Sepak Bola ”Humanis” Saat Pandemi, Bukan Sepak Bola Masa Depan
Seperti apa dunia tanpa sepak bola? Bagi pencandu sepak bola, mungkin lebih dari sekadar makan sayur tanpa garam. Gelap, bahkan ibarat gulita yang pekat.
Piala Eropa 2020 harus menyingkir dari tontonan 2020 seiring Olimpiade Tokyo yang juga ditunda. Jika harus diumpamakan, seperti apa dunia tanpa sepak bola? Bagi pencandu sepak bola, mungkin lebih dari sekadar makan sayur tanpa garam. Gelap, bahkan ibarat gulita yang pekat.
Lenyapnya Piala Eropa bersamaan dengan pekan-pekan terakhir liga-liga Eropa, termasuk Liga Inggris, Spanyol, dan Italia, yang bisa disebut tiga liga terbaik di Eropa. Liga Champions juga terhenti sementara dengan laga terakhir di putaran 16 besar, pertengahan Maret 2020.
Setelah terhenti sekitar enam pekan lebih, kini sudah mulai muncul ide-ide untuk menggulirkan kembali liga di beberapa negara Eropa. Di Italia, peluang Serie A Liga Italia berlanjut lagi kian terbuka. Federasi Sepak Bola Italia (FIGC) sudah menyetujui jadwal baru untuk akhir kompetisi musim ini, dari 30 Juni ke 2 Agustus. FIGC kini sedang mematangkan protokol kesehatan agar tim bisa berlatih dan berkompetisi di tengah pandemi bersama otoritas terkait.
Korea Selatan menjadi buah bibir ketika memutuskan dimainkannya lagi Liga Korsel (K-League) sejak 8 Mei 2020. Saking rindunya pencinta sepak bola dunia pada tayangan sepak bola, laga Jeonbuk Hyundai melawan Suwon Samsung itu juga disaksikan secara daring oleh penonton di sejumlah negara non-Asia, seperti Portugal, Jerman, Meksiko, Italia, Australia, dan Israel. Padahal, selama ini, K-League hanya ditonton di beberapa negara Asia, seperti Jepang, China, beberapa di Asia Tenggara, serta domestik Korsel sendiri.
Meski K-League sudah digelar lagi, kecemasan belum sirna di Korsel. Akhir Mei lalu, Korsel memberlakukan lagi beberapa protokol kesehatan, terutama pembatasan jarak sosial, yang sebelumnya telah dilonggarkan sejak awal Mei. Antara yakin dan ragu, memang masih membayangi sejumlah negara yang ingin memulai kompetisi sepak bola domestik mereka.
Di balik kelancaran setiap laga, terdapat penerapan protokol kesehatan dan keselamatan begitu ketat yang mengatur hingga detail-detail terkecil. Protokol diterapkan dengan tegas dari yang terpenting hingga yang terasa paling remeh sekali pun, mulai dari pengujian Covid-19 bagi pemain dan staf sebelum pertandingan sampai pengaturan posisi orang yang ingin buang air kecil di dalam stadion.
Perubahan wajah
Bagaimana pandemi Covid-19 ini akan mengubah wajah olahraga, termasuk sepak bola, sudah terprediksi. Pentingnya menjaga jarak sosial satu sama lain, akan menjadi salah satu yang krusial, dan menjadi normal baru di tengah pertandingan olahraga, sampai nanti saat vaksin ditemukan.
Tak terpikir sebelumnya bahwa para pesepak bola harus memikirkan social distancing. Sepak bola termasuk salah satu cabang dengan banyak sekali kemungkinan kontak fisik karena di mana saja sudut lapangan sepak bola, hampir pasti terjadi perebutan bola. Persaingan perebutan bola pasti berisiko kontak fisik.
Baca juga: Korona Mengubah Wajah Olahraga
Tidak mungkin pemain justru jaga jarak, menjauhi pemain lawan yang sedang menguasai bola, seperti anjuran jaga jarak saat pandemi Covid-19. Apalagi, logika sepak bola menyatakan, siapa yang lebih banyak menguasai bola, makin besar pula potensi tim itu menang. Tak heran, begitu sebuah tim kehilangan bola, pemain-pemainnya akan segera memburu ke mana bola berada.
Pesepak bola Inggris, Jack Wilshere, termasuk salah satu yang mengkritik pemberlakuan pembatasan sosial di sepak bola. ”Saya tidak bisa mengerti bagaimana Anda bisa memainkan sepak bola sekaligus menjalani pembatasan sosial pada waktu bersamaan,” ujar Wilshere seperti dikutip The Telegraph, sambil menambahkan, sepak bola tanpa kontak fisik bukanlah sepak bola.
Selama ini, drama di lapangan terjadi ketika pemain terlibat kontak fisik, baik saat menekel lawan, berduel di udara, maupun saling tarik-menarik saat terjadi kemelut di depan gawang. Belum lagi ketika salah satu pemain mampu mencetak gol, ia dikerubungi dan dipeluk rekan-rekannya.
Bahkan, ketika bola sedang tidak dimainkan pun, bisa terjadi drama antarpemain. Kasus striker Uruguay, Luis Suarez, yang menggigit bek Italia, Giorgio Chiellini, di Piala Dunia Brasil 2014 terjadi saat bola jauh dari keduanya. Begitu pula insiden kapten Perancis, Zinedine Zidane, yang menanduk bek Italia, Marco Materzzi, pada final Piala Dunia Jerman 2006 pun kala bola tidak di dekat mereka. Itu di perhelatan Piala Dunia. Banyak lagi drama-drama di liga domestik sejumlah negara.
