Mengapa Film
Lembaga Sensor Film sejatinya wajib berterima kasih kepada film, dan masyarakat perfilman, yang memungkinkan UU Perfilman dan LSF eksis di muka bumi pertiwi ini.

Seorang warga melalui tembok yang dihiasi mural tentang program televisi di Jalan Perjuangan, Kota Cirebon, Jawa Barat, Rabu (6/1/2016).
Mengapa ada Lembaga Sensor Film? Karena ada perintah dari Undang-Undang tentang Perfilman No 33 Tahun 2009 agar pemerintah membentuk lembaga yang bersifat tetap dan independen untuk melakukan penyensoran terhadap film dan iklan film yang akan dipertunjukkan ke khalayak umum. Mengapa ada undang-undang tentang perfilman? Karena ada film.
Mengapa ada film? Karena ada perusahaan yang memproduksinya untuk memberikan hiburan kepada masyarakat dengan harapan memperoleh keuntungan. Film sendiri dapat terwujud karena ada sineas yang paham bagaimana membuat dan merealisasikan skenario yang akan ditayangkan sebagai ”gambar hidup.” Skenario bisa dibuat karena ada penulis cerita/skenario yang berimajinasi melakukan rekacipta kisah seolah kenyataan sejati.
Cerita dan skenario bisa hidup karena ada para pemeran yang mampu mewujudkan para tokoh rekaan seolah mereka melakukan, mengucapkan, merasakan, membayangkan, memikirkan, dan menghayati apa pun yang dituangkan dalam skenario, sebagaimana kenyataan hidup sehari-hari. Dan semua itu dapat dikemas secara indah dan menarik karena ada para penata kamera, artistik, musik, suara, busana, penyunting, dan para teknisi terkait yang bekerja secara profesional.
Namun, untuk apa sesungguhnya film dibikin? Untuk menyampaikan maksud dan tujuan para pembuatnya, melalui kemasan tontonan yang menghibur, mengilhami, menimbulkan haru, dan membangkitkan motivasi, serta mengingatkan mengapa dan untuk apa manusia hadir, hidup, bermasyarakat, saling mencintai, melakukan kebaikan, dan meninggalkan perilaku buruk sebagaimana digambarkan melalui para tokoh buruk dan jahat di dalam film.
Lalu, untuk siapa film dibuat atau diproduksi? Untuk para penonton yang membutuhkan hiburan sehat dan mau membayar atau membeli tiket agar dapat menikmati cerita dan menonton para pemeran yang mereka sukai dan mereka puja, yang berperan di layar perak/layar kaca/digital.
Mengapa penonton harus membayar? Supaya ada pemasukan untuk produser sehingga mereka dapat berproduksi lagi dan melakukan promosi. Juga untuk membayar para sineas, pemeran, kru, teknisi, dan semua unit terkait produksi agar mereka dapat membangun karier, mengembangkan profesi, serta menghidupi keluarga mereka.
Selain untuk produser, hasil penjualan tiket juga harus dibagi untuk pengusaha bioskop dan membayar pajak kepada negara. Namun, pada zaman kiwari, film tidak hanya bisa ditonton di bioskop, tetapi juga melalui cakram digital, televisi, dan pelbagai platform digital berbayar melalui media dalam jaringan (web/internet).

Tenaga sensor dan anggota Lembaga Sensor Film (LSF) tengah menyensor film di gedung LSF, Jakarta, Rabu (17/1/2018).
Terus, apa fungsi dan tugas Lembaga Sensor Film (LSF)? Seturut Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 2014, LSF dibentuk, antara lain, untuk memberikan ”perlindungan terhadap masyarakat dari dampak negatif yang timbul dari peredaran dan pertunjukan film dan iklan film, yang tidak sesuai dengan dasar, arah, dan tujuan perfilman Indonesia”. Serta, memberikan ”kemudahan masyarakat dalam memilih dan menikmati pertunjukan film dan iklan film yang bermutu”, dan membantu ”pemilik film dan iklan film dalam memberi informasi yang benar dan lengkap kepada masyarakat agar dapat memilih dan menikmati film yang bermutu”.
Jadi, setiap film yang akan ditayangkan ke hadapan publik (bioskop, televisi, dan semua platform digital) wajib diteliti, dinilai, dan ditentukan LSF layak tidaknya film tersebut dipertunjukan ke khalayak umum.
Setelah melakukan penelitian dan menyimpulkan bahwa film (sinetron/FTV dan lain-lain) tersebut tidak melanggar hukum dan perundang-undangan, tidak melecehkan harkat dan martabat manusia, dan tidak mengandung unsur yang mempertentangan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), maka LSF akan mengeluarkan surat tanda lulus sensor (STLS), yang di dalamnya juga diterakan bahwa film tersebut diperuntukkan bagi penonton semua umur, 13 tahun ke atas, 17 tahun ke atas, atau 21 tahun lebih, sesuai kriteria yang ditetapkan LSF.
Namun, siapakah gerangan anggota LSF yang diberikan kewenangan independen yang demikian besar, yang dapat mempengaruhi baik-buruk, hidup-matinya industri film di negeri ini? Mereka adalah orang-orang pilihan dari ratusan pelamar yang diseleksi dan menjalani pelbagai tes sebelum hasil finalnya disampaikan kepada presiden untuk kemudian diserahkan kepada DPR.
Setelah dikonsultasikan dan dimintakan rekomendasinya dari DPR (Komisi I), kemudian presiden menetapkan mereka dilantik Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yang memayungi LSF sesuai UU No 33/2009 tentang Perfilman.

