”Normal Baru” Birokrasi
Wabah Covid-19 adalah momentum untuk memaksa perubahan radikal dan fundamental birokrasi menuju birokrasi digital yang semakin ramping, semakin cepat, akuntabel, efisien, dan efektif.
Wabah Covid-19 yang sudah berlangsung di Indonesia tiga bulan ini memberikan dampak luar biasa, tidak saja pada aspek ekonomi, tetapi juga pada perubahan interaksi sosial di masyarakat ataupun pola kerja, baik di swasta maupun birokrasi.
Selain aspek penyembuhan pasien Covid-19 dan berbagai program pencegahan, seperti pembatasan sosial berskala besar , pemerintah saat ini tengah mempersiapkan kebijakan normal baru (new normal). Menteri Kesehatan juga telah mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di tempat kerja perkantoran dan industri sebagai langkah mempersiapkan ruang kerja baru di era normal baru.
Apa makna normal baru untuk birokrasi publik dan apa yang harus dipersiapkan untuk melaksanakan pekerjaan birokrasi di era normal baru ini? Bagaimana kita memanfaatkan momentum krisis ini untuk perubahan fundamental birokrasi?
Ruang kerja baru birokrasi
Setiap kesulitan memberikan hikmah tersendiri. Wabah Covid-19 ini telah memaksa berbagai pihak, mulai dari sekolah, universitas, perkantoran, industri, hingga birokrasi bertransformasi digital secara cepat dengan memanfaatkan berbagai kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Working from home (WfH) atau bekerja dari rumah mendadak menjadi sangat terkenal dan menggantikan berbagai aktivitas manusia yang selama ini dilakukan secara manual.
Situasi yang memaksa ini berhasil secara cepat mengubah pola kerja baru manusia yang didukung oleh kemajuan teknologi. Pembelajaran jarak jauh (PJJ) di perguruan tinggi menjadi model perkuliahan yang biasa meskipun dengan berbagai keterbatasan.
Wabah Covid-19 telah menciptakan ruang kerja baru di berbagai lapangan kerja, termasuk di birokrasi publik. Ruang kerja baru ini merupakan transformasi digital, yaitu proses mempersiapkan perubahan birokrasi dengan mempergunakan berbagai perkembangan teknologi mutakhir, seperti teknologi informasi dan komunikasi, teknologi robot, dan teknologi nano. Ruang kerja baru ini membutuhkan lima komponen utama perubahan.
Pertama, ruang kerja yang fleksibel dan berjejaring. Aparatur sipil negara (ASN) di era normal baru tak harus setiap hari ke kantor karena berbagai pekerjaan dapat dilakukan di mana saja, termasuk di rumah. Dengan demikian, presensi (kehadiran) pegawai di kantor dapat diatur sedemikian rupa berdasarkan tingkat urgensi.
Di samping mencegah terjadinya penularan Covid-19, kehadiran minimal pegawai di kantor dapat mengurangi kemacetan, efisiensi penggunaan bahan bakar kendaraan dan ongkos transportasi, biaya rapat yang selama ini dibutuhkan, serta kualitas dan keseimbangan kehidupan dengan keluarga.
Kedua, penyiapan infrastruktur dan pembelajaran superaplikasi (superapp) yang memungkinkan kantor virtual dan digital. Gedung-gedung perkantoran saat ini menjadi semakin berkurang kebutuhannya dalam era normal baru. Pemerintah harus melakukan transformasi menyeluruh terhadap proses bisnis dan struktur organisasi birokrasi publik dengan menciptakan teknologi superapp yang memungkinkan berbagai keperluan pekerjaan dilakukan dan diperoleh secara digital.
Rapat, interaksi antarpegawai, proses kerja antarunit pemerintah, pelayanan kepada masyarakat, dan seluruh basis data pekerjaan bisa dilakukan melalui media digital. Dengan demikian, biaya pemeliharaan gedung perkantoran akan berkurang, serta kebutuhan anggaran untuk membangun dan memelihara superapp sebagai ruang kerja baru semakin meningkat, termasuk kebutuhan jaringan Wi-Fi bagi ASN. Bahkan pekerjaan manusia kelak di sektor pelayanan publik akan digantikan agen-agen robot (robotic agents) yang memiliki kemampuan kecerdasan buatan (artificial intelligent/AI).
Ketiga, peningkatan kapabilitas ASN dalam berinteraksi dengan berbagai kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, termasuk dengan big data dan AI, sangat dibutuhkan. Hal ini sebenarnya tidak terlalu menjadi masalah karena profil masyarakat Indonesia saat ini, berdasarkan Susenas BPS 2017, didominasi oleh generasi milenial, yaitu generasi Y (33,75 persen) dan generasi Z (29,23 persen).
Adapun generasi X hanya 25,74 persen. Generasi milenial seperti diketahui sangat adaptif dengan berbagai kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Pemerintah perlu segera membuat program untuk mengintegrasikan kapabilitas generasi milenial ini dalam birokrasi yang digital.
Keempat, dalam era normal baru pasca-Covid-19 harus segera dilakukan penataan bisnis proses dan alur kerja birokrasi. Karena tidak semua pegawai harus datang ke kantor dan sebagian pekerjaan dan pelayanan publik dilakukan secara digital, maka proses bisnis pemerintahan dan pelayanan harus segera disederhanakan dengan bantuan teknologi informasi dan komunikasi. Seperti pelayanan di swasta yang saat ini dilakukan secara daring, misalnya Tokopedia dan Traveloka, pelayanan publik juga dapat dilakukan secara lebih mudah berbasis daring.
Banyak proses bisnis yang harus dipangkas dan struktur organisasi yang harus segera dipotong. Era normal baru birokrasi akan mempercepat berbagai pelayanan kepada masyarakat dan pengambilan keputusan.
Kelima, era normal baru birokrasi membutuhkan ASN berkualitas dan berkompetensi untuk mengelola ruang kerja baru. Jumlahnya mungkin tak terlalu banyak, tetapi bisa melakukan berbagai pekerjaan secara cepat dan berkualitas. Karena itu, perlu talent pool management yang mengelola sumber daya ASN yang unggul dan dapat dipergunakan di seluruh birokrasi di Indonesia (pusat, provinsi, kabupaten/kota).
Indikator kinerja yang jelas
Era normal baru birokrasi membutuhkan indikator kinerja yang jelas, baik di level individu maupun di level organisasi. Ruang kerja baru yang dapat dilakukan secara fleksibel, apakah dari rumah atau di mana saja seorang pegawai berada, tak mungkin bisa berjalan dengan baik jika tak didukung indikator yang jelas.
Problem birokrasi Indonesia sampai saat ini adalah ketiadaan ukuran indikator kinerja, baik di level organisasi maupun di level individu. Jika era normal baru birokrasi ini diharapkan memperoleh hasil maksimal, pemerintah harus segera melakukan perbaikan proses perencanaan dan penganggaran yang berbasis kinerja. Program pembangunan harus memiliki indikator dan target kinerja yang jelas sehingga kegiatan yang tidak berhubungan dengan capaian kinerja program harus dihapuskan,
Jika era normal baru birokrasi ini diharapkan memperoleh hasil maksimal, pemerintah harus segera melakukan perbaikan proses perencanaan dan penganggaran yang berbasis kinerja.
Jika hal ini bisa dilakukan, selain efisiensi anggaran pembangunan dapat dicapai, target-target pembangunan juga semakin mudah diperoleh, dan struktur organisasi pemerintah (dalam hal ini kementerian/lembaga/organisasi pemerintah daerah) dapat disederhanakan dengan berbasis indikator kinerja. Banyak sekali struktur organisasi pemerintahan yang bisa dipangkas karena tak berhubungan dengan indikator kinerja pemerintahan dan pembangunan.
Merger kementerian dan lembaga dapat segera dilakukan dengan basis kinerja pembangunan yang terbagi (shared outcome and impact). Jika indikator organisasi semakin jelas, indikator kinerja individu dapat dirumuskan dan ditetapkan sebagai basis perjanjian kinerja yang saat ini disebut sebagai sasaran.
Kinerja pegawai (SKP)
Indikator kinerja pegawai yang jelas akan memudahkan seorang ASN bekerja dari rumah atau dari mana saja. Saat ini banyak sekali pegawai ASN yang tak memiliki indikator kinerja yang jelas dalam SKP sehingga bekerja dari rumah tak bisa diukur kinerjanya. Pegawai yang tak memiliki indikator kinerja yang jelas dapat ditawarkan untuk mengambil pensiun dini atau memilih karier kedua di swasta.
Pada sisi lainnya, untuk memperkuat indikator dan target kinerja pembangunan yang lebih baik, dibutuhkan Sistem Akuntabilitas Kinerja Pemerintah (SAKP) di tingkat nasional sebagai indikator kinerja pembangunan nasional. Hal ini akan menjadi dasar dalam penyusunan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP). Selama ini banyak capaian pembangunan bersifat fragmented di antara kementerian dan lembaga karena tidak adanya penyelarasan di tingkat nasional, bahkan sebagian juga dapat diukur indikator kinerja hasil dan dampaknya.
Normal baru birokrasi dengan demikian adalah birokrasi yang semakin ramping, semakin cepat, akuntabel, efisien, dan efektif. Wabah Covid-19 adalah momentum untuk memaksa perubahan radikal dan fundamental birokrasi Indonesia menuju birokrasi digital. Semoga.
(Eko Prasojo Dekan Fakultas Ilmu Administrasi UI)