Segera setelah Presiden Jokowi mengajak masyarakat berdamai dengan virus korona, reaksi beragam terhadapnya pun deras mengalir. Reaksi menolak, misalnya, makin deras mengalir ketika ajakan Presiden itu diikuti pembukaan moda transportasi dan pusat-pusat perbelanjaan. Sebagian pihak menyesalkan ajakan Presiden itu sebagai pelonggaran pembatasan sosial berskala besar atau PSBB, padahal tren jumlah kasus Covid-19 justru sedang meningkat tajam.
Bahkan, akhir-akhir ini beredar tagar #IndonesiaTerserah sebagai pertanda sebagian masyarakat, terutama petugas medis, merasa putus asa dengan keadaan ini. Ini beralasan karena fakta di lapangan menunjukkan kerumunan orang yang berdesak-desakan tiba-tiba bermunculan di berbagai tempat sebagai ikutan logis dari kebijakan terkait dengan berdamai dengan virus korona itu.
Spekulasi di tengah ketidaktahuan sebagian besar masyarakat akan maksud berdamai dengan virus korona merebak luas. Secara kurang masuk akal, misalnya, ada yang menuduh pemerintah menerapkan metode herd immunity untuk menangani pandemi Covid-19. Padahal, dalam kenyataannya, herd immunity nyaris tak mungkin diterapkan secara alamiah karena untuk mencapainya dibutuhkan 65-75 populasi terinfeksi oleh virus korona.
Itu sama saja dengan bunuh diri beramai-ramai. Ada juga yang menyangka pemerintah membiarkan seleksi alam terjadi dalam kaitan respons masyarakat terhadap infeksi virus korona. Artinya, masyarakat yang kebal terhadap infeksi virus korona, merekalah yang bertahan hidup. Sangkaan ini pun tak kurang tak masuk akalnya.
Tentu saja, pemerintah mengambil langkah itu di antara dua pilihan sulit: kesehatan masyarakat dan bergeraknya roda ekonomi. Apakah pemerintah lebih memihak ke ekonomi daripada kesehatan masyarakat? Saya pikir jawabannya tidak. Pemerintah lebih berpihak kepentingan kesehatan masyarakat. Tampaknya, inilah salah satu makna dari berdamai dengan virus korona yang dinyatakan Presiden itu.
Belajar dari fakta sejarah
Fakta sejarah mengungkapkan bahwa epidemi atau pandemi penyakit akibat bakteri dan virus akan tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat sepanjang vaksinnya belum ditemukan. WHO, misalnya, memperkirakan Covid-19 akan tetap mewabah paling tidak selama dua tahun ke depan. Salah satu alasannya, kemungkinan vaksin bagi virus korona belum ditemukan hingga dua tahun ke depan. Maka, berdamai dengan virus korona merupakan langkah yang masuk di akal. Akan tetapi, berbeda dari kebanyakan negara lain, Indonesia mengambil langkah itu di tengah kurva kasusnya meningkat tajam.
Pada November 1975, mikrobiolog sekaligus ahli lingkungan AS kelahiran Perancis, Rene Dubos, menuliskan dua seri artikel di New York Times. Seri pertama bertajuk ”Trend is not Destiny”. Judul artikel ini penggalan ungkapan Dubos, ”Wherever human beings are concerned, trend is not destiny”, yang disampaikannya pada Konferensi Perubahan Teknologi dan Lingkungan Manusia di Caltech, 19-21 Oktober 1969.
Dalam artikelnya, Dubos menyatakan bahwa sistem biologi dan sosial manusia sangat tangguh untuk menghadapi perubahan alam dan lingkungan yang cepat. Manusia dapat mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mengubah orientasi tren tertentu dan bahkan membalikkannya. Perubahan itu biasanya lebih berasal dari akar rumput daripada arahan atau kebijakan pemerintah, misalnya. Dubos mengajukan beberapa contoh yang menggambarkan berbagai situasi yang berpotensi berbahaya yang telah diantisipasi oleh masyarakat modern dan mereka mengembangkan tindakan pencegahan terhadapnya.
Flu Spanyol, salah satu pandemi paling mematikan, yang menyebar secara eksplosif ke seluruh dunia, menewaskan lebih dari 20 juta orang. Berbagai wabah influenza terjadi sejak saat itu, termasuk flu Hong Kong. Sekarang, wabah seperti itu dapat dideteksi sejak awal penyebarannya. Langkah-langkah untuk menjinakkan virulensinya pun dapat dilakukan.
Demikian juga dengan degradasi lingkungan dan pertumbuhan populasi yang mencapai tingkat kritis di banyak bagian dunia, manusia dapat mengendalikannya ketika manusia menyadari keadaan (tren) yang berbahaya itu. Apa yang hendak dikatakan Dubos adalah bagaimanapun tren keadaan saat ini, itu bukanlah takdir. Itu bukanlah tujuan.
Itu hanyalah penanda atau pengingat kepada manusia untuk mempersiapkan diri ke keadaan baru. Mungkin, itulah yang sekarang dikenal sebagai new normal. Terkait berdamai dengan virus korona yang dinyatakan Presiden, yang penting diupayakan sekarang adalah mendorong resiliensi biologis (mempertahankan protokol kesehatan) dan sosial (meningkatkan kesadaran kolektif) masyarakat perihal pencegahan Covid-19.
Kesadaran kolektif, antara lain, berkaitan dengan solidaritas dalam masyarakat yang kompleks. Untuk keadaan ini, Emile Durkheim, sosiolog Perancis, penggagas Teori Kesadaran Kolektif, menyarankan konsep solidaritas organik. Menurut Durkheim, dalam masyarakat yang kompleks, sejumlah lembaga sosial agama, tetapi juga politik, media, sekolah, keluarga, dan ekonomi berkontribusi untuk mempertahankan kesadaran kolektif.
Hal itu senada dengan tipologi perilaku yang berhubungan dengan kesehatan menurut Lawrence Green, ahli perubahan perilaku kesehatan, yang salah satunya adalah tindakan sosial terkait kesehatan (health-related social action), yaitu kegiatan yang dilakukan oleh seorang individu secara tunggal atau bersama-sama dengan orang lain (secara kolektif) melalui organisasi, hukum, atau ekonomi, untuk memengaruhi penyediaan layanan medis, efek lingkungan, atau efek sosial peraturan yang memengaruhi kesehatan populasi.
Oleh karena itu, marilah kita berhenti berpikir bahwa pandemi Covid-19 ini adalah hukuman Tuhan, tetapi marilah kita bertindak berdasarkan kesadaran kolektif bahwa pandemi ini adalah masalah bersama yang harus ditangani secara bersama-sama. Dan, Dubos mengingatkan kita kembali, keadaan ini bukanlah takdir!
Albiner Siagian, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat USU