Menuju Tatanan Hidup dengan Covid-19, Mungkinkah?
Tulisan M Qodari di ”Kompas”, beberapa waktu lalu, provokatif. Sebab, ia menantang asumsi yang diyakini banyak orang sebagai pendekatan yang paling arus utama (”mainstream”) dalam penanganan pandemi, yaitu pengekangan.
Tulisan M Qodari, CEO Indo Barometer (Kompas, 14/5/2020), dengan judul ”Tatanan Hidup Baru dengan Covid-19 (THC)” sangat menarik, kalau tidak mau dibilang provokatif.
Kenapa provokatif? Karena ia menantang asumsi yang diyakini banyak orang sebagai pendekatan yang paling arus utama (mainstream) dalam penanganan pandemi, yaitu pengekangan (restriction). Kebijakan restriksi ini dalam implementasinya bisa terentang dalam kontinum dari total penguncian (total lockdown), karantina wilayah, atau seperti di Indonesia: pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Metode pengekangan dalam bentuk paling optimal selalu dianggap berkorelasi dengan penghentian laju penyebaran penularan, bahkan bisa sampai terminasi. Namun, fakta empiris di lapangan di banyak tempat (negara) tampaknya tak selalu sejalan dengan asumsi ini. Bahkan, dalam beberapa kasus, total lockdown menimbulkan kekacauan sosial.
Metode penguncian akan berimplikasi pada hal lain: kelumpuhan ekonomi yang pada akhirnya juga berimbas ke ketahanan manusia; gagal memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Secara logis, persoalan ini seharusnya bisa teratasi kalau mekanisme jaring pengaman sosial (bansos, BLT, dan sejenisnya) bekerja efektif sampai jangka waktu restriksi dicabut. Namun, implikasi lanjutan lainnya menyusul karena sifat multiflier effect dari ekonomi, perpanjangan restriksi akan membuat ketahanan ekonomi jadi rentan, dan dalam konteks ini ketahanan negara akan jadi taruhan.
Ada juga yang berpendapat, gagasan Qodari ini ”berbahaya” karena sejatinya mengarah kepada herd immunity yang dianggap sangat riskan. Apakah betul gagasan ini sejatinya berbahaya? Tulisan ini menguji kemungkinan paling masuk akal (plausibility), terutama dari perspektif psikologi pandemi.
Lima tumpuan
Ada baiknya kita samakan persepsi terlebih dulu bahwa setidak-tidaknya dari perspektif ilmu perilaku (behavioral sciences) atau psikologi, penanganan sebuah pandemi lebih kurang mengandalkan pada lima jenis respons penanganan (metode) yang sifatnya saling melengkapi (balanced trade-off atau optimalisasi sesuai kondisi lapangan). Turunannya jadi kebijakan akan sangat bergantung pada tingkat keparahan penyebaran virus, prioritas (urgensi) mana yang akan ditekankan, sumber daya yang dimiliki, kondisi sosio-kultural-ekonomi, dan psikologis masyarakat.
Metode pertama: pengekangan/pembatasan. Dalam bentuk paling ekstrem, metode ini bisa kita bayangkan seperti ini: ketika terjadi pandemi, setiap orang berdiam di ”goa”, tak boleh pergi ke mana-mana sampai wabah berhenti total. Selama berdiam di goa, semua kebutuhan hidup harus tercukupi.
Implementasinya dalam zaman kontemporer dapat kita lihat dari konsep ”Work, school, leisure from home”. Tujuan metode ini jelas: menghindari penularan dari orang lain sekaligus mencegah menulari orang lain. Variasinya mulai dari total lockdown, pengarantinaan terbatas, atau PSBB.
Metode kedua, penanganan medis atau kuratif. Perawatan medis diperlukan untuk menyembuhkan atau mengurangi gejala klinis. Seberapa masif langkah kuratif dilakukan akan berbanding lurus dengan tingkat keparahan pasien yang terjangkit. Rata-rata studi memperlihatkan yang perlu perawatan medis sangat serius sekitar 3 persen dari yang terjangkit.
Kelompok ini terutama usia tua (50 tahun ke atas) serta sudah mengidap penyakit bawaan lain, seperti jantung, diabetes, pneumonia, stroke, gangguan pernapasan, dan penyakit kronis lain. Ini yang sering disebut kelompok rentan. Di luar kelompok ini sebenarnya tak perlu layanan rumah sakit.
Namun, secara umum, lonjakan kasus akan menuntut respons layanan medis yang ekstra. Karena hari ini belum ditemukan obat (vaksin) penyembuh, penanganan medis sepenuhnya bersifat mengurangi keparahan dan pada akhirnya mengandalkan mekanisme kekebalan alami tubuh untuk mematikan virus yang bersarang dalam tubuh manusia.
