Lewat beragam kajian poskolonial, segala praktik tersembunyi itu mampu diungkap dan dijelaskan. Sosok BK yang seolah-olah selalu layak untuk ditampilkan, khususnya di setiap bulan Juni, pada dasarnya tampak kian hambar.
Oleh
A. Windarto
·6 menit baca
Di mata sastrawan, bulan Juni dapat menjadi bermakna hanya karena perkara hujan (Mikke Sutanto, "Bung Karno sebagai Aset", Kompas.id, 30/5/2020) . Di mata sejarawan, bulan Juni adalah saat dan tempat yang tepat untuk mengenangkan ketokohan Bung Karno (BK). Sebab BK bukan sekadar pahlawan bangsa yang layak dihormati, melainkan juga tokoh zaman yang langka dan nyaris menjadi fosil.
Dua kajian poskolonial, masing-masing dari James T. Siegel ("Yang Hilang dari Zaman Bung Karno", 2001) dan Benedict Anderson ( “Bung Karno and the Fossilization of Soekarno\'s Thought”, 2002), memperlihatkan bahwa sosok yang dikenal sebagai "Penyambung Lidah Rakyat" kini tidak hanya telah hilang, namun sekaligus sudah menjadi seperti barang antik, bahkan keramat.
Tak heran jika tokoh sekaliber BK semata-mata cukup "didupai" dengan beragam ritual penghormatan dan dijadikan semacam souvenir kenang-kenangan belaka. Lihat saja pada berbagai petuah, termasuk dalam karya seni, yang sedemikian mengagungkan warisan kata-katanya yang berkharisma, tapi kenyataannya tanpa gaung sama sekali dalam kehidupan sehari-hari. Itulah mengapa kata-kata yang di zaman BK begitu didengar oleh sebagian besar rakyat, entah di sekitar podium atau di depan radio, kini hanya menjadi jargon belaka.
Singkatnya, di masa kini kata-kata, khususnya dari para pemimpin bangsa, sekadar dianggap sebagai "bahasa kosong" yang tanpa makna sebagaimana dikaji oleh Saya Sasaki Shiraishi dalam bukunya yang berjudul Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik (1997/2001).
Bahasa kosong yang dimaksud adalah kata-kata yang tidak pernah sejalan dengan segala tindakan yang terjadi. Itu artinya, ada banyak pelonggaran yang dilakukan sedemikian rupa sehingga hampir tiada satu kata pun yang mampu menjawab suara dan/atau kepentingan rakyat.
Di era yang seolah-olah ditampakkan sebagai "new normal" saat ini, para pembuat kebijakan agaknya juga telah memanfaatkan bahasa kosong yang belum jelas makna, apalagi arah dan tujuannya. Tak heran, ada beragam kebingungan di kalangan rakyat bawah yang hidup sehari-harinya hanya dibebani oleh berbagai kebijakan dari atas yang sarat dengan berbagai pembelokan alias hanya berisi janji-janji manis belaka.
Maka seperti nasib BK yang telah dijatuhkan oleh trik dan intrik politik dari pihak-pihak yang berambisi untuk berkuasa, kehidupan masyarakat pun kini selalu jatuh dalam lubang sejarah yang sama, yaitu: kehidupan yang serba tersingkirkan, berantakan dan tak tertanggungkan.
Fosilisasi
Sejarah yang hingga kini masih samar-samar seperti di atas telah menjadi "fosil" bersama para tokohnya. Fosilisasi itulah yang sampai saat ini amat digemari oleh para akademisi dan diminati oleh para politisi. Karena dari sana mereka seperti memperoleh "selendang" yang dapat dipakai untuk menggendong pihak manapun yang merasa telah kehilangan sosok sekaliber BK.
Dengan cara itulah, segala kenangan akan jejak langkah BK, termasuk kata-katanya, masih dapat dibawa ke manapun dan dipertunjukkan sebagai semacam "jimat". Berkat hal itulah, segala sesuatu yang berkaitan dengannya dapat dengan mudah menciptakan keyakinan yang lebih sukar digoyang daripada pengetahuan. Keyakinan yang cenderung membuat rakyat, atau lebih tepatnya massa, lupa pada kenyataan hidup sehari-harinya yang berantakan dan tak tertanggungkan.
Dalam konteks ini, keyakinan seperti itu tampak cukup efektif dan operatif ketika politik untuk menggalang suara sedang dipanggungkan. Panggungnya jelas selalu hadir di berbagai pesta demokrasi, baik lokal maupun nasional, selama lima tahun sekali. Di situlah keyakinan yang mampu membujuk-rayu siapapun untuk selalu ingat pada karya dan jasa besar BK dipertontonkan secara telanjang.
Bahkan jika perlu dengan menghadirkan keluarga dan kerabat dekat tanpa perlu waspada dengan kepentingan apa yang ada dibaliknya. Maka bukan kebetulan bila politik kekeluargaan sangat berperan dan berpengaruh dalam setiap peristiwa bersejarah bangsa ini, termasuk dengan mengatas-namakan BK.
Seperti ditulis oleh wartawan Brian May (1978) yang pernah bersaksi tentang serangkaian tragedi berdarah di tanah air ini sebagai berikut: "Indonesia dilahirkan setelah sebuah penculikan; dilahirkan kembali dalam kudeta dan dibaptis dengan darah pembantaian". Dari kesaksian itu tampak bahwa sejak semula "kekerasan" telah menjadi bagian dalam politik di Indonesia. Namun, di zaman BK hal itu tidak sampai berlanjut menjadi kekejaman lantaran BK selalu mampu mendengar dan menyuarakan kepentingan anak buahnya, terutama dalam peristiwa Rengasdengklok.
Hal itulah yang dimainkan oleh para lawan politiknya untuk menyingkirkannya secara bertahap dengan menghadirkan politik kekerasan melalui pembunuhan massal. Dengan politik semacam itu, segala ingatan akan zaman BK lambat laun menjadi sirna dan digantikan oleh kenangan atas ketakutan atau kebiadaban belaka. Sedangkan sosok BK yang terlanjur dikenal akrab sebagai "Bapak Bangsa" (The Founding Fathers) tetap dilestarikan sebatas sebagai album foto yang menyimpan beragam peritiwa di masa lalu.
Dari sanalah, BK selalu dapat dihadirkan meski hanya dalam batas-batas gambar dan kata-kata yang mangkir atau absen dalam kehidupan sehari-hari. Seperti itulah, fosilisasi yang membaku-bekukan mitologi terhadap BK terjadi tanpa ada yang peduli, apalagi jeli, mengamati praktik-praktik kolonisasi gaya (orde) baru ini.
Syukurlah, lewat beragam kajian poskolonial, segala praktik tersembunyi itu mampu diungkap dan dijelaskan. Sosok BK yang seolah-olah selalu layak untuk ditampilkan, khususnya di setiap bulan Juni, pada dasarnya sudah tampak semakin koyak dan boyak (hambar) di negeri ini. Padahal di tahun 1930-an, ketika BK ditangkap dan dibuang ke pengasingan, sudah tak ada lagi sosok pemimpin yang dapat diandalkan, apalagi dibanggakan.
Segalanya tampak "keruh, bungkam, tanpa harapan, loyo dan membosankan" sebagaimana dicatat Rudolf Mrazek dalam bukunya yang berjudul Engineers of Happy Land:Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni (2006). Bahkan gambaran mengenai zaman yang penuh dengan kesedihan dan bisik-bisik nostalgia saat BK masih bebas itu tampak sulit diubah meski salah seorang tokoh lain, yaitu Sjahrir, tampil di atas panggung politik.
Jadi, kharisma BK yang tampak berkuasa, khususnya dalam kata-kata dan gayanya, memang sejak semula telah menjadi ikon atau simbol perjuangan pada zamannya. Meski Mrazek juga sempat mencatat bahwa pada zaman pendudukan Jepang hingga pertengahan tahun 1960-an, foto-foto BK "yang menua, tanpa peci, botak, dengan celana panjang lecek dan baju dalam" justru banyak bermunculan.
Dalam kajian poskolonial, hal itu bukan semata-mata merupakan kenang-kenangan yang tak terlupakan, tetapi justru adalah ingatan untuk tidak mudah melupakan aksi nyata perjuangannya. Pada titik ini, BK yang dikenal sebagai tokoh radikal dan revolusioner layak menjadi tuntunan dan tuntutan bagi siapapun untuk pantang surut langkah dalam membangun hidup ber(se)sama yang adil dan beradab di Republik ini.
Dalam kajian poskolonial, hal itu bukan semata-mata merupakan kenang-kenangan yang tak terlupakan, tetapi justru adalah ingatan untuk tidak mudah melupakan aksi nyata perjuangannya.
Apalagi hal itu adalah cita-cita dan cerita utama yang melatari dasar berbangsa dan bernegara sebagaimana disusun dan diajukan BK pada sidang BPUPKI tepat 75 tahun yang lalu. Dan itulah perikemanusiaan yang tidak lain adalah bahasa welas asih dan menjadi intisari dari Pancasila yang diwujudkan dalam semangat gotong royong.
Inilah semangat yang masih relevan dan signifikan untuk selalu diperjuangkan dengan jeli dan cerdas, terutama di tengah pandemi, normal baru, dan juga sesudahnya. Perjuangan untuk menjadi intelektual publik misalnya, seperti akademisi, wartawan, sastrawan, termasuk para wakil rakyat, perlu dilandasi dengan nilai-nilai kerakyatan yang benar-benar mampu mendengarkan dan memikirkan apa yang menjadi kepentingan rakyat.
Hal itu adalah warisan nilai-nilai BK yang mendesak untuk selalu digaungkan agar di negeri ini tidak semakin merajalela para penyamun yang dengan begitu lihai menyamar sebagai penyambung lidah dan suara rakyat.
(A. Windarto Peneliti di Lembaga Studi Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta)