Peristiwa besar dalam sejarah manusia selalu melahirkan karya, mulai dari letusan anak Krakatau, wabah sampar, hingga saat ini pandemi Covid-19. Namun, hingga kini belum tampak inovasi besar yang muncul dari krisis ini
Oleh
Budiman Tanuredjo
·4 menit baca
Gunung Tambora meletus April 1815. Letusannya mengguncang dunia. Eropa tanpa musim panas. Laporan Ekspedisi Cincin Api Kompas 2011-2012 menyebutkan, 79.000 jiwa tewas. Letusan Tambora menghasilkan novel berjudul Frankenstein karya Mary Shelley. Bumi tanpa musim panas melahirkan temuan genius, sepeda sebagai moda transportasi, sebagaimana dilaporkan Kompas, 17 September 2011, serta puisi karya Lord Byron berjudul ”Darkness” yang bercerita soal semesta yang gelap. Ia menyebut masa itu ”menyerupai mimpi, tetapi bukan mimpi”.
Peristiwa besar dunia menghasilkan karya. Itu sejalan dengan pandangan sejarawan Inggris, Arnold Joseph Toynbee, challenge and response. Albert Camus melahirkan novel La Peste (sampar) saat sampar menerjang kota Oran, Aljazair, koloni Perancis waktu itu.
Kini, tahun 2020, bangsa-bangsa dihadapkan pada pandemi Covid-19. Dunia, termasuk Indonesia, sedang dalam perjuangan sejarahnya mengatasi pandemi. Belum diketahui apa yang terjadi setelah pandemi. Belum juga tampak inovasi besar apa yang bakal muncul. Namun, yang pasti, bahasa dan singkatan/akronim baru bermunculan pada masa pandemi Covid-19.
Pandemi Covid-19 memproduksi kata-kata baru. Masyarakat agraris dan komunal tiba-tiba dihadapkan pada kata baru, seperti physical distancing atau social distancing, self isolation, rapid test, swab test, dan telemedicine. Narasi berseliweran meski kadang tak sesuai alam pikir. Butuh waktu untuk paham. Menyarankan orang isolasi mandiri dan menjaga jarak, sementara sebagian besar orang tinggal di rumah berukuran 21 meter persegi.
Ada pula singkatan seperti PSBB (pembatasan sosial berskala besar), PDP (pasien dalam pengawasan), ODP (orang dalam pemantauan), OTG (orang tanpa gejala), dan SIKM (surat izin keluar masuk). Ramai pula istilah lockdown, karantina wilayah, KLB (kejadian luar biasa). Beberapa istilah dicomot dari apa yang terjadi di luar negeri, seperti diksi mutakhir new normal. Namun, ada diksi produksi lokal, seperti jogo tonggo yang dikenalkan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo atau kampung tangguh yang disosialisasikan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.
Diskursus muncul membahas normal baru atau tatanan baru. Orang berdebat soal new normal meski pemahaman berbeda. Ini mengingatkan ungkapan Sutan Takdir Alisyahbana bahwa bahasa Indonesia dalam puisi tak lebih dari ”kegirangan sahut-menyahut kicauan burung-burung di hutan”: merdu didengar, tetapi tidak tahu apa maksudnya (Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan, 2003).
Normal baru seakan menjadi mantra. Tanpa pemahaman yang benar, normal baru bisa dipersepsi secara salah. Publik bisa memahaminya bahwa situasi sudah normal.
Pidato pejabat di pusat dan daerah mengalir lancar, ”Kita memasuki era new normal. Waspadai gelombang kedua”. Normal baru seakan menjadi mantra. Tanpa pemahaman yang benar, normal baru bisa dipersepsi secara salah. Publik bisa memahaminya bahwa situasi sudah normal. Terjadilah euforia. Orang yang sudah terpenjara selama tiga bulan keluar rumah. Akibatnya, transportasi umum berjubel. Padat. Tak mungkin jaga jarak. Mal pun mulai dibuka secara bertahap.
Memasuki era dengan normal baru, persyaratan angkutan umum dilonggarkan. Kalau sebelumnya pesawat mengangkut maksimal 50 persen kapasitas penumpang, sekarang boleh 70 persen. Anjuran jaga jarak tetap disuarakan. Terasa ada kontradiksi.
Narasi waspadai gelombang kedua juga ramai di media. Kalimat itu seakan menggambarkan Indonesia sudah mencapai puncak, lalu melandai dan khawatir ada lonjakan lagi. Namun, kenyataannya, secara nasional angka orang terkonfirmasi positif terus naik sering dengan masifnya tes. Kini, laporan tiap hari sekitar 1.000 orang positif. Jadi, puncak belum dicapai dan belum ketahuan kapan puncaknya, elite sudah mewanti-wanti waspada gelombang kedua. Narasi semacam itu kadang tak berpijak pada realitas. Mungkin saja sekadar mengambil bahan dari asing, second wave. Padahal, puncak gelombang pertama saja, sebagaimana dipahami awam, belum tercapai.
Bahasa yang tidak dipahami maknanya akhirnya ditafsirkan sendiri. Sejarah Indonesia mengajarkan. Dahulu, SDSB (sumbangan dana sosial berhadiah) dipelesetkan menjadi ”Soeharto dalang segala bencana” oleh Nuku Soleman yang dihukum penjara. Kini, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diubah menjadi ”pergi sana beli baju” menjelang Idul Fitri.
Kekalutan dalam bahasa juga terjadi dalam bantuan sosial. Dalam kamus bantuan sosial ditemukan singkatan KPM (keluarga penerima manfaat), BLT (bantuan langsung tunai), PKH (Program Keluarga Harapan), BPNT (bantuan pangan nontunai). Ada pula akronim bansos khusus, kartu sembako, padat karya tunai. Kenapa tidak dijadikan satu saja dan dikelola Presiden agar lebih efektif?
Meminjam istilah Daniel, sebagai akronim, ia tak menambah informasi, kecuali bagi orang yang menemukan atau membentuk kata baru. Namun, daya tariknya luar biasa, seperti kata new normal membuat orang tak memperolok-olokkannya sebagai ”kegirangan sahut-menyahut kicauan burung-burung di hutan” semata. Karena itu, saat bahasa baru diproduksi, bukan pemahaman yang diharapkan, melainkan ketidakpahaman yang dinantikan.
Bahasa baru yang tak sejalan dengan realitas terkesan seperti ”kata-kata magis” yang bisa membuat bangsa kehilangan kesadaran bahwa ancaman Covid-19 masih ada dan nyata!