”Tao Guang Yang Hui” Tak Berlaku Lagi?
Bagi dunia, istilah ”normal baru” mungkin juga berlaku dalam hubungan internasional, terkait relasi China-AS. Yaitu, dunia yang terbiasa menyaksikan ketegangan China-AS.
Tao guang yang hui, tetaplah merendah. Ungkapan ini menjadi falsafah terkenal sebagai moto diplomasi China pada era Deng Xiao Ping dekade 1990-an. Relatif, di permukaan, termasuk di media massa pada dekade itu, China diam saja. Setiap kali ada serangan verbal eksternal atas masalah domestik di China, jawaban-jawaban China tidak muncul atau tidak mencolok.
Sikap merendah, bahkan terkesan membiarkan dirinya ”babak belur” walau diserang terus, kini sudah tidak berlaku lagi. Harian Inggris, The Financial Times, pada 2017 sudah mencuatkan perubahan diplomasi China ini.
Harian Inggris ini menyajikan tulisan tersebut berdasarkan pidato Presiden China Xi Jinping di hadapan Kongres Nasional Partai Komunis China, 18 Oktober 2017. Dalam bahasa yang tertata sepanjang 66 halaman, Presiden Xi mengatakan, ”Kita akan memperbaiki kapasitas dalam komunikasi internasional, seperti ceritakanlah dengan baik kisah-kisah dari China, hadirkan pandangan yang benar soal China, multidimensi dan panoramik, dan tingkatkan kekuatan lunak kita.”
Pidato itu hendak mengatakan apa? Pidato itu juga menekankan tentang karakteristik sosial, politik, dan ideologi China yang harus ditegakkan sesuai dengan khas China. Ditegaskan juga soal stabilitas, integritas, dan kedaulatan wilayah China.
”Kami berdiri kukuh menjaga kedaulatan dan integritas teritorial dan tidak pernah membiarkan tragedi sejarah terulang, yakni perpecahan nasional. Setiap aktivitas separatis jelas menghadapi oposisi yang pasti dari rakyat China. … Kami tidak akan pernah membiarkan siapa pun, organisasi mana pun, atau partai politik apa pun, kapan saja atau dalam bentuk apa saja, untuk memisahkan wilayah dari teritori China! Kami menentang tindakan seseorang yang memaksakan kehendaknya kepada orang lain atau mencampuri urusan dalam negeri orang lain.”
Menjawab Menlu Inggris
Dalam konteks komunikasi internasional China dan juga dengan kaitannya pada integritas teritorial itu, penerapan pidato Presiden Xi bisa terlihat. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian, pada jumpa pers rutin, Kamis, 4 Juni 2020, di Beijing, mengecam pernyataan Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab.
Pada Rabu (3/6/2020), Raab di hadapan parlemen Inggris mengatakan, China telah melemahkan prinsip ”satu negara, dua sistem”. Raab bicara dalam konteks status Hong Kong. Raab melanjutkan, keputusan China menerapkan hukum baru atas Hong Kong memunculkan konflik langsung dengan tanggung jawab internasional China.
Raab menekankan, Inggris akan berpihak kepada Hong Kong dan menyerukan penggalangan aliansi internasional untuk mendukung perjuangan Hong Kong.
Bagi China, krisis Hong Kong tidak mendadak muncul begitu saja. Krisis Hong Kong adalah hasil provokasi asing. Bagi China, tidak ada persoalan dengan kebijakan ”satu negara, dua sistem”, tetapi jika ada intervensi asing jelas akan menghadapi tekanan.
Terhadap Raab, jubir Zhao Lijian menyatakan, ”Inggris tidak memiliki yurisdiksi atau pengawasan atas kota China (Hong Kong).” Zhao menegaskan tidak ada komitmen China kepada Inggris terkait Hong Kong dan juga tidak ada kewajiban internasional, seperti yang dikatakan Raab dalam perjanjian penyerahan Hong Kong ke China pada 1997.
Menjadi garang
Ya, China memang berubah menjadi garang terhadap asing, terutama kepada Barat dan khususnya kepada AS. China mendamprat juga Australia, Norwegia, atau negara mana saja yang dianggap oleh China sebagai mencampuri urusan domestik China, atau mengkritik China dalam konteks relasi internasional, seperti dituliskan di situs The Atlantic.
Garang kepada Barat dan juga membela banyak negara yang dianggap China dalam tekanan asing. Ini juga tampaknya menjadi kebijakan internasional China.
”Tiongkok tetap teguh dalam menjalankan kebijakan luar negeri yang independen dan damai. … Kami berusaha untuk menegakkan keadilan dan keadilan internasional, dan menentang tindakan seseorang yang memaksakan kehendak kepada orang lain atau mencampuri urusan dalam negeri orang lain serta menentang praktik orang kuat menggertak pihak yang lemah,” demikian pidato Presiden Xi pada 2017.
Maka, dalam konteks ini, misalnya, China tidak mau tunduk pada sanksi AS atas Iran. Dalam kaitan dengan sanksi unilateral AS atas Iran, pada 24 April 2019 jubir Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang, mengatakan bahwa China menentang yurisdiksi AS terhadap negara lain. Dalam arti, China tidak bisa tunduk kepada AS, yang secara unilateral mengenakan sanksi, tetapi negara lain harus mengikuti AS. ”Kerja sama China dengan Iran memiliki legitimasi dan harus dihormati dan dilindungi,” demikian Geng.
