Konflik Kepentingan Arkeologi
Arkeologi memang dunia ”unik” dan ”penuh misteri”. Kita masih belum tahu apa saja yang masih tersimpan di dalam tanah. Yang jelas, masyarakat awam dan pemerintah harus peduli tinggalan budaya nenek moyang.
Tanggal 14 Juni 2020 merupakan Hari Purbakala ke-107. Ada sederet keprihatinan terkait kepedulian terhadap tinggalan purbakala.
Disiplin arkeologi atau ilmu purbakala hampir selalu bersinggungan dengan masyarakat. Hal ini karena tinggalan arkeologi ada di mana-mana: di sawah, di bukit, di pekarangan rumah warga, di lahan perkebunan pemerintah, dan di lokasi tak terduga lain. Jangan heran, banyak kegiatan arkeologi terhambat karena harus bernegosiasi dengan pemilik lahan.
Arkeologi telah berjalan dalam waktu panjang, sejak munculnya manusia purba pertama. Dalam waktu panjang itu telah terjadi berbagai peristiwa, baik yang dilakukan manusia sendiri maupun bencana alam.
Periode dalam arkeologi
Mengingat dalam arkeologi dikenal beberapa periode, tentu semakin marak tinggalan-tinggalan arkeologi yang ada di Nusantara. Masa prasejarah, yang berjalan dalam rentang waktu paling panjang, banyak meninggalkan warisan. Sebagian sudah muncul dan dapat kita saksikan sekarang, tetapi entah berapa banyak lagi yang masih tersembunyi di dalam tanah.
Masa prasejarah berakhir pada abad ke-4/5 Masehi sejak ditemukannya Prasasti Yupa di Kalimantan Timur.
Berikutnya muncul periode klasik. Pada masa ini terdapat beberapa kerajaan bercorak Hindu-Buddha, seperti Kutai, Sriwijaya, Mataram Kuno, Singhasari, dan Majapahit. Dari masa ini kita juga mendapat banyak warisan, seperti candi, keramik, arca, senjata, mata uang, dan perhiasan. Tinggalan-tinggalan budaya itu bisa disaksikan di lokasi dalam bentuk museum lapangan untuk benda-benda berukuran besar. Sebagian lagi dilestarikan di dalam museum untuk benda-benda berukuran kecil.
Setelah periode Hindu-Buddha, muncul periode Islam. Beberapa kerajaan atau kesultanan berdiri di banyak tempat, seperti Samudera Pasai, Palembang, Jambi, Cirebon, Banten, Gresik, Makassar, Buton, bahkan sampai Ternate-Tidore. Warisan dari masa ini, antara lain, masjid, keraton, mata uang, wadah, dan senjata.
Periode terakhir yang dikenal adalah kolonial. Berbagai bangsa asing pernah masuk ke sini dan meninggalkan jejak, seperti benteng, kelenteng, gereja, dan bangunan.
Penggalian liar
Kalau saja masyarakat tidak memberikan laporan kepada petinggi Hindia-Belanda, mungkin Candi Borobudur dan Candi Prambanan lama muncul ke permukaan. Ketika pertama kali ditemukan, kedua candi masih tertutup semak belukar. Atas usaha pemerintah kolonial, yakni dengan pembersihan wilayah sekitar dan pemugaran, kedua candi bisa tampak dengan penuh keanggunan.
Pekerjaan arkeologi yang khas adalah ekskavasi. Ekskavasi menggunakan metode dan teknik yang cermat dilengkapi pengukuran dan perekaman. Karena bersifat perusakan, ekskavasi harus dilakukan hati-hati sekali oleh orang yang berkompeten.
Keberadaan tinggalan-tinggalan arkeologi, baik yang masih berada di dalam tanah maupun air, dilindungi UUD 1945. Sementara pekerjaan ekskavasi diatur dalam Undang-Undang Cagar Budaya 2010. Jadi, ekskavasi tidak boleh dilakukan sembarang orang, apalagi untuk tujuan mencari keuntungan pribadi.
Ekskavasi demikian bersifat ilegal, biasa disebut penggalian liar. Mereka bisa dituntut secara pidana.
Begitu juga pencurian, termasuk pencurian harta karun dari kapal tenggelam. Ironisnya, pencurian besar-besaran pernah dilakukan sindikat internasional. Bahkan, hasil curian dilelang di mancanegara dengan menghasilkan jutaan dollar.
Temuan tidak disengaja
Masyarakat amat berperan di dunia arkeologi. Sepanjang sejarah arkeologi di Indonesia, belum pernah ada penemuan fantastis atau spektakuler yang dilakukan dengan ekskavasi murni. Meskipun menggunakan hipotesis lalu dianalisis berdasarkan sumber-sumber sejarah, ekskavasi hanya menemukan benda-benda yang tergolong biasa.
Memang tak penting benda fantastis atau biasa saja, yang jelas konteks antar-temuan tetap dikaji para arkeolog. Dengan demikian, arkeolog akan mengetahui fungsi benda tersebut dan setidaknya tarikh atau pertanggalan benda tersebut.
Penemuan fantastis secara tidak disengaja justru ditemukan masyarakat awam penggarap tanah. Candi Sambisari, misalnya, ditemukan seorang petani ketika sedang menggali tanah. Pertama kali tersembul bagian batu berukir. Dari hasil ekskavasi barulah diketahui bentuk utuh candi. Candi Sambisari tertutup pasir letusan gunung berapi selama ratusan tahun.