Wasit juga kerap menghentikan laga, sebelum tendangan bebas atau tendangan sudut, karena beberapa pemain terlibat kontak fisik. Biasanya, terjadi keributan di antara pemain belakang yang ditugaskan meredam pergerakan penyerang tim lawan.
Contoh relevan hingga kini, tak lain di Piala Dunia Spanyol 1982, kala bek Italia, Claudio Gentile, mematikan pergerakan bintang muda Argentina kala itu, Diego Maradona. Sebelum Piala Dunia 1982, nama Maradona disebut-sebut sebagai salah satu bintang muda yang bakal bersinar. Italia kemudian menugaskan Gentile, salah satu bek terbaik ”Azzurri”, untuk meredam Maradona. Apa pun dilakukan, baik itu menekel, menyikut, maupun menabrakkan badan. Maradona pun gagal mempertunjukkan kebolehannya,
Itu semua jika kita berbicara soal duel pemain di antara dua tim. Kerja sama antarpemain di dalam satu tim juga memerlukan kontak fisik. Pagar betis pemain, kala tim bertahan tengah diserang, dan tim penyerang berkesempatan melepaskan tendangan bebas membutuhkan deretan pemain dalam posisi rapat. Renggang sedikit saja, bola bisa dengan mudah menyusur cepat, tanpa mampu diantisipasi penjaga gawang.
Lebih humanis?
Akankah sepak bola menjadi lebih humanis? Sulit terbayangkan.
Puluhan tahun dimainkan, sepak bola seolah menyihir pencandunya untuk mau berduyun-duyun datang ke stadion. Mereka yang menonton laga secara langsung di stadion juga bukan hanya warga kota setempat, tetapi juga dari luar kota, bahkan luar negeri. Terutama, untuk laga-laga kelas dunia, seperti Piala Dunia, Piala Eropa, dan Liga Champions Eropa.
Para penggila sepak bola rela merogoh kocek mereka, yang sebagian berupa tabungan penting, untuk bisa menonton langsung klub pujaan mereka. Atau, menyaksikan pertandingan-pertandingan kelas dunia di Piala Dunia atau Piala Eropa. Dengan demikian, sudah puluhan tahun juga penonton menjadi pelengkap penting laga sepak bola.
Sebagian pencinta sepak bola berpendapat, menyaksikan pertandingan tanpa penonton hambar rasanya. Yel-yel dan teriakan penonton, yang juga disebut ”pemain ke-12”, menjadi pelengkap wajib bagi laga di antara dua tim. Normal baru memaksa sepak bola mengubah wajah, dari semula penuh nuansa emosional, kadang keras, sarat kontak fisik, dan semarak ingar bingar penonton, menjadi penuh kehati-hatian, menghindari sentuhan, dan lebih senyap.
Baca juga: Klub Kembali ke ”Normal Lama”
Yang menarik, ada juga fakta bahwa sejak sepuluh tahun yang lalu sudah terjadi penurunan penonton sepak bola di stadion, terutama di liga yang merosot pamornya, salah satunya Italia. Menurut data statistik yang dikutip buku Soccernomics karya Simon Kuper dan Stefan Szymanski, rata-rata pertandingan di Italia pada musim 2007-2008 hanya menyedot 23.180 penonton. Jumlah itu menurun dibandingkan musim 1984-1985, ketika rata-rata penonton Serie A adalah 38.872 orang, dengan klub Napoli yang waktu itu diperkuat Maradona, bisa menyerap rata-rata 77.000 penonton.
Banyak liga Eropa lainnya, masih menurut Soccernomics, juga mengalami perubahan tren penonton yang tajam, yang lebih jauh lagi menjadikan bukti bahwa para penggemar lebih berperilaku seperti konsumen daripada pencandu. Bisa diasumsikan, orang mulai ogah-ogahan ke stadion dan lebih memilih menonton televisi di rumah dan live streaming.
Di Inggris, salah satu negara dengan penonton liga terbanyak saat ini, juga masih tersisa keraguan, apakah angka kehadiran adalah jumlah orang yang sungguh datang atau jumlah pemegang tiketnya? Mengingat, banyak pemegang tiket terusan yang tidak menyaksikan beberapa laga. Untuk klub-klub yang berada di papan bawah jelang akhir musim, misalnya, pasti sulit mendatangkan suporter mereka ke stadion.
Pandemi Covid-19 bisa dibilang mempercepat fenomena makin banyaknya penggemar yang malas ke stadion. Anjuran untuk tinggal di rumah selama pandemi membuat orang lebih nyaman menonton di rumah.
Sudahkah ini menjadi pertanda bahwa sepak bola ke depan adalah yang lebih humanis seperti ini? Rasanya, bukan jaminan. Mengingat, sepak bola sebagai olahraga permainan menjadikan skor sebagai penentu kemenangan dan semua tim berusaha menang dengan lebih banyak mencetak gol ke gawang lawan. Karena itu, kesejatian sepak bola dengan banyaknya kontak fisik antarpemain tidak bakal hilang begitu saja.
Selain itu, faktor penonton sebagai pelengkap pertandingan suatu saat tetap akan muncul kembali. Seperti halnya pergelaran seni, sepak bola juga tontonan yang asyik disaksikan langsung. Karena itu, fakta kekosongan puluhan ribu kursi di stadion seharusnya cuma sementara. Seiring berlalunya pandemi, sepak bola akan kembali seperti sediakala. Sebagai olahraga permainan, ada rivalitas yang menjadi bumbu pertandingan.