Melawan Soros
China juga tidak diam ketika George Soros mendukung Presiden AS Donald Trump agar menghadapi China dengan tekanan. Soros menuliskan artikel berjudul ”Will Trump Sell Out the US on Huawei?” pada 9 September 2019.
Soros mendorong Trump menggusur Huawei yang dianggap berbahaya dan akan menguasai teknologi jika dibiarkan leluasa. Dengan demikian, Soros meminta Trump menutup akses Huawei terhadap teknologi AS.
Artikel Soros ini dibalas dengan tulisan berjudul ”’Defeating China’ is wishful thinking from Soros” oleh Zhang Yugui, Dekan School of Economics & Finance di Shanghai International Studies University, pada 6 Oktober 2019. Artikel ini muncul di harian berhasa Inggris China, The Global Times. ”Menarik untuk mengetahui mengapa Soros terobsesi mengalahkan China,” demikian Zhang.
”Soros telah memainkan peran inkonsisten dalam pasar uang dan soal perubahan masyarakat. Dia adalah pemangsa keuangan yang dipengaruhi filosofi liberal dan Darwinisme pasar. Dia tidak saja memperlihatkan tipikal seorang kapitalis Wall Street yang rakus, tetapi juga memainkan peran sebagai pembela ideologi,” lanjut artikel tersebut.
Zhang menuliskan, Soros meraih untung dengan menyerang pasar Inggris, memicu krisis Asia dan melakukan ”short sell” terhadap Yen Jepang. ”China menentang kepemimpinan perdagangan dan keuangan pimpinan AS. China tidak menerima ’peraih’ untung seperti Soros yang memiliki perasaan superior,” lanjut Zhang.
Keberadaan peraih untung di pasar juga menjadi bagian dari pidato Presiden Xi pada pidato tahun 2017. ”Partai kita sangat paham secara mendalam, untuk meraih kembali pengembangan nasional, adalah langkah penting untuk menumbangkan tiga bukit imperialisme, feodalisme, dan kapitalisme birokrat yang menekan rakyat China….”
Michael Schuman, penulis buku The Miracle: The Epic Story of Asia’s Quest for Wealth and Confucius: And the World He Created, menuliskan bahwa perlawanan China terhadap Barat seperti sekarang ini bukan hal baru. Hal itu sudah dimulai ketika kedatangan Portugal ke China pada 1517.
Bagi China, perang pada kesemena-menaan Barat tidak akan berhenti dalam waktu dekat. ”Ini akan berlangsung lama,” demikian Wang Jisi, profesor di School of International Studies, Peking University, dalam artikelnya berjudul ”Uphold three bottom lines for China-US relations”.
Meski relasi AS-China sulit, warga AS keturunan China pertama yang menjadi Dubes AS untuk China, Julia Chang Bloch, memberi saran. Salah satu upaya menjaga relasi AS-China adalah dengan menjaga pilar ketiga, kesinambungan relasi antara warga AS dan China.
Pilar pertama yang disarankan Wang Jisi adalah mencegah perang bilateral AS-China dan pilar kedua meneruskan relasi ekonomi bilateral.
Jika pilar ini tidak berhasil, Perdana Menteri Li Keqiang memiliki pernyataan. ”Mereka bisa saja berisik, tetapi pada akhirnya, semuanya berpulang juga pada pendalaman kekuatan ekonomi dan masyarakat,” kata PM Li Keqiang pada 28 Mei. Pendekatan China adalah fokus pada stabilitas domestik dan terarah ketimbang seperti Barat, yang menyulut ketegangan dunia.
Namun, Wang Jisi menuliskan, ”Hanya soal waktu dan kesempatan bagi relasi AS-China untuk kembali ke jalur normal sepanjang tiga pilar utama dijalankan….”
Posisi bangsa lemah
Wang ada benarnya. Pertarungan itu tidak mudah dan akan berlangsung lama. Dunia pun turut dibuat takut oleh Barat tentang bahaya China yang tidak henti-hentinya didengungkan. Hanya saja, China pun sangat benar dengan sepak terjang neoliberal dan sejenisnya.
Pidato Presiden Xi pada 2017 memberikan jaminan. ”China tetap kukuh pada komitmen untuk memperkuat persahabatan, kerja sama dengan negara lain dengan lima prinsip dasar tentang koekesistensi, dan mendorong basis baru dalam relasi internasional yang menggambarkan sikap saling respek, adil, dan kerja sama saling menguntungkan.”
”China akan memperdalam relasi dengan tetangga seturut prinsip persahabatan, kejujuran, saling menguntungkan, inklusif, dan mendorong kemitraan dengan tetangga.”
”Pembangunan China tidak akan memberikan ancaman kepada negara lain. Lepas daripada tahapan mana pembangunan sebuah negara sedang berlangsung, China tidak akan pernah mencari hegemoni atau tidak akan terlibat pada ekspansi,” demikian lanjutan pidato Presiden Xi.
Bagi dunia, istilah ”normal baru” mungkin juga berlaku dalam hubungan internasional, terkait relasi China-AS. Yaitu, dunia yang terbiasa menyaksikan ketegangan kedua negara, sembari seperti kata PM Li Keqiang, perkuat sisi domestik di negara masing-masing. Alias tidak hanya menjadi penonton dan sibuk mengeluh.