Di seluruh dunia, lonjakan tiba-tiba akan kebutuhan alat medis, mulai dari APD, kapasitas tempat tidur, obat-obatan pengurang simtom, hingga alat bantu (terutama ventilator), membuat banyak negara gagap dan tertatih-tatih memenuhinya.
Metode ketiga, sebagian bersifat kuratif, tetapi lebih banyak bersifat preventif, yaitu praktik higienis (hygiene practices) atau dikenal sebagai protokol kesehatan. Hal itu ialah memakai masker, mencuci tangan secara reguler; membersihkan lingkungan rumah, komunitas, dan sarana publik secara reguler dengan disinfektan; tak batuk dan bersin sembarangan; serta jaga jarak kontak dengan orang lain (minimal 1,5 meter). Penelitian Jefferson dkk (2011), praktik higienis yang konsisten cukup efektif menahan laju pandemi.
Metode keempat dikenal sebagai mass rapid test (tes cepat massal). Karena pandemi sudah terjadi, perlu dilakukan pemetaan masif siapa saja yang terjangkit, di daerah mana, persebaran seperti apa. Tes massal ini bisa dilakukan purposif (mengetes kelompok yang dicurigai) atau mengambil sampel secara acak. Kendala terbesarnya, pengadaan alat tes secara massal ini tak murah.
Indonesia masih jauh tertinggal dalam jumlah tes per 1 juta penduduk. Metode diagnosis cepat massal ini bagian dari langkah tiga T: test, tracing, treatment. Dengan tes ini akan diketahui apakah positif atau negatif terjangkit. Kalau positif akan dilacak kontak dengan siapa saja, kemudian treatment bagi yang perlu tindakan medis.
Metode kelima, yang kadang dilupakan dan dianggap tak begitu penting, padahal justru sangat krusial: komunikasi risiko atau edukasi publik. Menginformasikan ke publik secara jernih (tanpa bias ke arah menakut-nakuti atau menganggap enteng bahaya/risiko) adalah faktor kunci kesuksesan empat metode sebelumnya.
Publik harus diberi informasi yang jelas dan akurat seluk-beluk pandemi secara transparan, kapan dan di mana, apa yang harus dilakukan untuk mencegahnya, mengapa sebuah kebijakan diambil, apa dasar pikirnya, kebaikan dan keuntungannya, serta risiko dari sebuah kebijakan.
Komunikasi risiko yang tepat, proporsional, ini penting untuk menimbulkan rasa percaya (trust), rasa aman (secure), dan menumbuhkan perasaan efikasi (efficacy) sehingga pada akhirnya akan menimbulkan rasa percaya, keyakinan, dan harapan bahwa pandemi ini bisa diatasi tiap-tiap individu, kelompok, komunitas, serta akhirnya bangsa dan negara.
Komunikasi jangan menimbulkan hal yang sebaliknya: ketakutan, kepanikan, pesimisme, perasaan tertekan, dan kehilangan harapan. Munculnya pelbagai hoaks, teori konspirasi, ketegangan, dan prasangka sosial adalah cerminan kegagalan komunikasi. Energi bangsa terkuras karena berkonflik.
Berdasarkan lima jenis metode tadi, alternatif kebijakan di banyak negara kurang lebih bertumpu pada lima hal itu meski berbeda-beda penekanan. China (Wuhan) menekankan pada lockdown ketat di fase awal. Korsel banyak bertumpu pada konsep tiga T. Dua-duanya dianggap sukses. Sejatinya lima metode tadi terkait satu sama lain.
Kegagalan komunikasi akan berakibat pada tak efektifnya kampanye protokol kesehatan. PSBB sebenarnya lebih kurang sudah menerapkan lima respons ini, masalahnya ada pada intensitas dan optimalisasi penerapan ke lima metode di lapangan. Salah satu aspek yang sering dikritik: lemahnya komunikasi publik.
THC, mungkinkah?
Becermin dari lima tumpuan metode di atas, kita kembali pada pertanyaan awal: apakah gagasan THC oleh Qodari ini masuk akal? Gagasan THC berangkat dari beberapa asumsi, yaitu ketahanan ekonomi sebagai dampak langsung pandemi sudah tak akan kuat bertahan menunggu sampai Covid-19 benar-benar hilang sepenuhnya di dunia. Kenyataan ini juga sudah dikonfirmasi WHO. Artinya, Covid-19 mungkin masih akan ada di sekitar kita untuk jangka waktu lama.
Yang perlu kita lakukan, menghindar semaksimal mungkin untuk tak tertular. Kepastian vaksinasi juga masih bersifat prediktif; mungkin 1-2 tahun ke depan. Secara psikologis, masyarakat juga mulai mengalami gejala psychological burnout (jenuh, bosan, tertekan, cemas, tak ada kepastian, kesejahteraan psikologis dan ekonomi mulai terancam).
Strategi bermukim di ”goa” sepertinya sudah harus dipikir ulang. Masyarakat harus secara strategik disiapkan untuk memulihkan aktivitas ”hidup normal”—keluar dari goa—melakukan aktivitas ekonomi dan sosial layaknya hakikat manusia sebagai social and economic animal.
Strategi mentransformasikan keseluruhan aktivitas sosial ekonomi ke dunia virtual tentu ada batasnya. Tak semua bisa didaringkan. Pertanian, manufaktur, produksi barang, pariwisata, dan rantai distribusi sebagian besar masih bersifat keterlibatan fisik. Dengan dasar pikiran di atas, Qodari mengajak kita move on ke sebuah tatanan baru, THC.
Melihat kombinasi lima jenis metode di atas, sebenarnya gagasan Qodari ini tak ”aneh-aneh banget”—memakai frasa anak sekarang—bahkan mungkin tak terlalu provokatif juga. Apa yang digagas Qodari dengan THC secara sederhana adalah mencoba menata ulang kombinasi lima jenis metode di atas. Gagasan THC ingin meniadakan (atau paling tidak mengurasi) metode pertama, restriksi atau pembatasan fisik yang populer dengan slogan ”di rumah saja”. Sekarang mungkin slogannya ditambahkan: boleh keluar rumah untuk aktivitas ekonomi yang penting secara terencana dan terukur dengan meminimalkan risiko tertular.
Artinya, sebagai sebuah pilihan kebijakan yang bersifat balanced trade-off, mengendurkan opsi 1 (restriksi) dengan sendirinya akan memperketat atau memaksimalkan empat metode yang lain. Dengan kata lain, kalau pilihan ini mau diambil, empat aspek kebijakan yang lain: 1) pemberlakuan protokol kesehatan (cuci tangan, pakai masker, kebersihan lingkungan, menjaga jarak); 2) jaminan ketersediaan layanan medis yang masif, harga terjangkau, mudah diakses; 3) ketersediaan alat tes cepat di mana-mana; dan 4) dukungan komunikasi risiko yang andal harus diperkuat serta ditingkatkan intensitas dan implementasinya. Kalau kita membaca proposal THC ini, sebagian usulan sudah memasukkan peningkatan usaha-usaha di atas.
Tawaran ini setidaknya tak berpretensi untuk terjebak pada pilihan ”zero sum-games” (mempertentangkan aspek kesehatan dan aspek ekonomi, seolah-olah pemerkuatan satu aspek akan meniadakan aspek lain). Ada beberapa catatan jika seandainya gagasan THC ini layak dipertimbangkan.
Pertama, mungkin gagasan membentuk gugus tugas nasional THC terkesan ambisius dan konsekuensinya bisa mahal. Mengingat, gangguan Covid-19 ini tak sama di semua kabupaten dan provinsi. Proposal ini mungkin saja lebih baik ditawarkan ke provinsi yang membutuhkan sehingga gugus tugas cukup di tingkat lokal. Atau, kalaupun gugus tugas nasional ada, ia cukup di tataran kebijakan, sedangkan tingkat implementasi diserahkan ke tingkat lokal.
Kedua, sebelum proposal ini diterapkan, ada baiknya keseluruhan asumsi yang jadi supporting thesis-nya dikaji secara komprehensif, terutama dicocokkan dengan data empiris di lapangan. Terutama, asumsi penurunan kurva penularan.
Ketiga, perhatian khusus harus diberikan pada perlindungan kelompok rentan. Pelonggaran aktivitas sehari-hari harus dipastikan tak akan membuat mereka makin rentan.
Keempat, penerapan gagasan ini sepertinya akan lebih mulus jika dilakukan bertahap berdasarkan kesiapan per daerah, per sektor.
Kelima, kalau gagasan ini akan ditindaklanjuti, harus dipersiapkan protokol asesmen risiko yang komprehensif, multidimensional: kesehatan, psikologis, sosial-ekonomi, bahkan kultural. Asesmen risiko ada di awal, tengah, dan akhir (evaluasi).
Gagasan THC tampaknya hampir senada dengan wawancara media dengan Presiden Jokowi pada 15 Mei 2020. Presiden berharap masyarakat bisa tetap produktif sehingga ekonomi tak terpuruk terus, tapi sekaligus tetap aman dari Covid-19. Pernyataan ini mengingatkan kita pada semboyan diplomasi Bung Hatta setengah abad lalu: seperti mendayung di antara ”dua karang”, dua-duanya harus terlewati tanpa kapal menjadi karam. Semoga.
(Hamdi Muluk, Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia)