Dengan adanya ketentuan penundaan pelaksanaan pemilu berdasarkan Pasal 122A ataupun Pasal 201A tersebut, tentu harus dipikirkan lebih lanjut beberapa konsekuensi kebijakan.
Oleh
W Riawan Tjandra
·4 menit baca
Kompas/Wawan H Prabowo
Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia membuka rapat dengar pendapat bersama Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (3/6/2020). Rapat tersebut membahas rasionalisasi anggaran pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020.
Mempertanyakan pilkada pada saat pandemi Covid-19 saja sudah menjadi problematik tersendiri, apalagi memikirkan jawabannya. Jika berangkat dari perspektif konstitusi, lebih tepat jika dimulai dengan membaca paradigma bahwa sesungguhnya konstitusi merupakan resultante (hasil kesepakatan) sesuai kebutuhan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan (KC Wheare, 1975). Dengan demikian, materi muatan konstitusi bukanlah masalah salah dan benar karena hasil dari proses pilihan politik (Mahfud MD, 2010).
Inilah titik tolak untuk mencermati materi muatan UUD Negara RI 1945. UUD ini terdiri atas dua karakter bangunan norma konstitusional. Pertama, bangunan norma yang jadi landasan konstitusional kehidupan bernegara dan sistem hukum yang bersifat normal/reguler. Kewenangan pembentukan UU oleh Presiden dan DPR sebagaimana diatur Pasal 5 dan 20 mengandaikan sistem landasan konstitusional bagi kehidupan bernegara yang bersifat normal.
Kedua, bangunan norma yang jadi landasan konstitusional kehidupan bernegara dan sistem hukum yang bersifat darurat (extraordinary). Dasar kewenangan pembentukan perppu yang diatur pada Pasal 22 Ayat (1) UUD Negara RI 1945 jadi dasar konstitusional penyelenggaraan kekuasaan negara dalam situasi darurat. Namun, Pasal 22 Ayat (2) dan (3) UUD Negara RI 1945 juga mengharuskan persetujuan DPR terhadap perppu yang dihasilkan Presiden sebagai perwujudan asas demokrasi ketatanegaraan dan asas pemerintahan bersifat terbatas (limited government).
Kondisi darurat ini telah membatasi berlakunya kehidupan konstitusional yang bersifat normal.
Lahirnya Perppu No 2/2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No 1/2015 tentang Penetapan Perppu No 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi UU di masa pandemi saat ini telah menegaskan berlakunya kondisi ketatanegaraan yang bersifat darurat. Kondisi darurat ini telah membatasi berlakunya kehidupan konstitusional yang bersifat normal. Kebijakan untuk mengatasi pandemi yang mengharuskan dilakukannya pembatasan sosial/fisik dan bekerja dari rumah menjadi halangan serius untuk berjalannya kehidupan demokrasi yang bersifat normal yang mengharuskan partisipasi pemilih dalam memberikan suaranya.
Penundaan pemilihan
Perppu No 2/2020 ini bangunan norma yang lahir dari landasan konstitusional kehidupan bernegara dan sistem hukum yang bersifat darurat yang merupakan implementasi Pasal 22 Ayat (1) UUD Negara RI 1945. Paling tidak ada tiga hal prinsip yang diatur Perppu No 2/2020.
Pertama, dalam hal pada sebagian wilayah pemilihan, seluruh wilayah pemilihan, sebagian besar daerah, atau seluruh daerah terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, bencana non-alam, atau gangguan lain yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan pemilihan atau pemilihan serentak tak dapat dilaksanakan, dilakukan pemilihan lanjutan atau pemilihan serentak lanjutan, dimulai dari tahapan penyelenggaraan pemilihan atau pemilihan serentak yang terhenti.
Spanduk ajakan memerangi politik uang dan politisasi SARA saat pilkada terpasang di kawasan Pamulang Timur, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (31/3/2020). Dewan Perwakilan Rakyat, pemerintah, dan penyelenggara pemilu sepakat menunda pilkada serentak 2020 melalui penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang karena wabah penyakit Covid-19.
