Kurang dari 1,5 bulan jelang bulan haji, belum ada keputusan Arab Saudi soal pelaksanaan haji. Ini mengingatkan arti strategis dan sensitivitas haji bagi Arab Saudi.
Oleh
Editor Kompas
·3 menit baca
Kurang dari 1,5 bulan jelang bulan haji, belum ada keputusan Arab Saudi soal pelaksanaan haji. Ini mengingatkan arti strategis dan sensitivitas haji bagi Arab Saudi.
Berdasarkan kalender, bulan haji atau Zulhijah dimulai 22 Juli 2020, dengan wukuf—puncak ibadah haji—pada 30 Juli. Dalam rukun Islam, ibadah haji menempati urutan kelima dan diwajibkan sekali seumur hidup bagi Muslim yang memiliki kemampuan, secara fisik atau ekonomi, untuk melaksanakan.
Namun, berbeda dengan rukun Islam lainnya, pelaksanaan ibadah itu hanya bisa dilakukan di Tanah Suci di Mekkah, Arab Saudi. Hal ini membuat Arab Saudi mendapat kehormatan besar dan tanggung jawab tidak ringan sebagai tuan rumah haji.
Salah satu keistimewaan pemimpin Arab Saudi yang tidak dimiliki pemimpin Muslim lain adalah status sebagai penyelenggara haji. Raja Arab Saudi mendapat gelar kehormatan yang dikenal dengan sebutan ”Pelayan Dua Tanah Suci” (Khadim al-Haramain al-Sharifain). Satu tanah suci lain merujuk pada Madinah, lokasi Masjid Nabawi, tempat tersuci kedua bagi umat Islam setelah Masjidil Haram di Mekkah.
Bagi Arab Saudi, peran dan keputusan sebagai penyelenggara haji sudah menjadi garis merah (red line), tidak boleh diterabas pihak mana pun di tengah upaya beberapa pihak yang pernah mengangkat isu internasionalisasi haji.
Di mata pengamat internasional, haji merupakan kekuatan lunak (soft power) Arab Saudi dalam percaturan global. Menyangkut hajat Muslim dari sejumlah negara, keputusan terkait haji selalu tidak mudah bagi Arab Saudi, termasuk saat pandemi.
Negara kerajaan itu dengan cepat pada 27 Februari lalu memutuskan menghentikan layanan umrah dan kunjungan ke Masjid Nabawi guna mencegah penyebaran Covid-19. Tak ada ganjalan berarti pula bagi negara itu ketika pada 17 Maret, Arab Saudi mengumumkan penghentian shalat berjemaah, termasuk shalat Jumat, di masjid di seluruh Arab Saudi, kecuali di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
Tidak demikian dengan keputusan soal haji. Selain aspek ekonomi—haji dan umrah menyumbang pemasukan sekitar 12 miliar dollar AS (Rp 167 triliun) per tahun bagi Arab Saudi—terdampak, putusan soal haji bakal disorot dunia di tengah citra negara itu yang merosot akibat beberapa kasus, seperti perang Yaman dan pembunuhan Jamal Khashoggi.
Sebanyak 40 kali penyelenggaraan haji ditunda oleh berbagai penyebab, termasuk wabah.
Reuters, mengutip beberapa sumber, menyebutkan ada dua skenario penyelenggaraan haji tahun ini: tetap digelar dengan pembatasan jemaah, yakni 20 persen dari kuota setiap negara, atau ditiadakan (Kompas, 11/6/2020). Belum ada konfirmasi resmi Arab Saudi mengenai hal itu.
Di tengah pandemi Covid-19 yang hingga Kamis menginfeksi 112.288 warga Arab Saudi dan 819 orang di antaranya meninggal, seharusnya cukup bagi Arab Saudi untuk mengambil keputusan soal haji. Dengan dalil keagamaan atau basis sejarah—40 kali penyelenggaraan haji ditunda oleh berbagai penyebab, termasuk wabah—Arab Saudi semestinya bisa mengumumkan keputusan soal haji itu.