereka terima umumnya juga tidak besar. Dengan standar SHBJ (satuan harga barang dan jasa) jasa mereka dihargai antara Rp 500.000 sampai Rp 1.500.000. Pengerjaannya bisa sampai satu bulan. Otomatis mereka harus lincah untuk mendapatkan banyak job.
Kebanyakan pekerja seni yang tergolong ”kecil”, hidupnya tersaruk-saruk.
Adapun pekerja lainnya terlibat dalam berbagai produksi dengan upah harian atau berdasarkan jenis pekerjaan. Namun, umumnya nilai upah tersebut juga tidak tinggi.
Para pekerja seni (golongan kecil) sering mengibaratkan rezeki finansialnya dengan ”tetesan embun”, hanya bisa membasahi kerongkongan di tengah rasa haus yang akut. Namun, mereka selalu kreatif menyiasatinya, dengan meliarkan imajinasinya bahwa seolah-olah embun itu adalah air yang menggerojok.
Obyektivitas dikalahkan subyektivitas, karena bagi mereka bekerja di bidang seni juga mencari dan menemukan kepuasan batin yang nilainya sangat tinggi. Dengan keyakinan itu, mereka mampu bertahan dalam kondisi apa pun, juga dalam krisis.
Siasat lainnya adalah mereka menciptakan peluang-peluang ekonomi kecil dengan menjual jasa di sektor informal. Misalnya menjual jasa keterampilan, barang dan makanan. Juga dalam pandemi saat ini, banyak pekerja seni yang menjual masker, makanan, camilan, minuman baik secara luring maupun daring. Daya tahan dan daya hidup mereka sangat tinggi. Liat menghadapi kenyataan.
Juga dalam pandemi saat ini, banyak pekerja seni yang menjual masker, makanan, camilan, minuman baik secara luring maupun daring.
Para pekerja seni, terutama golongan kecil, telah memberikan diri dan kemampuannya kepada jagat kesenian/kebudayaan, dengan penuh integritas dan komitmen. Kontribusi nilai mereka bisa jadi tidak sebesar dibandingkan seniman besar dan maestro seni. Namun, sekecil apa pun sumbangan mereka telah melengkapi bangunan nilai kebudayaan bangsa.
Ini mengingatkan kita pada kisah tukang batu yang turut membangun tembok China dalam puisi karya penyair dan dramawan dari Jerman Bertolt Brecht (1898-1956) bertajuk ”Suatu Pertanyaan dari Buruh yang Membaca”, ”Kemanakah, di malam setelah Tembok Besar Cina selesai berdiri, para tukang batu itu pergi?”.
Semestinya, pekerja seni tidak perlu meminta, justru pemerintah/negaralah yang mendatangi dan memberikan pelayanan bantuan kepada mereka. Bangsa yang menjunjung budaya selalu menghargai peran pekerja seni.