Jurang Ketimpangan Pascapandemi Covid-19
Krisis akibat pandemi memberikan momentum kepada semua pemerintah di dunia, termasuk Indonesia, untuk melihat dan menambahkan elemen baru, seperti Universal Basic Income (UBI).
Pandemi Covid-19 menghantam banyak negara, termasuk Indonesia, dalam aspek ekonomi dan sosial. Dalam konteks tatanan ekonomi dan kesejahteraan sosial, pandemi Covid-19 merupakan ujian terbesar Indonesia setelah krisis ekonomi 1998.
Ujian besar ini datang kurang dari setahun sejak Indonesia ”naik kelas” menjadi negara dengan skor Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang tinggi berdasarkan IPM Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) yang dirilis Desember silam. Dua tantangan besar bagi Indonesia dalam krisis Covid-19 adalah menghindari IPM turun lagi dan kian melebarnya jurang ketimpangan ekonomi.
Persentase penurunan IPM Indonesia 17,4 persen. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, sejak 2013, tren rasio gini menurun, yang berarti ketimpangan kian membaik. Namun, kemungkinan besar ketimpangan ini akan meningkat lagi dalam kondisi pandemi.
Ketika krisis ekonomi Asia 1998-2000 menghantam Indonesia, meskipun pertumbuhan ekonomi turun drastis dan puluhan juta orang Indonesia terlempar ke bawah garis kemiskinan, tingkat ketimpangan pada saat itu membaik. Hal itu disebabkan krisis itu tidak hanya berimbas kepada penduduk miskin atau rentan miskin, juga berdampak ke korporasi dan sektor keuangan yang dimiliki penduduk menengah ke atas.
Covid-19 tak seperti krisis ekonomi yang pernah terjadi. Krisis ini diikuti pembatasan berskala besar yang menghantam para pekerja harian dan pekerja sektor informal. Golongan inilah yang mendominasi perekonomian di Indonesia.
Krisis ini diikuti pembatasan berskala besar yang menghantam para pekerja harian dan pekerja sektor informal.
Sampai pertengahan April saja, pemerintah mencatat sudah 2,8 juta orang yang kehilangan pekerjaan akibat krisis ini. Jumlah ini diperkirakan terus meningkat mengingat Organisasi Buruh Dunia (ILO) telah memperingatkan bahwa sekitar 195 juta orang di seluruh dunia akan kehilangan pekerjaan akibat pandemi Covid-19.
Selain itu, kemajuan yang dicatat untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) bisa jalan di tempat, atau bahkan mengalami kemunduran. Di Indonesia, sekitar 28 juta orang masih hidup dalam kemiskinan dan puluhan juta lain rentan terdampak di sisi kesehatan dan sosial-ekonomi akibat Covid-19.
Masalah ketimpangan akibat Covid-19 bukan masalah ekonomi semata, melainkan juga mencakup aspek yang lebih luas. Seperti ditegaskan di laporan IPM 2019, ketimpangan harus dilihat beyond income, beyond average, and beyond today (melampaui pendapatan, melampaui rata-rata, melampaui hari ini). Artinya, ketimpangan tidak hanya memperburuk ekonomi, tetapi juga semua aspek kualitas pembangunan manusia.
Aspek kesehatan tentu sangat terdampak karena Covid-19 dimulai sebagai krisis kesehatan. Akses terhadap kesehatan menjadi tantangan terutama untuk lokasi-lokasi terpencil yang tak memiliki akses terhadap alat perlindungan diri (APD) dan ventilator. Untuk penyakit non-Covid-19 karena seluruh sumber daya kesehatan terfokus pada Covid-19, orang-orang yang memiliki penyakit lain, orang tua yang membutuhkan penanganan secara teratur, menjadi kesulitan mengakses fasilitas kesehatan dan obat-obatan.
Termasuk di antaranya akses vaksinasi bagi anak-anak di mana separuh posyandu yang tersebar di tingkat masyarakat tutup untuk sementara, mengakibatkan penumpukan jumlah stok vaksin, seperti terungkap dari data Sistem Monitoring Imunisasi dan Logistik secara Elektronik (SMILE) UNDP. Kemudian ada 21,84 juta kaum disabilitas di Indonesia juga akan sangat terdampak. Dalam kondisi ini dan tanpa kebijakan khusus, prinsip no one left behind sebagaimana dicita-citakan dalam target SDGs di Indonesia akan sulit tercapai.
Akses terhadap kesehatan menjadi tantangan terutama untuk lokasi-lokasi terpencil yang tak memiliki akses terhadap alat perlindungan diri (APD) dan ventilator.
Untuk pendidikan, sekolah berbasis daring akan semakin mempersulit akses pendidikan bagi keluarga miskin karena mereka tidak memiliki konektivitas terhadap internet dan mungkin juga akan meningkatkan potensi putus sekolah. Kemudian Covid-19 sangat berdampak terhadap ketimpangan jender, di mana sering kali masalah ini terabaikan karena virus ini dianggap dapat menyerang siapa saja. Akan tetapi, efek samping dari Covid-19 terhadap jender sangat luas.
Selain masalah beban kerja tambahan karena penutupan sekolah, seperti ditemukan di banyak negara, pembatasan sosial berskala besar yang membuat banyak orang harus berada di rumah sepanjang hari juga meningkatkan kemungkinan terjadinya kekerasan di dalam rumah tangga (KDRT).
Isu kekerasan terhadap perempuan di dalam rumah tangga merupakan aspek penting dalam krisis ini. Oleh karena itu, UNDP secara khusus mendukung pengembangan layanan terpadu kekerasan terhadap perempuan dan anak, penyusunan strategi mengatasi KDRT di Provinsi Papua, dan layanan pengaduan korban KDRT.
Program bantuan sosial
Salah satu langkah perbaikan dari pemerintah sebagai antisipasi memburuknya ketimpangan ekonomi dan aspek pembangunan manusia lainnya adalah pemberian bantuan sosial, tecermin pada paket stimulus yang diberikan sejak awal April. Tentu saja ini masih memerlukan skema tambahan karena sebagian besar program ini masih terfokus pada kelompok miskin dan belum menjangkau kelompok yang jadi miskin akibat pandemi.
Penambahan menu dana desa untuk padat karya atau cash-for-work dan bantuan langsung tunai ini juga sangat penting karena berdasarkan pengalaman UNDP pascabencana di Palu pada 2018, program padat karya sangat membantu masyarakat yang kehilangan pekerjaan. Hal penting lain adalah munculnya inovasi di bidang teknologi sebagai solusi dalam mengoptimalkan respons terhadap Covid-19.
Hal penting lain adalah munculnya inovasi di bidang teknologi sebagai solusi dalam mengoptimalkan respons terhadap Covid-19.
Misalnya, bagaimana Pemerintah Provinsi Jawa Barat meringankan beban warganya melalui aplikasi Pikobar. Tentu saja semua program perlindungan sosial dan inovasi ini masih perlu penajaman untuk memastikan keterjangkauannya dan perlu ditambahkan strategi khusus untuk solusi jangka panjang.
Oleh karena itu, krisis akibat pandemi memberikan momentum kepada semua pemerintah di dunia, termasuk Indonesia, untuk melihat dan menambahkan elemen baru, seperti Universal Basic Income (UBI). UBI telah diwacanakan untuk diterapkan di beberapa negara selama pandemi ini, seperti Spanyol dan Singapura.
UBI dipercaya sebagai salah satu instrumen untuk mengurangi ketimpangan, dan UNDP bersama Badan Keuangan Fiskal di bawah Kementerian Keuangan sedang melakukan studi untuk mengeksplorasi UBI sebagai alternatif jaringan pengaman terutama di saat krisis seperti pandemi ini.
Mengutip pandangan Kepala UNDP untuk kawasan Asia Pasifik Kanni Wignaraja dan Kepala Ekonom UNDP untuk Kawasan Asia Pasifik Balazs Horvath, untuk membuat UBI berfungsi dengan efektif, pertama, negara memerlukan sistem perpajakan yang lebih adil. Sebab, sistem pajak yang adil akan meningkatkan kapasitas fiskal untuk membiayai UBI. Untuk Indonesia, UBI sepatutnya dapat meningkatkan angka pendaftaran wajib pajak jika sistemnya diintegrasikan dengan sistem perpajakan.
Negara-negara di dunia harus bekerja sama dan bertukar data lintas batas untuk menghentikan orang dan perusahaan menghindari pajak. Kedua, pengalihan subsidi untuk bantuan sosial pada saat krisis, terutama subsidi bahan bakar fosil. Pengalihan subsidi ini dapat menjadi jaminan sosial sekaligus mendorong pencapaian SDGs, terutama target perubahan iklim.
Keberhasilan dan ketepatan pemberian bantuan sosial menjadi kunci keberhasilan menekan angka kemiskinan dan ketimpangan selama masa pandemi dan masa pemulihan. Tak kalah penting, inovasi dan strategi yang berkelanjutan terkait sistem perlindungan sosial dan tata kelola pemerintah. Inovasi dalam data, penyaluran, dan strategi pembiayaan ini merupakan salah satu elemen yang UNDP rekomendasikan untuk mengatasi ketimpangan.
(Christophe Bahuet, Kepala Perwakilan UNDP Indonesia)