Bank-bank dengan mesin risiko canggih akan bisa mengukur risiko produk-produk canggih, menghitung dan menerapkan strategi lindung nilai dan memahami pengembalian relatif yg disesuaikan dengan risiko hampir secara instan.
Oleh
Paul Sutaryono
·5 menit baca
Menteri BUMN telah menerbitkan surat No S-336/MBU/05/2020 Tahun 2020, tanggal 15 Mei 2020 tentang Antisipasi Skenario The New Normal BUMN. Bagaimana bank BUMN menghadapi era normal baru?
BUMN diminta mendukung langkah-langkah strategis pemerintah dalam menanggulangi Covid-19 dengan wajib membentuk gugus tugas penanganan Covid-19 dengan fokus perhatian saat ini khususnya melakukan antisipasi skenario normal baru. BUMN juga wajib menyusun protokol penanganan Covid-19 khususnya, tetapi tak terbatas aspek manusia (human capital and culture), cara kerja (proses dan teknologi), pelanggan, pemasok, mitra, serta pemangku kepentingan lain (business continuity).
Bagaimana kinerja bank BUMN? BRI mampu meraih laba bersih Rp 8,17 triliun per Maret 2020 meski turun tipis 0,3 persen dari Rp 8,19 triliun Maret 2019. Secara kuantitatif, BRI unggul dalam pencapaian laba bersih. Kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL gross) BRI memburuk dari 2,3 persen menjadi 2,8 persen walau masih di bawah ambang batas 5 persen. Namun, margin pendapatan bersih (net interest margin/NIM) paling tinggi 6,6 persen di atas NIM BNI (4,9 persen) dan BTN (3,1 persen). NIM menjadi penyumbang utama terhadap pendapatan bank.
BNI unggul secara kualitatif lantaran laba bersih naik 4,3 persen dari Rp 4,07 triliun menjadi Rp 4,25 triliun. Meski NPL gross memburuk dari 1,9 persen menjadi 2,4 persen, itu lebih baik daripada BRI 2,8 persen dan BTN 4,9 persen. Laba bersih BTN anjlok 32,7 persen dari Rp 0,72 triliun menjadi Rp 0,45 triliun. Ketika tulisan ini disusun, Bank Mandiri belum memublikasikan laporan keuangan per kuartal I-2020. Itulah sekilas kinerja bank pemerintah yang cukup biru hingga kuartal I-2020 yang belum tampak terdampak Covid-19.
S&P Global Rating telah merevisi prospek peringkat BRI, Bank Mandiri, dan BNI dari ”stabil” menjadi ”negatif” karena meningkatnya risiko ekonomi di tengah Covid-19. Pernyataan itu disampaikan pada 29 April 2020. Inilah peringatan untuk lebih waspada!
Dalam era normal baru, bank umum, termasuk bank pelat merah, wajib mengambil lima langkah utama berbasis protokol kesehatan, teknologi informasi, manajemen risiko, efisiensi, dan tata kelola perusahaan yang baik (GCG).
Apa saja faktor kunci keberhasilan (key success factors) untuk mencapai perbankan era normal baru itu? Pertama, mengikuti protokol kesehatan sesuai Keputusan Menteri Kesehatan No 328/2020. Kedua, menjadikan menjaga kebersihan sebagai budaya organisasi.
Ketiga, selama 3-4 tahun terakhir, pangsa pasar bank telah tergerus perusahaan teknologi finansial (tekfin) dengan model pinjam meminjam peer to peer lending. Statistik Perbankan Indonesia yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan terdapat 161 tekfin (149 konvensional dan 12 syariah), 136 terdaftar dan 25 berizin per Februari 2020.
Akumulasi jumlah pinjaman naik 17,05 persen dari Rp 81,50 triliun per Desember 2019 menjadi Rp 95,39 triliun per Februari 2020. Mengapa tekfin bisa melaju bagai angin topan? Tekfin menawarkan model bisnis yang baru sama sekali, tanpa tatap muka, tanpa agunan, lebih cepat, dan minim dokumen. Ini amat berbeda dari kredit perbankan yang perlu tatap muka, agunan, waktu lebih lama dan banyak persyaratan/dokumen.
Namun, rasio pinjaman bermasalah (nonperforming financing/NPF) juga melaju 7,42 persen dari 3,65 persen per Desember 2019 menjadi 3,92 persen per Februari 2020 meski masih di bawah ambang batas 5 persen. Tekfin merupakan disrupsi teknologi. Karena itu, bank wajib menggali aneka layanan berbasis TI (digital banking).
Bank harus melakukan inovasi dan kreasi (value creation) yang mendorong layanan nasabah jadi lebih cepat, mengurangi tatap muka, dan berdaya saing tinggi.
Manajemen risiko
Keempat, semua layanan berbasis TI juga menyimpan potensi risiko teknologi sebagai bagian dari risiko operasional. Risiko ini disebabkan oleh kegagalan sistem. Karena itu, bank wajib menerapkan manajemen risiko dengan baik dan benar. Manajemen risiko merupakan serangkaian metodologi dan prosedur untuk melakukan empat tahap: identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko yang timbul dari seluruh aktivitas usaha. Tujuannya, menekan kerugian yang melebihi kemampuan bank dan atau mengganggu kelestarian usaha.
Bank juga wajib memiliki pusat pemulihan bencana (DRC). DRC merupakan pusat fasilitas untuk memulihkan kembali data atau informasi serta fungsi-fungsi penting sistem elektronik yang terganggu atau rusak akibat bencana yang disebabkan alam atau manusia..
Kini, saatnya bagi OJK, Bank Indonesia (BI), dan asosiasi perbankan untuk mampu menemukan mesin risiko di era baru, seperti digagas 19 tahun lalu oleh Michel Crouhy, Dan Galai, dan Robert Mark (2001).
Perbankan bergerak ke era di mana model matematika yang kompleks diprogram ke dalam mesin risiko akan memberikan dasar manajemen portofolio. Bank-bank dengan mesin risiko yang canggih akan bisa mengukur risiko produk-produk canggih, menghitung dan menerapkan strategi lindung nilai dan memahami pengembalian relatif yang disesuaikan dengan risiko hampir secara instan.
Mengingat tren saat ini menuju konsolidasi, organisasi yang luas dan kompleks akan menuntut kemampuan untuk secara cepat dan konsisten menyediakan alat pendukung keputusan utama guna membandingkan langkah-langkah profitabilitas dan toleransi risiko untuk beragam bisnis.
Teknologi akan memungkinkan informasi manajemen risiko diintegrasikan ke dalam pelaporan manajemen secara keseluruhan, termasuk pelaporan risiko harian. Internet dan intranet akan menjadi kendaraan pengiriman hasil analisis risiko. Investasi infrastruktur akan diperlukan. Dengan demikian, usaha bank dapat berkembang lebih optimal dengan risiko minimal. Risiko tak dapat dihilangkan 100 persen, tetapi dapat ditekan sedemikian rendah. Sayangnya, kini manajemen risiko baru sampai pada tahap sadar risiko (risk awareness), belum menjadi budaya risiko (risk culture). Di sinilah tantangan sebenarnya.
Kelima, bank pun wajib mengerek tingkat efisiensi yang tersurat pada rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO). Kini, BOPO mencapai 83,62 persen per Februari 2020, di atas ambang batas 70-80 persen. Itu berarti bank belum efisien, padahal tingkat efisiensi yang tinggi akan jadi jurus ampuh guna memenangi persaingan.
Keenam, bank perlu menerapkan prinsip-prinsip GCG yang meliputi transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran. GCG bertujuan menggenjot nilai perusahaan dan mengangkat perusahaan agar lebih profesional, efisien, dan efektif. Ketika aneka faktor kunci keberhasilan itu telah terpenuhi, bank berpeluang mampu memasuki era normal baru dengan tangkas. Habitus anyar!
(Paul Sutaryono Staf Ahli Pusat Studi BUMN, Pengamat Perbankan, Mantan Assistant Vice President BNI)