Seorang penggarap tanah pula yang menemukan banyak perhiasan emas di daerah Klaten. Kerja selanjutnya tentu saja dilakukan melalui ekskavasi agar konteks temuan tidak terlepas. Terhadap masyarakat yang berjasa itu, pemerintah telah memberikan imbal jasa dalam bentuk kompensasi.
Pada dasarnya masyarakat awamlah yang berperan menemukan benda-benda arkeologi. Sampai kini sulit dihitung banyaknya penemuan tidak disengaja seperti itu.
Peduli cagar budaya
Selama ini kita memiliki dua golongan masyarakat soal cagar budaya atau kepurbakalaan. Pertama, mereka yang peduli cagar budaya. Dengan sigap, mereka melaporkan adanya temuan purbakala, memberikan advokasi kepada masyarakat awam, dan menentang pembangunan yang diperkirakan akan merusak kawasan cagar budaya.
Kedua, mereka yang merusak cagar budaya. Banyaknya penggalian liar, penyelaman liar, dan pencurian tinggalan purbakala menunjukkan bahwa masih ada golongan masyarakat yang lebih mementingkan faktor ekonomi untuk pribadi daripada menyelamatkan tinggalan budaya untuk generasi sekarang dan mendatang.
Tinggalan-tinggalan seperti itulah yang menjadi incaran para pemburu harta karun. Nilai ekonomis tinggalan-tinggalan itu tentu sangat tinggi, apalagi yang berupa perhiasan emas. Nilai ekonomi yang tinggi menjadi daya tarik, terlebih dengan tumbuh suburnya kolektor barang antik.
Sebaliknya, kepedulian masyarakat terlihat ketika pada pembangunan Jalan Tol Pandaan-Malang di Jawa Timur pada Maret 2019 terkuak sebuah situs purbakala. Kini situs tersebut dapat diselamatkan.
Ketika itu tim arkeologi menemukan struktur batu bata yang merupakan bagian dari bangunan kuno. Sebelumnya, di sekitar pembangunan jalan tol itu, masyarakat menemukan sejumlah benda purbakala yang berserakan akibat tergerus alat berat. Mereka saling berebut harta karun tersebut. Bahkan, ada yang menjual ke sejumlah penadah dengan harga lumayan.
Masih dari Jawa Timur, Mei 2019 lalu terjadi polemik perluasan pabrik tripleks. Para pegiat budaya setempat berpendapat keberadaan pabrik akan merusak situs purbakala. Pabrik tersebut berlokasi di Situs Pekauman, Bondowoso, yang dikenal memiliki peninggalan megalitik (batu besar). Karena ada keberatan sebagian warga, pembangunan tersebut dihentikan sementara oleh instansi berwenang sambil menunggu kajian para pakar.
Konflik kepentingan
Sampai sekarang masih saja terjadi konflik kepentingan antara pelestarian dan pembangunan fisik atau antara arkeologi dan masyarakat/pemerintah. Kalau kita membuka catatan-catatan lama, terlihat bagaimana Hotel Des Indes telah berubah menjadi pusat pertokoan, Situs Tugu nyaris hilang karena pembangunan jalan, Situs Kalibata telah tertutup perumahan mewah, Gedung Societeit de Harmonie tergerus halaman parkir, dan Situs Buni di Bekasi dijarahi warga. Begitulah yang terjadi di Jakarta sejak 1970-an tanpa bisa dicegah siapa pun meskipun banyak kalangan sudah berteriak lantang.
Yang ironis terjadi di kawasan Trowulan, Mojokerto. Sejak 1960-an para perajin semen merah mengambili bata-bata kuno di kawasan itu. Sayang masalah relokasi terganjal dana. Hingga masa 2000-an konflik kepentingan masih terjadi di sana. Masalah ekonomi penduduk dan pelestarian cagar budaya tampak masih sulit berjalan sejajar.
Selain dengan masyarakat awam, konflik kepentingan juga terjadi dengan penguasa dan pengusaha sejak lama. Pada 1990-an, misalnya, ada rencana dari kalangan tertentu membuat kegiatan motokros di sela-sela reruntuhan percandian di Prambanan. Meskipun para arkeolog sudah mengajukan keberatan, balapan motor itu tetap berlangsung. Ternyata penyelenggaraan itu didukung penguasa dan tokoh olahraga balap di Jakarta.
Sampai sekarang masih saja terjadi konflik kepentingan antara pelestarian dan pembangunan fisik atau antara arkeologi dan masyarakat/pemerintah.
Pernah juga seorang gubernur menginstruksikan supaya melengkapi bagian-bagian yang kosong atau hilang pada Candi Borobudur. Beliau meminta arca yang sudah tidak punya kepala dibuatkan kepala. Untung saja kepala daerah itu mau memahami keberatan para arkeolog.
Sekitar dua bulan sebelum pandemi, para arkeolog didukung banyak pencinta sejarah dan budaya juga menolak rencana pembuatan sirkuit Formula-E di kawasan Monas yang bersejarah. Akankah pencemaran arkeologi terjadi lagi di Monas mengingat uang muka kegiatan sudah diberikan kepada pihak penyelenggara?
Arkeologi memang dunia ”unik” dan ”penuh misteri”. Kita masih belum tahu apa saja yang masih tersimpan di dalam tanah. Apakah masih ada candi yang lebih besar daripada Borobudur? Apakah masih ada kerajaan besar selain Majapahit dan Sriwijaya? Apakah ada berton-ton harta karun di dalam goa? Yang jelas, masyarakat awam dan pemerintah harus peduli tinggalan budaya nenek moyang.
(Djulianto Susantio, Pemerhati Arkeologi, tinggal di Jakarta)