Kedua, otoritas penundaan pelaksanaan pemilihan serentak bagi kepala daerah itu diletakkan di tangan KPU yang mengharuskan adanya persetujuan tripihak: KPU, pemerintah, DPR. Tata cara, mekanisme penundaan, dan persetujuan oleh Perppu No 2/2020 diserahkan kepada kewenangan regulatif KPU melalui peraturan KPU. Ketentuan ini terlihat ingin memadukan perspektif demokrasi konstitusional yang memberikan kewenangan mandiri kepada KPU di ranah pemilu, tetapi tanpa melepaskan dari situasi dan kondisi darurat yang ditetapkan oleh Presiden berdasarkan Pasal 22 Ayat (1) UUD Negara RI 1945.
Tetap terbuka ruang bagi KPU untuk menyesuaikan dengan perkembangan pengaturan kondisi darurat. Namun, tentu saja di sini harus tetap dicermati pengaruh keberadaan Perppu No 1/2020 yang mengatur kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan dalam hal pembiayaan demokrasi di tingkat lokal.
Lahirnya Perppu No 1/2020 tentu saja berimplikasi pada refocusing dan realokasi sejumlah mata anggaran di pusat ataupun daerah. Padahal, cukup banyak biaya pendukung pelaksanaan pilkada serentak lanjutan yang mengharapkan pembiayaan dari APBN/APBD.
Ketiga, pemungutan suara serentak yang sebelumnya diatur pada Pasal 201 Perppu No 1/2014 yang ditetapkan melalui UU No 1/2015 ditunda oleh Pasal 201A Perppu No 2/2020 untuk dilaksanakan pada Desember 2020 sebagai akibat terjadinya bencana non-alam. Jika tetap tak dapat diselenggarakan pada Desember 2020, kembali diserahkan ke KPU untuk membuat keputusan penundaan dengan melibatkan persetujuan tripihak seperti disebutkan di atas (diatur pada Pasal 122A Perppu No 2/2020).
Kompas/Heru Sri Kumoro
Mural tentang pemilihan umum yang diinisiasi Komisi Pemilihan Umum menghiasi pagar tembok di Jalan Kebon Jahe, Kota Tangerang, Banten, Rabu (25/3/2020).
Konsekuensi penundaan
Dengan adanya ketentuan penundaan pelaksanaan pemilu berdasarkan Pasal 122A ataupun Pasal 201A tersebut, tentu harus dipikirkan lebih lanjut beberapa konsekuensi kebijakan. Pertama, perilaku politik dari pihak-pihak petahana untuk memanfaatkan momentum kondisi darurat dengan membuat kebijakan-kebijakan yang memberikan efek elektoral secara unfairness bagi kepentingan politiknya dengan memanfaatkan berbagai sumber daya kebijakan sebagai akibat penundaan pelaksanaan pemilihan kepala daerah tersebut.
Kedua, ketidakpastian alokasi pendanaan sistem pilkada yang memungkinkan terjadinya pergeseran waktu pencairan anggaran pada waktu yang sangat sempit dan berimpitan dengan batas waktu pertanggungjawabannya pada akhir tahun fiskal, yaitu akhir Desember, yang lazimnya mekanisme penyusunan laporan anggarannya oleh setiap entitas publik sudah dimulai sejak pertengahan Desember.
Dan, ketiga, kemungkinan ketidakpastian kerangka kerja (framework) KPU/KPUD yang bersimbiosis dengan rencana kerja dan anggaran untuk tahun 2021 yang tentunya secara normatif seharusnya sudah dimulai penyusunannya pada 2020 ini sebagai dampak ketidakpastian berakhirnya kondisi darurat pandemi Covid-19 yang dihadapi. Perlu ada pengkajian dan kebijakan antisipatif terhadap berbagai potensi permasalahan terkait pemilihan kepala daerah ini.
(W Riawan Tjandra, Pengajar Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta)