Melalui revolusi Mei 1998, wajah Indonesia berubah. Dari model pemerintahan otokrasi Presiden Soeharto menjadi pemerintahan yang lebih terbuka. Namun, dalam perjalanannya, semangat revolusi Mei 1998 memudar.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·5 menit baca
Bulan Mei tinggal sehari lagi. Sayang kalau bulan penting dalam sejarah politik kontemporer Indonesia lewat begitu saja. Melalui revolusi Mei 1998, wajah Indonesia berubah. Dari model pemerintahan otokrasi Presiden Soeharto menjadi pemerintahan yang lebih terbuka. Transisi demokrasi pun terjadi. Apakah demokrasi sudah terkonsolidasi itu pertanyaan lain.
Revolusi Mei 1998 memakan korban. Sebanyak 13 aktivis mahasiswa masih hilang. Mereka harus dikonstruksikan hilang karena tak diketahui keberadaan dan statusnya. Entah masih hidup atau meninggal. Kalau sudah meninggal, di mana makamnya pun tak diketahui. Dalam terminologi hak asasi manusia itu disebut continuing violence (kekerasan yang terus-menerus). Kerusuhan sosial melanda Jakarta pada Mei 1998 menyusul ditembaknya mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998.
Revolusi Mei 1998 yang didahului krisis moneter dan menjadi krisis sosial dan krisis politik memaksa Presiden Soeharto berhenti sebagai Presiden, pada 21 Mei 1998 dan digantikan BJ Habibie. Sejak itulah, wajah Indonesia berubah. Presiden Habibie membuka keran kebebasan pers yang dinikmati sampai sekarang. Liberalisasi politik terjadi. Di harian Kompas, 30 Mei 1998, tertulis judul besar, ”Habibie: Siapa Saja Boleh Bentuk Partai”.
Kemerdekaan berorganisasi dibuka. Partai politik bermunculan. Indonesia memasuki masa era multipartai ekstrem. UUD 1945 diubah. Dibuatlah Mahkamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Daerah dan Komisi Yudisial yang juga disebut lembaga negara. Demokrasi kian menemukan bentuknya dengan pemilihan presiden secara langsung, pemilihan gubernur secara langsung, pemilihan wali kota/bupatu secara langsung.
Melalui revolusi Mei 1998, korupsi dikonstruksikan sebagai musuh bersama. Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang meluluhlantakkan negara Orde Baru. Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) menegaskan komitmen pemberantasan korupsi elite bangsa ini. Makna korupsi diperluas dan mencakup kolusi atau persekongkolan jahat dan melawan hukum dan nepotisme atau koncoisme.
Reformasi Mei 1998 menjadi embrio kelahiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa tahun kemudian. Salah satu tonggak keberhasilan dari revolusi Mei adalah reformasi ABRI. Konsep dwifungsi ABRI seperti menyapih ABRI dari politik. Polri dilepaskan dari ABRI. ABRI dilepaskan dari politik sehari-hari.
Melahirkan demokrasi melalui revolusi Mei sungguh berat. Berada di jalanan di Jakarta pada bulan Mei, menyaksikan bagaimana sebagian Kota Jakarta terbakar. Amuk massa terjadi. Bangsa ini sepantasnya berutang kepada aktivis yang masih hilang, aktivis yang masuk penjara atau rakyat yang menjadi korban.
Dua puluh dua tahun Revolusi Mei berlalu. Bangsa ini sedang dihadapkan pada revolusi yang lain, yakni revolusi sunyi. Revolusi sunyi akibat pandemi Covid-19. Bedanya, Covid-19 tak berwujud. Dia menyerang siapa saja. Dia meluluhlantakkan apa saja, ya sistem keuangan, sistem ekonomi, sistem kesehatan, dan juga sistem politik.
Kini, ada sinyal demokrasi Indonesia di simpang jalan. Ada upaya membawa sentralisasi kembali, di mana pemerintah pusat kembali menjadi sentral. Dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja semangat itu kentara. Salah satu rumusannya, Presiden bisa membatalkan peraturan daerah.
Ada fakta ”anak kandung” reformasi, KPK dijinakkan. Kini, KPK menjadi anak manis. Kekuatan KPK dipecah dengan dimunculkan Dewan Pengawas yang menambah birokrasi baru dalam pemberantasan korupsi.
KPK ”berhasil” meniadakan operasi tangkap tangan yang selalu membuat heboh. Memang ada OTT kecil-kecilan tetapi kemudian dilimpahkan ke Polri. KPK berubah menjadi semacam lembaga yang terus bersabda jangan korupsi, jangan korupsi, tetapi tanpa eksekusi dan aksi.
Daftar orang hilang pun bertambah. Kalau sejumlah aktivis mahasiswa hilang, kini daftarnya ditambah dengan caleg Harun Masiku dan bekas Sekjen MA Nurhadi yang juga masih hilang. Mereka adalah saksi kunci pemberantasan korupsi yang belum bisa ditangkap. Indonesia sepertinya bersikap terserah pada aksi pemberantasan korupsi. Semangat memberantas korupsi mengendur.
KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) telah berubah menjadi NKK atau narik konco-konco untuk sejumlah posisi di pemerintahan ataupun posisi lain sebagai balas jasa. Itulah wujud ajaran politik purba Harold Laswell, siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana mendapatkannya.
Semangat memerangi korupsi ataupun nepotisme melemah. Sak karepmu dalam bahasa Jawa. Staf khusus milenial yang dihebohkan terkait dengan penyalahgunaan surat selesai hanya dengan mundur.
Staf milenial yang namanya disangkutkan dengan proyek kartu prakerja selesai hanya mundur, sementara proyek triliuan rupiah tetap berjalan. Bahkan, ada pembelaan bahwa mereka masih muda, potensial tetapi salah langkah. Meminjam istilah seorang youtuber, itu ibarat uji kelamin. Usia jigo (dua puluh lima tahunan), kelakuan minim.
Kebebasan berpendapat ditangani dengan instrumen hukum. Petinggi negeri melaporkan warga negara dengan tuduhan fitnah atau pencemaran nama baik. Kebijakan dikritik dibalas dengan somasi dan laporan kepada polisi. Dwifungsi pada era Orde Baru beralih wujud dalam format dan aktor yang lain. Kebebasan pers terancam dengan doxing kepada jurnalis ataupun ancaman somasi atau pencemaran nama baik.
Apakah demokrasi bergerak mundur? Itulah gejala yang ada. Namun, kalau mengacu kepada The Economist Intelligent Unit, indeks demokrasi Indonesia memang bergerak mundur. Demokrasi Indonesia menjadi cacat (flawed democracy). Pada tahun 2019, indeks demokrasi Indonesia mencapai skor 6,48 atau berada pada peringkat ke-64 dari 167 negara. Skor itu lebih rendah dari Timor Leste (7,19).
Dalam sebuah kesempatan, Presiden Joko Widodo meminta publik agar tidak meragukan komitmennya pada demokrasi. Presiden Jokowi tak punya beban untuk meluruskan kembali jalan reformasi. Meluruskan kembali bahwa perang melawan korupsi yang memang belum selesai. Meluruskan kembali bahwa kemerdekaan pendapat ataupun kritik adalah energi bagi demokrasi yang tidak perlu diamputasi dengan somasi.
Presiden Jokowi punya kekuasaan untuk memurnikan kembali semangat revolusi Mei 1998. Sesuai dengan pepatah lama, jika ada kemauan di situ ada jalan.