Kerja sama antariman adalah salah satu modal sosial yang dapat memperkuat ikhtiar bersama mengatasi pandemi Covid-19. Agama memiliki kekuatan sosial dan spiritual yang melampaui aspek-aspek material dan finansial.
Oleh
Abdul Mu’ti
·4 menit baca
Suatu pagi, Ramadhan hari kedua (26/4/2020), Victor Rambath dari Save the Children berkirim kabar inspiratif lewat Whatsapp. Dia bercerita tentang tiga anak difabel dan pengasuh di sebuah panti asuhan Kristen di Condet, Jakarta Timur, yang positif terdampak virus korona. Karena keadaan dan berbagai kesulitan, tidak ada satu rumah sakit pun yang bersedia merawat dan menerima anak-anak difabel ini.
Berbekal keyakinan bahwa akan selalu ada keajaiban di balik semua kesulitan, Victor berbagi masalah kepada sejawat di Humanitarian Forum Indonesia (HFI), organisasi kemanusiaan lintas iman yang bermarkas di Jakarta. Keyakinan itu ternyata benar. Dua organisasi filantrofi dan kemanusiaan Islam, Dompet Dhuafa dan Baznas, langsung bergerak menyiapkan sumber daya manusia (SDM) dan dana.
Tanggung jawab bersama
Kisah nyata di atas sungguh penuh makna. Pertama, sebuah cerita ”biasa” , betapa beratnya derita kaum papa akibat virus korona. Media massa tiada henti menampilkan narasi ketakutan dan penderitaan. Paul F Knitter (2006: 86-101) menyebutkan, ada empat penderitaan yang menimpa umat manusia: (a) penderitaan badaniah karena kemiskinan, (b) penderitaan bumi (ekologi) karena penyalahgunaan, (c) penderitaan rohaniah karena viktimisasi, dan (d) penderitaan karena kekerasan.
Anak-anak difabel dan banyak lagi kisah yang tak terungkap hanyalah sebagian yang mengalami empat jenis penderitaan akibat Covid-19. Terlalu banyak cerita pilu.
Kedua, adanya sebuah realitas betapa di tengah berbagai masalah terdapat sekelompok masyarakat yang berani ”melintas batas”. Mereka mengambil dua risiko. Pertama, mempertaruhkan nyawa demi menolong sesama. Kedua, risiko kemungkinan adanya cercaan dan hujatan karena dianggap telah ”menyelewengkan” sedekah untuk mereka yang berbeda iman. Harus diakui, persoalan ini masih menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah di tubuh umat Islam.
Ketiga, dalam diri bangsa Indonesia terdapat kesadaran kolektif bahwa pandemi Covid-19 adalah masalah dan tanggung jawab bersama. Tanpa menghiraukan imbalan materi dan popularitas politik, para pejuang kemanusiaan terus berbuat, tak pernah menghujat. Di mata mereka, masalah tak akan pernah bisa diatasi dengan caci maki.
Ketika pemerintah tak berdaya, mereka bergotong royong, terus bergerak mengimbau kekuatan yang terserak. Kelompok pelintas batas yang mampu melewati tembok eksklusivisme dan sekat primordial adalah modal sosial bangsa menyelesaikan masalah korona.
Memperkuat kerja sama
Kerja sama antariman adalah salah satu modal sosial yang dapat memperkuat ikhtiar bersama mengatasi pandemi Covid-19. Agama memiliki kekuatan sosial dan spiritual yang melampaui aspek-aspek material dan finansial. Meskipun ada sejumlah kecil angggota jemaah yang tak hirau dengan wabah korona, sumbangan umat beragama dalam melayani korban korona tak dapat dipandang sebelah mata. Ormas-ormas agama mengerahkan sukarelawan dan dana miliaran rupiah untuk membantu sesama.
Kerja sama antariman dalam penanganan Covid-19 dibangun di atas tiga landasan. Pertama, landasan teologis. Di mata kaum beriman, menolong masyarakat korban Covid-19 adalah panggilan iman. Memang tak jarang, agama membuat hubungan antarmanusia jadi renggang. Pemahaman ketuhanan dan peribadatan yang sempit acap memantik ketegangan. Namun, dengan pemahaman luas dan terbuka, agama-agama memiliki kesamaan nilai dan ajaran. Islam, Kristen, dan Yahudi memiliki kesamaan ajaran tentang makna kehidupan dan kemanusiaan.
Dalam Al Quran disebutkan, barang siapa menyelamatkan seorang manusia, maka dia telah menyelamatkan seluruh umat manusia. Sebaliknya, barang siapa membunuh manusia tanpa dosa, maka dia laksana membunuh seluruh umat manusia. Ajaran Al Quran ini juga termaktub dalam Injil. Ajaran dan nilai-nilai universal agama adalah kekuatan moral dan spiritual yang mempersatukan dan menggerakkan.
Kerja sama antariman adalah salah satu modal sosial yang dapat memperkuat ikhtiar bersama mengatasi pandemi Covid-19.
Kedua, landasan kemanusiaan universal. Panggilan kemanusiaan tak hanya terdapat di dalam agama, tetapi juga peradaban dunia. Sebagaimana dinyatakan Seyyed Hossein Nasr dalam The Heart of Islam, penderitaan sesama adalah cara Tuhan membuka pintu kebaikan bagi manusia. Tangan-tangan pengemis yang meminta-minta adalah tangan-tangan malaikat yang mengantarkan manusia ke kemuliaan.
Al Quran diturunkan untuk menciptakan masyarakat kasih sayang: masyarakat yang sadar bahwa untuk meraih kebahagiaan hakiki dan menerima rahmat Tuhan, manusia harus menunjukkan kasih sayang dan kebaikan kepada orang lain. Masyarakat kasih sayang bukanlah masyarakat yang didasarkan atas kompetisi kejam, ego individual, dan kepentingan komunal. Dalam konteks Indonesia, landasan kemanusiaan diilhami sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Ikatan kemanusiaan adalah simpul kerja sama antarkaum beriman.
Ketiga, landasan kebangsaan. Indonesia adalah milik seluruh bangsa Indonesia. Rasa memiliki ini melahirkan tanggung jawab kebangsaan untuk memajukan bangsa dan negara. Memperhatikan kinerja selama beberapa bulan, para analis menyimpulkan betapa pemerintah sangat kedodoran. Birokrasi tak bersinergi. Pandemi Covid-19 tak bisa diatasi jika pemerintah bekerja sendiri. Kerja sama dengan komunitas agama dan kerja sama antariman adalah sebuah keniscayaan.
Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah dan Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.