Konferensi pers kegiatan Plaza Indonesia Film Festival 2020, di Jakarta, Selasa (18/2/2020). Festival berlangsung di CinemaXXI Level 6, Plaza Indonesia, 24-28 Februari 2020.
Dengan demikian, 17 anggota LSF (12 mewakili masyarakat dan 5 mewakili unsur pemerintah), itu, diberi mandat oleh para wakil rakyat di DPR dan ditetapkan melalui surat keputusan presiden untuk mewakili pemerintah dalam memberikan ”perlindungan terhadap masyarakat dari dampak negatif yang timbul dari peredaran dan pertunjukan film dan iklan film, yang tidak sesuai dengan dasar, arah, dan tujuan perfilman Indonesia”. Untuk menjalankan tugas dan fungsinya, anggota LSF dibantu 34 tenaga sensor dan Sekretariat LSF, yang seluruhnya dibiayai dan difasilitasi negara.
Mengingat keberadaan UU tentang Perfilman yang memberikan payung hukum bagi berdirinya LSF, semata-mata dibuat karena adanya film sebagai subyek—yang diproduksi pengusaha film, dibuat para insan film, dan ditayangkan para pengusaha ruang/media pertunjukan/penayangan—apa sesungguhnya kontribusi LSF bagi kemajuan dan perkembangan industri film?
Apakah keputusan LSF dalam meloloskan atau tidak meloloskan sebuah karya film, yang semata karena pertimbangan ada/tidak adanya pelanggaran terhadap hukum, perundangan, SARA, dan lain-lain, itu mampu memberikan kontribusi positif bagi industri film? Bukankah tugas dan fungsi LSF itu justru telah dan akan selalu membatasi kebebasan berekspresi dan berimajinasi para pembuatnya—yang dilindungi Undang-Undang Dasar 1945—sehingga eksistensi LSF terus dikeluhkan oleh sebagian besar masyarakat perfilman? Benarkah LSF dapat berperan dan ikut menentukan bagi laris tidaknya sebuah film, baik-buruknya sebuah film, bermutu atau tidaknya sebuah film?
Sebab, tanpa film dan ekosistem perfilman, tidak akan pernah mungkin ada dan lahir UU tentang Perfilman dan LSF di dalamnya!
Betapa pun, UU Perfilman dan LSF sejatinya wajib berterima kasih kepada film dan masyarakat perfilman, yang memungkinkan UU Perfilman dan LSF eksis di muka bumi pertiwi ini. Sebab, tanpa film dan ekosistem perfilman, tidak akan pernah mungkin ada dan lahir UU tentang Perfilman dan LSF di dalamnya!
Untuk mendekatkan LSF dengan masyarakat perfilman dan masyarakat pencinta film, agar LSF tidak hanya dianggap sebagai penghambat utama bagi kebebasan berekspresi dan berimajinasi, melalui larangan, saran, penilaian dan keputusannya atas nama negara, salah satu jalan yang harus dilakukan LSF adalah ”mencintai dan mengapresiasi film dengan sepenuh hati”.
Hanya dengan tekad dan itikad ”mencintai dan mengapresiasi film dengan sepenuh hati” itulah, LSF dapat menyampaikan ”rasa terima kasih”-nya kepada film, yang memungkinkan LSF eksis dan hadir. Hanya dengan semangat ”mencintai dan mengapresiasi film dengan sepenuh hati” itulah, pelbagai larangan, saran, penilaian, dan keputusan LSF akan dapat diterima dengan sepenuh hati oleh masyarakat film dan masyarakat pencinta film.
Salah satu cara untuk mewujudkan hasrat tekad dan itikad ”mencintai dan mengapresiasi film dengan sepenuh hati” itu adalah dengan memberikan ”penghargaan” atau ”apresiasi” terhadap setiap karya film yang dinilai ”baik”, ”bagus”, dan ”bermutu.” Pemberian ”penghargaan” atau ”apresiasi” itu bukan dimaksud untuk ”menghukum” karya yang ”tidak baik”, ”tidak bagus”, dan ”tidak bermutu”, melainkan untuk memberikan harapan, dorongan, rangsangan, dan pujian kepada karya film yang mendapatkan apresiasi tinggi dan tertinggi dari LSF.
Sesuatu yang pasti akan menjadi pedoman dan panduan, tidak hanya bagi masyarakat film, tapi juga masyarakat pencinta film. Sesuatu yang diharapkan dapat menumbuhkan industri film ke arah yang lebih baik, lebih produktif, dan lebih dicintai masyarakat.
Sesuatu yang pasti akan menjadi pedoman dan panduan, tidak hanya bagi masyarakat film, tapi juga masyarakat pencinta film.
Apabila LSF dapat melakukan hal itu, yakni memberikan ”penghargaan” dan ”apresiasi” terhadap karya film yang dinilai ”baik” ”bagus” dan ”bermutu” setiap hari, itu akan merupakan langkah awal yang out of the box bagi LSF periode 2020-2024. Sesuatu yang belum pernah dilakukan LSF sepanjang sejarahnya. Sesuatu yang akan menjadi legacy dan milestone bagi LSF, kini dan di kemudian hari.
Pemberian penghargaan itu tidak hanya akan disematkan/dipasang di setiap film, iklan film, dan materi promosi film yang mendapatkan STLS setiap hari, tapi juga bisa diwujudkan di dalam ajang pemberian ”Penghargaan LSF” setiap tahun, yang merupakan akumulasi dari film-film yang meraih ”penghargaan” tertinggi setiap hari.
Dengan demikian, kontribusi positif LSF terhadap film, masyarakat film, dan masyarakat pencinta film akan semakin melengkapi penghargaan serupa, dengan kriteria yang mungkin berbeda, yang sudah dilakukan pelbagai lembaga lain selama ini. Insya Allah.
Noorca M Massardi
adalah pengarang dan Anggota LSF (2020-2024)