Upaya melawan pandemi Covid-19 di Indonesia tak jelas kapan berakhir. Banyak pertanyaan muncul. Apakah kita bisa mengatasi? Akankah kita masuk kebangkrutan ekonomi? Apakah kita, sebagai bangsa, survive?
Berbagai usaha sudah dilakukan, tetapi korban Covid-19 masih terus berjatuhan. Bahkan, cakupannya meluas ke daerah-daerah. Walau ada kabar gembira tingkat kesembuhan meningkat, prediksi yang definitif tentang kapan meredanya ”perang” ini belum dapat ditetapkan.
Ada PSBB (pembatasan sosial berskala besar), juga larangan mudik. Seberapa efektif semua itu dalam menekan laju penyebaran Covid-19?
Di mana-mana masih banyak warga beraktivitas di luar rumah. Apakah mereka tidak sadar akan bahaya dan dampaknya? Atau mereka memang tak peduli situasi?
Semua orang kesulitan walau kadarnya beda-beda. Tidak adakah rasa kebersamaan dan solidaritas sosial yang dapat menggerakkan aksi berkeselarasan? Apakah metode yang diterapkan salah?
Namun, agaknya, ada satu hal yang luput dari perhatian. Media televisi kita, yang mengisi ruang-ruang keluarga saat berada di rumah, selain menyampaikan informasi perkembangan keadaan, tetap menyiarkan acara-acara hiburan. Seakan menunjukkan, di negeri kita ini tak ada masalah yang merisaukan.
Di sana-sini orang berkumpul, bergerombol, duduk berdampingan, tertawa, dan bersorak ria menonton berbagai pertunjukan. Kumpulan manusia, termasuk dalam acara ibadah keagamaan, duduk bersebelahan, rapat. Semua menggambarkan suasana yang sangat kontras dari kenyataan memprihatinkan yang kini dihadapi. Tak perlu risau, tak perlu galau, apalagi panik.
Patut dipertanyakan, sekalipun tayangan semacam ini mungkin sudah dibuat berbulan-bulan sebelumnya, apakah pemirsa menanggapinya sebagai suatu hal yang sudah lama terjadi? Tak ada hubungannya dengan keadaan?
Televisi memang bisa memberi hiburan, tetapi sebenarnya juga bisa membangun citra tentang atmosfer sosial-emosional yang hidup di dalam masyarakat. Jangan-jangan hal ini ikut membuat sebagian warga masyarakat kita tenang-tenang, tidak merasa ada yang darurat yang sungguh-sungguh butuh kesiapan bersama untuk menghadapinya.
Zainoel B Biran
Pemerhati Sosial, Ciputat Timur, Tangerang Selatan
Aturan Bea Cukai
Peraturan yang memberi wewenang kepada Bea dan Cukai untuk melindungi hak kekayaan intelektual (merek dan hak cipta) dari impor dan atau ekspor produk melanggar hak kekayaan intelektual (HKI) menjadi tidak efektif karena ada satu pasal yang mengganjal.
Pasal tersebut mengharuskan pemilik merek dan atau hak cipta mempunyai badan usaha yang berkedudukan di Indonesia supaya dapat memperoleh perlindungan hukum di kawasan pabean.
Bagi pemilik merek dan atau hak cipta yang berkedudukan di luar negeri, persyaratan tersebut sulit dipenuhi karena masalah kelayakan untuk menanamkan modal di Indonesia, jika hanya untuk perlindungan hukum di kawasan pabean.
Syarat minimum modal yang harus diinvestasikan untuk mendirikan badan usaha di Indonesia terlalu besar jika hanya untuk mengatasi impor atau ekspor produk yang melanggar HKI.
Akibat pasal tersebut, pelaksanaan wewenang Bea dan Cukai untuk melindungi HKI di kawasan pabean menjadi tidak efektif atau terjegal oleh aturannya sendiri. Produk palsu dengan leluasa masuk atau keluar pabean tanpa tindakan hukum dari Bea dan Cukai.
Mengalir derasnya produk melanggar HKI ke dalam kawasan pabean dan seterusnya masuk ke jalur perdagangan di Indonesia tidak saja merugikan pemilik merek dan atau hak cipta, tetapi juga merugikan produsen produk sejenis di dalam negeri, terutama merugikan konsumen yang terkecoh membeli produk palsu.
Gunawan S
Konsultan Hak Kekayaan Intelektual, Pondok Indah,
Jakarta Selatan